“Tobacco isn’t just a business, it’s our lifeblood,” said the head of Bright Leaf
“To our lifeblood.” a chorus of voices repeated.
Sorak sorai dalam pesta peluncuran produk nikotin baru Bright Life dalam novel The Tobacco Wives. Pada tulisan ini, saya mengangkat dua karya fiksi yang dapat dikorelasikan dengan isu pengendalian tembakau di Indonesia, yaitu novel yang berjudul The Tobacco Wives dan film fantasi sains dengan judul Don’t Look Up.
The Tobacco Wives: A Novel
Novel The Tobacco Wives ditulis oleh Adele Myers, yang diterbitkan pada 2021. Kelulusan Jurnalistik dari University of North Carolina at Chapel Hill ini tinggal di Brooklyn, New York. Bercerita tentang kehidupan sekelompok penduduk di wilayah penghasil tembakau yang ditulis dengan kuat oleh Adele Myers karena ia tumbuh dengan seorang nenek yang merupakan penata rambut istri orang kaya dari pemilik tembakau terkuat di Winston-Salem, North Carolina. Adele Myers yang menata karirnya sebagai public relation and advertising, sehingga, ia mampu mengangkat cerita mengenai strategi iklan produk tembakau di karya fiksi pertamanya.
Tokoh utama dari novel ini namanya Maddie, seorang gadis yang masih duduk di Sekolah Menengah Atas yang baru saja ditinggal ayahnya yang mengalami kecelakaan pesawat. Oleh Ibunya, Meddie dititipkan bersaman bibinya, Etta yang bekerja sebagai penjahit professional khusus ‘kerajaan tembakau’ yang bernama Bright Leaf. Etta menjahit beberapa gaun yang warnanya disesuaikan dengan produk baru untuk menyasar para perempuan. Model dengan menggunakan gaun sambil menghisap rokok juga terpampang di cover majalah Vogue.
Bright Leaf gencar memberikan statement kepada masyarakat bahwa ‘every woman deserve a moment to herself’. Akibat dari iklan yang masif di majalah dan toko-toko oleh perempuan sebagai modelnya, menjadi hal yang normal jika perempuan, bahkan yang sedang hamil mengonsumsi rokok. Di tahun 1940, belum banyak informasi bahaya merokok, bahkan dokter dan peneliti menjadi ikon iklan produk tembakau.
Meddie mengetahui hasil penelitian dari dr. Hale yang ia dapatkan dari kantor pemimpin Bright Leaf. Dalam penelitiannya menjelaskan akibat perokok perempuan yang sedang hamil akan mengalami kematian bayi atau kelahiran yang berat badanya turun. Surat yang dikirim oleh dr. Hale ternyata menjadi surat rahasia yang disimpan rapi oleh keluarga Bright Leaf. Produk tembakau semakin gerilya dengan beriklan dan gencar menargetkan perempuan, laki-laki, dan anak muda melalui iklan di televisi, radio, dan majalah, koran, dan billboard.
Karya fiksi dengan latar waktu 1940 dapat dikorelasikan dengan perang dunia 1 (1914-1918). Pada perang ini, menjadi titik awal dari berkembangnya raksasa industri rokok di Amerika Serikat secara nyata. Perlawanan dari gerakan anti tembakau sudah ada namun tertutup dengan iklan rokok yang masif dan kreatif. Mengonfirmasi novel The Tobacco Wives, Amerika sudah memiliki penelitian bahaya rokok, namun industri rokok melawan dengan iklan menggunakan bintang-bintang film bahkan dokter.
Dalam buku The Giant Pack of Lies: Bongkah Raksasa Kebohongan yang menjadi ‘kitab suci pengendalian tembakau’, pada tahun 20-an, di Amerika tersebar pandangan kalau anak laki-laki tidak merokok bagian dari kelompok banci, dan industri rokok menunggangi kesetaraan gender untuk menargetkan remaja perempuan dengan menyebarkan pandangan bahwa “merokoklah kalau ingin dianggap setara dengan laki-laki” dan “perempuan yang merokok akan menambah cantik”.
Industri rokok di Indonesia saat ini juga memproduksi rokok yang menjadi pilihan perempuan dengan varian rasa, rasa isap padat yang halus, bau yang wangi ketika dibakar, batangan rokok yang lebih slim. Maka, bukan hal yang tidak lazim ketika lingkungan masyarakat kita sudah terdapat banyak perempuan dari dari berbagai kalangan umur yang merokok dengan bebas. Pada tahun 2017, jumlah perokok perempuan di Indonesia menurut Kementerian Kesehatan sebanyak 6 juta jiwa.
Iklan rokok menjadi cara edukasi pertama industri rokok kepada masyarakat yang begitu masif, ditujukan kepada anak, remaja, dan perempuan. Jika kita amati sekitar, bagaimana iklan rokok sangat mewakili dunia anak muda, sehingga mereka merasa terwakili “gue banget nih”. Subjek pada iklan rokok sangat khas mulai dari petualangan di alam bebas, prestasi, musik, keberhasilan di dunia olah raga, sukses bergaul, dan sebagainya. Hal tersebut untuk memupuk anak muda untuk menjadi pelanggan tetap industri rokok.
