Bertempat di Gedung PP Muhammadiyah, Ketua Umum Pimpinan Pusat IPM, Nashir Effendi menjelaskan hasil riset ‘Outlook Perokok Pelajar Indonesia 2022’ bahwa saat ini Indonesia memang sudah darurat perokok anak dengan kondisi yang sangat mencemaskan. Padahal, di tengah kondisi global adiksi rokok mengalami tren penurunan, bahkan kini sebagian dunia telah memproklamirkan rokok sebagai artefak dari masa lalu (a thing of the past), Indonesia justru menjadi semacam anomali. Jumlah perokok terus naik, regulasi tak kunjung membaik, dan darurat perokok anak semakin mencemaskan.
Hasil riset menemukan, dari total 1.275 responden anak dari 175 kabupaten/kota, ternyata ada 0,28 persen yang mengaku pertama kali merokok sejak ada di PAUD. Survei Nasional Perokok Pelajar juga menemukan sebanyak 27,7 persen pelajar mengaku pernah merokok, dan 10,67 persen malah mengaku sebagai perokok aktif harian. Angka ini jauh melampaui harapan pemerintah dalam RPJMN 2020-2024 yg mantarget penurunan prevalensi perokok anak pada 8,7 persen.
“Yang teramat memilukan lebih dari 10 persen perokok pelajar tersebut pertama kali merokok dibawah 10 tahun, bahkan ada yang mengaku pertama kali merokok di usia dibawah 5 tahun,” sambung Nashir pada Rabu, 8 Februari 2023 lalu.
Pada variabel keterpaparan asap rokok, 78,43 persen pelajar mengaku terpapar asap rokok dalam sebulan terakhir pada saat survei dilakukan. Keterpaparan tersebut antara lain terjadi di rumah, tempat bermain, angkutan umum, tempat ibadah.
“Yang juga patut dicatat, 29,8 persen bahkan terpapar asap rokok di sekolah.”
Terkait cara membeli rokok, sebanyak 86,7 persen mengaku membeli rokok secara ketengan. Ada 47 persen hanya membeli secara ketengan, sedangkan 39,7 persen kadang masih membeli secara bungkusan. Nashir menjelaskan, tingginya angka perokok pelajar tersebut dipengaruhi antara lain karena iklan. Pasalnya, sebesar 11,03 persen pelajar mengaku mengenal rokok dari iklan. Sebanyak 71 persen pelajar yang aktif merokok menganggap iklan rokok kreatif dan menginspirasi.
“Yang menarik, ketika ditanya kriteria pemimpin yang diidamkan, 99 persen pelajar mengaku lebih memilih pemimpin yang bukan perokok,” ujar Nashir.
Keunikan lain riset ini membuktikan bahwa candu rokok mengakibatkan anak-anak berpotensi melakukan tindak kekerasan. Ada 5,88 persen responden yang bahkan mengaku sering malak atau meminta uang secara paksa untuk membeli rokok. Ada 30,15 persen responden anak yang kadang-kadang malak demi merokok, dan ada 27,94 persen yang mengaku jarang malak demi merokok. Temuan ini mengindikasikan sebagaian besar anak-anak perokok pernah malak demi mendapatkan uang membeli rokok.
Malak sebagai tindakan kekerasan untuk membeli rokok tercermin juga pada kejadian kekerasan awal Februari 2023 ini di Bandung. Berdasarkan berbagai sumber, Prohealth.id menemukan ada sekelompok geng motor di Kabupaten Bandung melakukan aksi pembunuhan akibatkan rokok. Tersangka yang berinisial T bersama geng motornya menebas leher korban (berinisial F) saat memaksa meminta rokok. Padahal korban sudah memberikan 10 batang rokok kepada T, namun karena adu mulut antara korban dan tersangka, terjadilah pembunuhan tersebut.
Perspektif agama dan kebijakan publik
Menurut Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sekaligus Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Anwar Abbas, fatwa tentang rokok dalam Islam memang masih beragam. Perbedaan fatwa antar ulama tidak lantas membuat rokok menjadi barang normal. Misalnya saja, bagi Muhammadiyah, rokok itu haram. Sebagian ulama menyebut hukum rokok tidak boleh dilakukan. Sementara Nadhatul Ulama (NU) masih menyatakan hukum tentang rokok boleh dilakukan.
“Yang pasti belum ada anjuran rokok itu sehat dan diwajibkan untuk konsumsi setiap hari,” jelas Buya Anwar.
Untuk itu dalam menyoal konsumsi rokok, Buya Anwar Abbas menitikberatkan pada dampak negatif rokok bagi manusia secara medis. Dia menegaskan, fakta medis sangat memperkuat perspektif agama dan kebiasaan hidup manusia beriman setiap hari.
“Makanya dipikiran kira-kira rokok membawa kebinasaan atau tidak? Ini tugas ilmuwan. Dari perspektif agama, maka yang boleh dimakan atau dikonsumsi adalah yang tidak merusak fisik dan tidak merusak pikiran,” tegasnya.
Pembina Indonesia Institute for Social Development (IISD), Tien Sapartinah menjelaskan survei hasil kolaborasi ini wajib menjadi panduan dalam rumusan kebijakan kesehatan ke depannya karena survei ini dibuat dari generasi yang sama dengan generasi obyek penelitian. Artinya, tidak ada masalah komunikasi yang membuat riset ini banyak ruang misinterpretasi. Dia berharap riset ini bisa mempengaruhi kebijakan pengendalian tembakau untuk kesehatan, termasuk mengurangi potensi diskriminasi dalam implementasi kebijakan.
“Misalnya, kenapa diskriminasi antara rokok dengan miras? Kalau iklan rokok dari papan iklan yang kasat mata 90-95 persen dari bidang, peringatan cuma 5-10 persen,” jelas Tien.
Dia mengingatkan saat ini narasi-narasi kesehatan yang kerap dibenturkan dengan ekonomi harus diatasi untuk menjaga komitmen pencapaian generasi emas Indonesia 2045, sesuai kesepakatan dalam RPJMN 2019-2024. Dia menilai penting untuk menjaga komitmen dan orientasi kebijakan untuk perlindungan kepada semua elemen masyarakat.
“Untuk itu perlu ada dukungan global. Misalnya di tingkat global harus dorong Indonesia ikut FCTC, supaya Indonesia lebih kuat,” tegas Tien.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post