Jakarta, Prohealth.id – Keputusan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok 10-15 persen pada tahun 2023 memang menuai pro dan kontra yang sengit. Misalnya saja respon yang belum lama viral di media sosial Twitter adalah tanggapan dari akun @bfndrk yang setuju atas kenaikan cukai rokok. Tweetnya yang mencantumkan tangkapan layar penelitian dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) ini mendapatkan 20ribu likes dan 6.900 retweet. Dalam penelitian tersebut diungkapkan bahwa rokok dapat menyebabkan stunting (kondisi gagal tumbuh karena kurang gizi), sehingga kenaikan cukai adalah salah satu solusi untuk mencegah stunting.
Sebagai ketua peneliti dalam riset tersebut, Teguh Dartanto, Ph.D., yang juga merupakan Dekan FEB UI mengaku bangga, karena penelitiannya tidak hanya diakomodasi oleh masyarakat yang viral di Twitter, tetapi juga diadopsi sebagai sebuah kebijakan berupa kenaikan cukai rokok. Teguh mengakui, sebagai peneliti ada sebuah kebanggaan penelitiannya dijadikan sebuah kebijakan dan ibaratnya diakomodasi oleh masyarakat.
“Kami di FEB UI memang ekonom pertama yang eksplor isu seperti ini (hubungan rokok dengan stunting). Selama ini rokok itu selalu (dihubungkan) dengan isu kesehatan saja,” ujar Teguh dikutip dari siaran pers yang diterima Prohealth.id, Kamis (16/2/2023).
Teguh juga menjelaskan, hubungan rokok dengan stunting bermula dari bagaimana perokok membelanjakan uang di keluarganya. Kepala keluarga yang merokok, memprioritaskan uangnya untuk belanja rokok dibandingkan untuk kesejahteraan keluarga. Bahkan ketika mendapatkan bantuan sosial untuk pemerintah, ternyata digunakan juga untuk merokok.
Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti 7.000 lebih data orang tua dan anak selama puluhan tahun yang diperoleh dari Indonesia Family Life Survey 2018, ditambah dengan penelitian langsung yang kami lakukan di Demak Jawa Tengah.
“Dari situlah kami mendapati bahwa orang tua yang merokok, cenderung anaknya stunting,” sambung Teguh.
Lebih memprihatinkannya lagi, tidak hanya uang pribadi dan uang pemerintah yang dibakar oleh para perokok, tetapi juga berpotensi membakar masa depan anak bahkan sejak ia belum lahir. Selain masalah gizi akibat perokok memprioritaskan membeli rokok dibanding makanan untuk keluarga, perokok juga mengekspos ibu hamil sebagai perokok pasif.
Artinya, bahkan ketika anak tumbuh dewasa, dibandingkan untuk anaknya sekolah, uang tersebut malah digunakan untuk beli rokok. Misalnya saja saat Teguh turun langsung meneliti di Demak, dia terenyuh melihat kondisi anak-anak yang mengalami stunting hanya karena keputusan orang tua yang tidak rasional memikirkan diri sendiri dibandingkan anaknya.
“Kenapa bisa ada orang yang tidak rasional seperti itu? Karena rokok mengandung zat adiktif,” pungkasnya.
Teguh berharap, masyarakat luas dapat memahami filosofi kenapa cukai rokok perlu dinaikkan. Hal ini karena ketika harga rokok semakin mahal, maka semakin seseorang tidak mau beli rokok. Selain itu, ia juga berpesan kepada masyarakat untuk memprioritaskan gizi dan pendidikan anak. Khususnya, untuk penerima bantuan dari Pemerintah (Program Keluarga Harapan/PKH), seluruh penerima telah menandatangani klausul bahwa bantuan sosial tidak boleh digunakan untuk merokok. Ia berharap jangan sampai sumber daya yang diberikan pemerintah untuk masyarakat kurang mampu ini digunakan untuk membeli rokok.
“Daripada duit dibakar dan mahal juga, lebih baik berhenti merokok saja, itulah tujuan utamanya dari kenaikan cukai. Penelitian kita juga menunjukkan, masih ada perokok yang rasional, artinya ketika rokok mahal, ada yang berhenti dan ada yang mengurangi rokoknya sehingga tujuan akhirnya akan tercapai, yakni cukai akan mengurangi stunting,” tegas Teguh.
Intervensi pemerintah
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebutkan ada 3 upaya yang dilakukan Kementerian Kesehatan untuk mencegah stunting di Indonesia. Ketiga intervensi ini, kata Menkes akan dimulai pada wanita sebelum kehamilan.