Don’t Look Up: A Fantasy Film
Di novel The Tobacco Wives, Meddie menemukan surat dari dr. Hale tentang hasil penelitian bahaya merokok bagi perempuan dan ibu hamil, namun apa yang terjadi? Bright Life tetap melangsungkan bisnisnya tanpa peduli akibat yang terjadi dari konsumsi rokok, bahkan melakukan promosi lebih gencar lewat segala media untuk menutupi bahaya produknya. Hal ini berkaitan dengan pesan pada film fiksi ilmiah Amerika yang dirilis pada tahun 2021. Film Don’t Look Up bercerita tentang astronot dan ilmuwan yang menemukan sebuah komet yang akan menghancurkan planet bumi. Namun sayangnya, para konglomerat berhasil mengintervensi pemerintah agar menutup mata dan menyebarkan berita palsu kepada masyarakat demi mendapatkan keuntungan dari bencana tersebut.
Jalan cerita Don’t Look Up tidak asing dengan bencana isu pengendalian tembakau. Rasanya, sudah banyak penelitian yang membuktikan dampak negatif dari produk nikotin, terutama bagi masyarakat rentan termasuk anak-anak. Penulis telah membuat dan mempublikasikan konten dengan judul Don’t Look At Us yang dibisikkan dengan halus ke telinga-telinga masyarakat dan pemerintah, seakan epidemi tembakau di Indonesia bukanlah tanggung jawab industri rokok maupun pemerintah yang seharusnya meregulasinya.
Dalam konten Don’t Look At Us, penulis mengangkat hasil penelitian yang seharusnya menjadi alasan kuat pemerintah Indonesia segera melindungi masyarakatnya dari ancaman bencana zat adiktif dari hulu ke hilir. Di antara data dari berbagai penelitian tersebut adalah penelitian dari Emancipate Indonesia, The Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA), dan Yayasan Lentera Anak (2021) yang menyebutkan adanya tangan-tangan kecil pekerja anak yang terlibat di ladang tembakau. Anak anak diperas haknya demi keuntungan industri rokok, sedangkan pekerja di ladang tembakau mengalami gangguan kesehatan akibat keracunan nikotin pada saat memanen dan mengolah daun tembakau.
Anak-anak menjadi kelompok rentan dalam medan laga bisnis zat nikotin. Selain menjadi korban di ladang tembakau, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI, 2021) menemukan fakta, bahwa anak dari orang tua perokok berisiko mengalami stunting dibanding dengan anak dari orang tua bukan perokok. Hasil penelitian ini juga digambarkan dalam temuan di novel The Tobacco Wives yang dilakukan oleh dr. Hale. Faktor anak mengalami stunting karena kurangnya asupan gizi, terutama pemenuhan protein hewani. Tingginya angka stunting di Indonesia dapat dikorelasikan dengan uang belanja masyarakat yang lebih banyak dihabiskan untuk membeli rokok dibanding dengan pemenuhan nutrisi seperti telur dan susu.
Anak-anak Indonesia diserbu nikotin yang membuat mereka tak terpedaya. Dalam satu dekade, jumlah perokok anak usia 10-14 tahun meningkat jumlahnya sebesar 240 persen dari 9,6 persen pada tahun 2007 menjadi 23,1 persen pada tahun 2018 (Riskesdas 2007-2018). Fenomena perokok anak di negara ini diakibatkan oleh keterjangkauan rokok yang mudah dan iklan produk yang masif dan dapat ditemukan di mana-mana. Belum selesai masalah rokok konvensional, anak-anak Indonesia diserbu, produk baru nikotin rokok elektronik yang dikenal dengan vape. Pasalnya, menurut hasil survei Global Youth Tobacco Survey (GYTS, 2021), pengguna rokok elektronik usia 15 tahun keatas meningkat dari tahun 2011 sebanyak 480 ribu menjadi 6,6 juta di tahun 2021.
Di balik rentetan bencana yang menimpa anak Indonesia sebagai kelompok rentan, ada segolongan orang yang menutup mata tidak bertanggung jawab. Menutup mata-mata masyarakat dan pemerintah seakan tidak terjadi bencana di masa yang akan datang. Hingga detik ini, belum ada regulasi yang mengatur total pelarangan iklan rokok di segala media. Terkait munculnya rokok jenis baru, negara kita juga masih kekosongan regulasi dalam mengatur peredarannya. Padahal, rokok elektronik sudah banyak memakan korban.
Indonesia belum memiliki regulasi yang dapat menekan penurunan jumlah perokok terutama anak-anak dan masyarakat prasejahtera, serta bencana lainnya yang diakibatkan oleh produk nikotin. Sedangkan waktu semakin berkurang menuju tahun 2045, di mana Indonesia memiliki cita-cita meraih Indonesia Emas, yang tentu harapannya angka kesakitan masyarakatnya rendah, produktivitas tinggi, dan memiliki generasi yang unggul sebagai penerima estafeta pembangunan negeri. Hal baik di masa yang akan atang terancam tidak benar-benar terwujud jika kebijakan pengendalian tembakau belum ada yang berpihak pada rakyat.
Penulis: Sarah Muthiah Widad, Youth and Digital Media Associate Komnas Pengendalian Tembakau
Discussion about this post