Masalah kesehatan di Indonesia merupakan masalah krusial yang termasuk dalam bagian hak asasi manusia. Menurut Beka Ulung Hapsara, Komisioner Komnas HAM periode 2017-2022 sekaligus Anggota Dewan Penasihat CISDI, kesehatan adalah HAM sehingga setiap manusia wajib mendapatkan standar kesehatan yang tertinggi dan dapat dijangkau.
“Berarti, setiap orang bisa merasakan kondisi kesehatan yang tertinggi dan didukung dengan sumber daya yang maksimal,” ujar Beka dalam acara media briefing CISDI menjelang peluncuran Health Outlook, Senin (20/2/2023).
Untuk menjamin standar tersebut bisa diakses oleh setiap warga negara, Beka menegaskan kembali kewajiban negara atau pemerintah atas sektor kesehatan. Pertama adalah menghormati setiap individu sehingga tidak ada diskriminasi menikmati hak kesehatan. Kedua, melindungi, yakni dengan memastikan tidak ada orang atau kelompok masyarakat yang kekurangan kesempatan mengakses hak atas kesehata. Ketiga, kewajiban memenuhi, yakni negara harus mengambil langkah administratif, legislatif, dan yudisial, guna menjamin hak atas kesehatan terpenuhi secara maksimal.
Untuk itu ada beberapa indikator yang menurut Beka wajib dijamin oleh pemerintah yakni; ketersediaan, aksesibilitas, keberterimaan, dan kualitas kesehatan. Tak lupa indikator tersebut tidak boleh melupakan hak-hak kelompok rentan dalam masyarakat.
“Hak kesehatan bagi kelompok rentan ini hak dasar yang wajib diberikan dalam pelayanan kesehatan dengan berstandar pada prinsip non-diskriminasi, toleransi, empati,” terang Beka.
Sementara itu, iah Satyani Saminarsih, Founder dan Chief Executive Officer of CISDI menegaskan setidaknya ada tiga fokus utama CISDI yang akan tertuang dalam rekomendasi kebijakan kesehatan untuk pemerintah di tahun 2023.
Pertama, adalah perluasan dan jaminan akses layanan kesehatan primer yang dalam hal ini adalah puskesmas dan posyandu. Kemenkes mendata pada awal pandemi, lebih dari 75 persen posyandu berhenti beroperasi dan memberi dampak besar pada kesehatan masyaraka.
Menurut Diah, layanan kesehatan primer ini adalah layanan yang paling terjangkau untuk semua elemen masyarakat. “Selain itu layanan kesehatan primer ini paling dekat dengan masyarakat sehingga penting menjamin kualitasnya baik,” terang Diah dalam forum yang sama.
Kedua adalah transformasi sistem kesehatan termasuk dengan mendorong infrastruktur digital bidang kesehatan. Menurut Diah, hal ini penting karena belajar dari kasus COVID-19, ancaman kesehatan lain masih menanti dan memerlukan langkah preventif.
Ketiga, jaminan sistem ketahanan kesehatan global. Masih belajar dari mekanisme selama pandemi COVID-19, seluruh dunia saling terhubung. Artinya, setiap negara tidak bisa berdiri sendiri, sebab baik keamanan, kesehatan, dan kesejahteraannya berhubungan dengan negara lain.
“Ini semua bisa terwujud jika kebijakan level nasional harus terumuskan dengan baik,” tegas Diah.
Tantangan Tahun Politik
Diah menambahkan, upaya transformasi kesehatan sebagai bentuk menjamin hak asasi manusia di Indonesia pada tahun 2023 ini akan dihantui dengan dinamika politik.
Menuju tahun Pemilu 2024 mendatang ada tantangan tata kelola pemerintahan dan potensi pelambatan kebijakan di tahun politik. Untuk itu perlu adanya ketegasan menagih janji pemerintah pusat, transformasi tata kelola di Kementerian Kesehatan, serta membaca geliat politik di tingkat sub-nasional.
“Kesehatan ini banyak aspek politik tapi padahal banyak basis human rightsnya. Kalau kesehatan rusak maka tidak ada yang sejahtera dan mengganggu dinamika politik sebuah negara,” ujar Diah.
Beberapa tantangan lain yang harus diwaspadai menurut Diah adalah; tantangan keamanan dan ketahanan kesehatan serta tantangan pelambatan ekonomi dan politik anggaran.
Untuk tantangan keamanan, Diah mengingatkan ancaman penyakit baru pasca COVID-19. Apalagi, kapasitas respons pandemi di Indonesia masih terbilang lemah. Ada juga ancaman akibat kerusakan lingkungan dan perubahan iklim yang mengurangi kemampuan ketahanan kesehatan.
Sementara dari sisi pelambatan ekonomi dan politik anggaran, Diah mengingatkan di tahun 2023 ada pelambatan ekonomi global. Kondisi ini akan berimbas juga pada komitmen anggaran pemerintah pusat juga kapasitas fiscal pemerintah daerah.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post