Bertepatan dengan Hari Kusta Sedunia pada 30 Januari 2023, Komisi Nasional Disabilitas (KND) bersama Konsorsium Pelita dan Yayasan Netherland Leprosy Relief (NLR) Indonesia menggelar lokakarya secara hybrid. Kegiatan luring ini berlokasi di Hotel Ascott Sudirman, Karet Semanggi, Jakarta Selatan, sementara secara daring diakses melalui live Youtube KND dan NLR Demikian pers rilis yang diterima oleh Prohealth.id, Senin (30/1/2023).
Jonna Aman Damanik, Komisioner KND mengatakan lokakarya nasional dalam rangka Hari Kusta Sedunia 30 Januari 2023 ini memiliki beberapa tujuan. “Updating kondisi kusta di Indonesia terkait kebijakan, layanan kesehatan dan penanganan sosial,” katanya saat dihubungi secara terpisah oleh Prohealth.id melalui pesan WhatsApp.
Tujuan-tujuan lain, yaitu untuk mengetahui perkembangan praktik yang telah dilakukan oleh para pemangku kepentingan dalam penangan kusta di Indonesia.
“Lalu kami juga mengumpulkan fakta terkait kondisi orang yang mengalami kusta dan OYMPK (Orang yang Pernah Menyandang Kusta) yang terstigma dan tereksklusi sosial. Juga menrumuskan tindak lanjut dan komitmen bersama untuk advokasi bagi kebijakan, layanan kesehatan dan penanganan sosialnya,” jelas Jonna.
Acara lokakarya yang berlangsung satu hari penuh ini, juga terdapat sesi Focus Discussion Group (FGD) dan secara keseluruhan, para pembicara atau narasumbernya berasal dari lintas instansi/ lembaga dan kementerian.
Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM, MARS, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, yang mewakili Menteri Kesehatan Republik Indonesia sebagai keynote speaker, dalam sambutannya mengatakan bahwa penyakit kusta adalah penyakit tertua di dunia dan merupakan penyakit tropis yang terabaikan.
“Deteksi dini sangat penting untuk dilakukan dan dibutuhkan pencatatan kontak yang lengkap ketika ada kasus baru. Intervensi penanganan kusta dikatakan gagal ketika penyandang kusta menjadi penyandang disabilitas. Juga semakin tinggi angka kusta maka semakin tinggi angka diskriminasi dan stigmanisasi”, kata Maxi di hadapan peserta lokakarya.
Ia mengatakan sekaligus menekankan bahwa penanganan kusta tidak bisa dilakukan sendiri oleh Kemenkes RI. Tetapi harus dilakukan penguatan advokasi secara kolaboratif dengan seluruh kementerian atau lembaga, dan lintas sektor. Termasuk juga penguatan peran masyarakat dan organisasi kemasyarakatan serta transfer knowledge (berbagi ilmu) antar tenaga kesehatan. Contohnya bagi tenaga kesehatan yang pernah mendapatkan pelatihan kepada unit kerja lainnya.
Tantangan lainnya dalam penanganan kusta adalah alokasi anggaran untuk penanganan kusta di daerah yang masih sangat rendah. “Walaupun dari Pemerintah Pusat sudah ada pengajuan peningkatan mulai tahun 2022,” ungkapnya.
Dikutip dari rilis, kusta atau lepra adalah penyakit infeksi bakteri kronis yang menyerang jaringan kulit, saraf tepi, dan saluran pernapasan. Penyakit kusta dikategorikan sebagai penyakit menular dan jika tidak secepatnya mendapat intervensi medis, akan berpotensi menyebabkan penyandangnya mengalami disabilitas fisik.
Secara umum, penyakit kusta ditularkan oleh penderita kusta yang belum berobat melalui kontak erat dan lama. Namun berdasarkan survei, ditemukan fakta, dari 95 persen orang yang terpapar kuman kusta, hanya dua orang yang dapat terpapar dan membutuhkan pengobatan.
Meskipun demikian, kusta wajib diwaspadai karena dapat menyerang siapa saja dari segala usia, termasuk anak-anak. Risiko tertular kusta akan semakin tinggi apabila tinggal di wilayah endemis kusta. Salah satu pencegahannya adalah dengan meminum obat pencegahan kusta yaitu Rifampicin.
Selain sebagai penyakit yang bisa menyebabkan disabilitas fisik apabila telat ditangani, para penyandang penyakit kusta atau OYMPK juga mengalami stigmanisasi dalam masyarakat dan masih berlangsung hingga saat ini.
Pelabelan negatif kepada para penyandang kusta dan OYMPK berdampak pada kualitas kehidupan mereka karenanya ini menjadi tantangan yang tak mudah bagi para penyandangnya dan OYMPK. Sementara keberadaan mereka ini, telah dijamin melalui Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam UU ini, penyandang kusta dimasukkan dalam kelompok disabilitas fisik.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga tahun 2020 Indonesia menempati peringkat ketiga kasus kusta terbanyak di dunia. Hal ini tentu mencerminkan masih banyaknya populasi kusta di Indonesia. Sementara itu, Indonesia punya target untuk mengeliminasi dan menihilkan kasus kusta. “Zero leprosy ditargetkan tahun 2030.” kata Jonna, singkat.
Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pihak-pihak yang terkait penanganan kusta di tanah air, bagaimana bisa mengintervensi dini agar terjadi eliminasi penularan, eliminasi potensi menjadi disabilitas dan eliminasi eksklusi sosial.
Maxi yang mewakili Kemenkes mengajak semuanya untuk mengenal dan memahami penyakit kusta dengan tepat dan benar. “Harapannya, Indonesia tidak hanya dapat mencapai zero leprosy, tetapi juga zero disability dan zero stigma,” ucap Maxi, optimis.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post