Jakarta, Prohealth.id – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyatakan selama dua bulan awal tahun 2023 sudah ada 10 laporan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Jumlah korban dari 10 kasus tersebut bahkan mencapai 86 orang.
FSGI menemukan bahwa sebanyak 50 persen kasus kekerasan seksual terjadi dijenjang sekolah dasar atau SD/MI, 10 persen di jenjang SMP, dan 40 persen di pondok pesantren. Dari 10 kasus tersebut, 60 persen satuan pendidikan tersebut di bawah kewenangan Kementerian Agama dan 40 persen dibawah kewenangan Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemendikbudristekdikti).
Dari total 10 kasus, sebanyak 9 kasus tercatat sudah dilaporkan kepada pihak kepolisian dan semua dalam proses penanganan oleh kepolisian, sedangkan 1 kasus di Gunung Kidul diselesaikan dengan memindahkan kelas mengajar dan pengurangan jam mengajar oknum guru pelaku.
Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar FSGI menegaskan pihaknya mengkritik hukuman semacam itu, karena tidak mempertimbangkan kondisi psikologis korban yang masih bersekolah di tempat yang sama, dan kemungkinan besar setiap hari bertemu oknum guru pelaku di lingkungan sekolah tersebut.
“Sementara guru pelaku tetap berpotensi melakukan hal yang sama tapi pada anak yang lain. Keputusan hukuman semacam itu tidak akan menimbulkan efek jera pada pelaku dan tidak berpresfektif melindungi anak di lingkungan sekolah”, ujarnya dari pesan singkat melalui WhatsApp, Senin (20/2/2023).
Retno menerangkan, pelaku kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan ada 10 orang dan semuanya adalah laki-laki. Adapun status pelaku, yaitu pimpinan pondok pesantren dan guru sebagai pelaku merupakan jumlah terbesar, yaitu masing-masing sebanyak 40 persen, ada juga kepala sekolah dan penjaga sekolah masing-masing 10 persen. Sedangkan korban total 86 anak, baik laki-laki maupun perempuan. Anak korban laki-laki sebanyak 37,20 persen, dan korban anak perempuan mencapai 62,8 persen.
Heru Purnomo, selaku Sekjen FSGI menambahkan, kekerasan seksual terhadap anak yang berbasis daring pada tahun 2023 ada 1 kasus atau setara 10 persen, dan 90 persen kasus dilakukan secara luring oleh pelaku.
“Kekerasan seksual berbasis daring terjadi diawal tahun 2023 ini, menyasar pada anak-anak usia SD dengan jumlah korbannya 36 anak, dan 22 anak dari 36 tersebut merupakan teman satu sekolah yang sama, laki-laki maupun perempuan”, ungkap Heru.
Terkait kekerasan secara daring, Heru menambahkan bahwa rata-rata berusia 12 tahun, dikenal pelaku melalui akun Facebook. Modus pelaku mengirimkan konten pornografi melalui grup WhatsApp anak anak korban dan video call pribadi dengan meminta anak korban melepas pakaiannya.
Ada lima wilayah kejadian di provinsi dan 10 kabupaten/kota.
Pertama, Provinsi Lampung terjadi di Kabupaten Mesuji, Lampung Tengah, Lampung Selatan, Lampung Utara dan Lampung Barat.
Kedua, di Provinsi Jawa Tengah terjadi di Kabupaten Batang dan Kota Semarang. Ketiga, di Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta terjadi di Kabupaten Gunung Kidul. Keempat, di Provinsi Jawa Timur terjadi Kabupaten Jember. Kelima, di Provinsi DKI Jakarta terjadi di wilayah Kota Jakarta Timur.
Data tersebut menunjukan bahwa 50 persen kasus KS di satuan pendidikan terjadi di provinsi Lampung, hal ini tentunya memerlukan pendalaman lebih jauh terkait factor sebab akibatnya dan upaya menanggulanginya.
“Sedangkan 20 persen terjadi di Jawa Tengah dan 10 persen masing-masing terjadi di DIY, Jawa Timur dan DKI Jakarta,” pungkas Heru.
Beberapa Modus Kekerasan Seksual
Dari 10 kasus di tahun 2023 ini, FSGI mencatat sejumlah modus pelaku dalam melancarkan aksi bejatnya terhadap anak korban.
Pertama, korban dibujuk agar mendapatkan barokah dari Tuhan oleh pelaku yang pemilik pondok pesantren.
Kedua, valuasi pembelajaran di dalam ruang Podcast Ponpes pada pukul 23.00 WIB kemudian dicabuli. Ketiga, diiming-imingi uang dan jajanan oleh pelaku.
Keempat, lapor dilecehkan teman sekolah ke kepala sekolah, malah dicabuli Kepsek di ruang UKS dengan dalih memeriksa dampak pelecehan yang dilaporkan.
Kelima, guru kelas menyentuh pinggang dan dada, siswinya melawan, namun si guru malah mengulangi. Keenam, guru agama periksa PR, siswi dipangku dan diminta kakinya mengangkang.
Ketujuh, pelaku bukan guru, pelaku berkenalan dengan anak korban melalui media sosial, lalu dimasukan korban ke grup WA teman sekolahnya, pelaku melakukan video call, mengirimi video porno dan melakukan kekerasan seksual berbasis daring terhadap 22 siswi SD dari sekolah yang sama.
Kedelapan, korban diberi uang dan diajak ke kantin, lalu di ciumi dan diremas dadanya
Dari 8 modus tersebut, terutama kasus KS yang terjadi di satuan pendidikan berasrama berbasis agama, FSGI menilai bahwa relasi kuasa antara tokoh agama dan santrinya melekat kuat di pesantren. Nilai-nilai ketakziman santri untuk memperoleh keberkahan guru dan semua perkataan kiai atau ustadnya merupakan sesuatu yang harus dilakukan jika tidak akan mengurangi keberkahan maupun syafaat.
“Sehingga, pelaku biasanya dianggap memiliki kebenaran hakiki baik ucapan maupun tindakannya. Hingga hanya sedikit masyarakat yang mempercayai kebenaran peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban yang notabene masih di bawah umur,” tegas Retno.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post