Jakarta, Prohealth.id – Krisis air terjadi hampir di seluruh belahan dunia dan menjadi krisis global yang harus diantisipasi setiap negara.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut krisis air semakin menjadi ancaman serius dan harus jadi perhatian seluruh negara. Menurutnya, perubahan iklim menyebabkan terganggunya siklus hidrologi, sehingga memicu terjadinya krisis air.
” Tidak peduli itu negara maju atau berkembang. Karenanya, isu ini harus menjadi perhatian bersama seluruh negara tanpa terkecuali,” ungkap Dwikorita dalam The 10th World Water Forum Kick Off Meeting di Jakarta Convention Centre, Jakarta, pada 15 Februari 2023 lalu.
Dwikorita yang juga merupakan anggota Dewan Eksekutif World Meteorological Organization (WMO) menyampaikan bahwa ancaman krisis air akibat perubahan iklim ini sudah terlihat sangat jelas. Terus meningkatnya emisi Gas Rumah Kaca yang berdampak pada meningkatnya laju kenaikan temperatur udara, mengakibatkan proses pemanasan global terus berlanjut, dan berdampak pada fenomena perubahan iklim.
Fenomena ini, kata dia, akan terus berlanjut apabila laju peningkatan emisi Gas Rumah Kaca tidak dikendalikan atau ditahan, dan menyebabkan semakin cepatnya proses penguapan air permukaan, sehingga mengakibatkan ketersediaan air semakin cepat berkurang di suatu lokasi belahan bumi, namun sebaliknya terjadi hujan yang berlebihan (ekstrem) di lokasi atau belahan bumi yang lain.
Ketersediaan air permukaan dan air tanah yang makin berkurang ini, lanjut Dwikorita, akan memengaruhi ketersediaan air bersih di berbagai belahan bumi. Selain itu, perubahan iklim yang ekstrem menyebabkan proses turunnya hujan menjadi ekstrem dan tidak merata. Di mana sebagian besar daerah di bumi memiliki curah hujan yang tinggi, sedangkan di daerah bagian lain tidak.
Dwikorita mencontohkan, WMO pada tahun 2022 yang lalu melaporkan bahwa kekeringan dan kelangkaan air telah melanda Eropa, Amerika Utara Barat, Amerika Selatan Barat, Mediterania, Sahel, Amerika Selatan, Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Timur, Asia Selatan, Australia Tenggara dan berbagai wilayah lain di planet ini. Namun, pada saat yang sama, banjir juga terjadi Easton Sahil, Pakistan, Indonesia, hingga Australia Timur.
“Tidak ada perbedaan antara negara maju dan negara berkembang. Keduanya sama-sama menderita akibat kekeringan dan banjir. Jadi, sekali lagi kekeringan dan banjir adalah dampak yang sama akibat dari dari kencangnya laju perubahan iklim yang diperparah dengan kerusakan lingkungan” tuturnya.
Lebih lanjut, Dwikorita mengatakan bahwa akibat perubahan iklim, kejadian-kejadian ekstrem lebih kerap terjadi, terutama kekeringan dan banjir. Jika sebelumnya rentang waktu kejadian berkisar 50 – 100 tahun, maka kini rentang waktu menjadi semakin pendek atau frekuensinya semakin sering terjadi dengan intensitas atau durasi yang semakin panjang.
“Krisis air dan berbagai kejadian ekstrem tersebut dapat berdampak terjadinya krisis pangan di berbagai belahan dunia, sebagaimana yang telah diprediksi oleh WMO”, sambungnya.
Karenanya, tambah dia, Indonesia mengajak seluruh negara-negara di dunia untuk memitigasi atau mengurangi peningkatan dampak serius dari perubahan iklim tersebut. Melalui World Water Forum 2024 yang akan digelar di Bali diharapkan mampu meningkatkan komitmen dan kerjasama pengelolaan air global secara berkelanjutan.
“Situasi Bumi saat ini menjadi alarm serius bagi kita semua. Kita perlu bekerja sama, berpikir bersama, dan memecahkan masalah bersama,” pungkas Dwikorita.
Indonesia Tuan Rumah World Water Forum 2024
Sebagai informasi persiapan pembukaan Forum Air Dunia ke-10 yang mengambil tema “Water for Shared Prosperity” tersebut digelar pada 15-16 Februari 2023 di Jakarta. Sedangkan puncak acara akan diselenggarakan di Bali pada 18-24 Mei 2024 yang akan dihadiri para ilmuwan dan pakar hingga para pemimpin negara, politikus, korporasi, NGO, media, dan masyarakat umum.