“Kita ditugaskan menurunkan angka stunting dari 24 persen ke 14 persen di tahun 2024. Kita sudah belajar bahwa intervensi atau program yang harus kita lakukan untuk bisa menurunkan stunting, fokus diarahkan bagi wanita sebelum melahirkan,” kata Budi G. Sadikin saat memberikan sambutan di acara Kampanye Gizi Seimbang dan Pemecahan Rekor MURI yang diselenggarakan oleh Pemprov Jawa Barat, Agustus 2022 lalu.
Oleh karenanya, intervensi nanti fokus diarahkan pada perempuan sebelum melahirkan, baik remaja di kelas 7 keatas dan juga pada saat ibunya hamil itu adalah titik yang paling rawan menyebabkan stunting.
Budi juga menjelaskan upaya pertama pencegahan stunting adalah pemberian TTD bagi para remaja putri. Kegiatan ini telah dimulai dengan menggalakkan Aksi Bergizi di Sekolah dengan 3 paket intervensi yakni pemberian TTD mingguan bagi remaja putri, aktivitas fisik dan konsumsi makanan bergizi seimbang.
“Untuk remaja kita harus pastikan mereka tidak kekurangan gizi dan zat besi, jadi harus ada program untuk memastikan para remaja kita sebelum hamil tidak kekurangan zat besi. Salah satunya dengan pemberian TTD di sekolah-sekolah,” terangnya.
Intervensi kedua, dengan pemberian TTD, pemeriksaan kehamilan dan pemberian makanan tambahan pada ibu hamil. Pasalnya, gizi dan zat besi pada ibu hamil harus tercukupi. Programnya adalah Kemenkes memberi makan yang cukup, dan untuk melaksanakan ini Kemenkes butuh bantuan Pemda. “Kita juga memberikan USG ke seluruh puskesmas, kita wajibkan ibu-ibu datang minimal 6 kali selama 9 bulan, untuk melihat perkembangan janinnnya cukup atau tidak. kalau tidak kita bisa segera lakukan intervensi,” sambung Budi.
Upaya ketiga, dengan pemberian makanan tambahan berupa protein hewani pada anak usia 6-24 bulan. Dia menjamin protein hewani ini tidak perlu yang mahal, sebab ada banyak sumber protein hewani yang harganya terjangkau dan bisa didapatkan di sekitar kita.
“Yang paling penting menurunkan stunting dengan menambahkan protein hewani seperti telur, ikan, ayam, daging dan susu. Terserah di masing-masing daerah yang tersedianya, yang penting protein hewani,” ujar Budi.
Guna memastikan intervensi berjalan optimal, Kemenkes telah menambahkan 2 metode pengukuran yang harus diperhatikan oleh petugas kesehatan.
Adapun untuk remaja putri, pemberian TTD dilakukan dengan mengukur kadar hemoglobin dalam darah menggunakan alat HB meter. Alat cek HB ini telah tersedia dan siap didistribusikan ke seluruh puskesmas di Indonesia. Dia menjamin, pemerintah pusat sudah membeli 10 ribu HB Meter mobile untuk seluruh puskesmas, yang bisa dibawa ke sekolah-sekolah untuk mengikuti apakah udah cukup zat besinya. “Kalau belum berarti setiap hari harus minum TTD,” lanjut Budi.
Sementara untuk ibu hamil, pengukuran zat besi dan gizi dilakukan dengan penyediaan USG di semua puskesmas. Melalui alat ini, perkembangan dan pertumbuhan bayi bisa terpantau, sehingga jika ada kondisi yang tidak sesuai dapat segera terdeteksi.
Pengadaan USG ini akan dilakukan bertahap. Tahun 2022 sudah mencapai 60 persen, maka tahun selanjutnya adalah mengejar sisanya 40 persen. Program pengadaan USG ini karena USG bisa mengukur panjang bayi di dalam janin.
“Kalau saat diukur tubuhnya pendek, kita jadi tahu ibunya kekurangan gizi jadi kita lakukan intervensi lebih banyak untuk menambah gizi sang ibu.”
Dengan dukungan dan kolaborasi lintas sektor dan program, Budi optimis ketiga program intervensi tersebut dapat berhasil dan mampu mengurangi angka kejadian stunting di Indonesia.
“Kalau ketiganya bisa kita lakukan, Insya Allah stuntingnya bisa turun, dukungan seluruh pihak sangat penting untuk memastikan intervensi ini berjalan optimal,” ujar Menkes.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post