Endra S. Atmawidjaja selaku Juru Bicara Kementerian PUPR menyampaikan, dalam menerima kepercayaan ini jangan hanya melihat Indonesia sebagai host, namun sebagai ibu kota air dunia.
“Indonesia dapat kehormatan menjadi tuan rumah. Bukan hanya sebagai host tapi capital, water capital of the world. Ibukotanya dunia tentang air. Semua mata akan tertuju ke Indonesia. Karena itu ia kita harus menunjukan leadership yang kuat sehingga berbagai isu tentang air ini diselesaikan pada level yang tertinggi,” kata Endra dalam diskusi bertema “Kelestarian Air Kebutuhan Hidup Bersama” yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) pada Senin, 20 Februari 2023.
Endra mengatakan hal ini sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo yang menekankan pentingnya mendapatkan manfaat nyata bagi Indonesia ketika menjadi tuan rumah dalam menggelar acara-acara bertaraf internasional, salah satunya dalam kegiatan World Water Forum (WWF) ke-10 pada 2024 mendatang.
“Kalau selama penyelenggaraan itu kan sudah pasti ya kita dapat publikasi, exposure, UMKM kita, tourism kita meningkat. Tapi di balik itu kita juga berharap bahwa ada program terkait air yang memang bisa masuk ke Indonesia dan itu bisa membantu kita menyelesaikan berbagai masalah tentang air tadi,” kata Endra.
Endra menegaskan, selama penyelenggaraan World Water Forum (WWF) nanti, Indonesia akan mendorong 6 topik pembahasan. Diharapkan nantinya menjadi program untuk diimplementasi sebagai bagian dari kebijakan tata kelola air. Baik di tingkat nasional maupun internasional bersama negara-negara anggota.
Ada beberapa masalah yang memang teridentifikasi cukup penting. Pertama adalah tentang relasi human and nature. “Jadi bagaimana perilaku manusia ini juga harus tetap bersahabat dengan lingkungan. Tidak merusak lingkungan. Konservasi kita upayakan lebih intensif lagi,” tegasnya.
Endra mencotohkan, bencana yang terjadi di Bengawan Solo beberapa bulan lalu merupakan dampak dari relasi manusia dan alam yang tidak harmonis. Meningkatnya urbanisasi membuat lahan-lahan yang seharusnya merupakan DAS (daerah aliran sungai) menjadi berkurang.
Terkait water security, Indonesia ingin mendorong negara-negara anggota untuk bersama-sama menjaga ketahanan air, ketahanan pangan hingga menjamin air bersih yang cukup serta menjaga sanitasi yang layak.
Selanjutnya, kata Endra mengurangi resiko bencana, terutama terkait air. Kemudian, meningkatkan kerjasama tentang air. Menurutnya, kerjasama tentang air ini bisa dilakukan di berbagai level mulai dari antar daerah, nasional hingga global.
Endra lantas mencontohkan Sungai Rhein yang terdapat Eropa, tepatnya di pengunungan Alpen di Swiss wilayah Graubunden. Sungai tersebut memiliki aliran yang panjang mulai dari Chekoslasvia hingga Jerman.
“Kemudian ada sungai dari China sampai Vietnam. Di Afrika juga begitu. Ada sungai yang dilalui beberapa negara begitu. Nah, itu kan butuh kerjasama internasional tentang air. Kita tidak bisa membayangkan ke depan ini air bisa menjadi sumber konflik, sumber perang karena memang jumlahnya terbatas,” paparnya.
Berikutnya, Endra menambahkan, pihaknya juga akan mendorong pembahasan tentang uang. Sebab menurutnya, apapun yang dibicarakan dari sisi teknis, harus juga membicarakan water and inovatif financing. Apakah pembiayaannya dibebankan kepada masyarakat, pemerintah atau juga melibatkan partisipasi swasta. Lalu bagaimana pengaturan skemanya.
“Terakhir yang tak kalah penting adalah adalah knowledge and inovation. Ini tugas para researcher, akademisi yang berkaitan dengan data dan informasi science base management,” bebernya.
Untuk diketahui, Forum Air Dunia merupakan kegiatan pertemuan internasional terbesar di bidang air yang membahas pengelolaan sumber daya air melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Forum tersebut diprakarsai Dewan Air Dunia atau World Water Council (WWC) dan diselenggarakan setiap tiga tahun sekali sejak 1997.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post