Jakarta, Prohealth.id — Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan persentase perokok usia 10–18 tahun terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 persentasenya sebesar 7,2 persen lalu naik menjadi 9,1 persen di tahun 2018, apa sebabnya?
Pejabat Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto mengkhawatirkan, jika perokok muda yang menggantikan perokok tua semakin bertambah, hal itu menjadi kondisi sulit bagi bangsa Indonesia.
“Alarm masa depan generasi kita, termasuk mengenai beban biaya kesehatan di masa depan,” kata Teguh pada peluncuran hasil riset PKJS UI terkait Densitas dan Aksesibilitas Rokok Batangan Anak-Anak Usia Sekolah, Rabu (16/6/2021).
Belum lagi, angka ini ternyata jauh dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019 dengan target prevalensi merokok usia muda hanya sebesar 5,2 persen.
“Sangat dikhawatirkan prevalensi perokok anak meningkat. Artinya sustainability dari perokok anak pertumbuhannya lebih cepat, sehingga target RPJMN sulit tercapai,” ujar Teguh.
Fakta lain, menurut Teguh, harga rokok di Indonesia masih sangat murah, dan iklan serta promosi rokok masih sangat masif. Selain itu, belum ada regulasi khusus yang mengatur pembatasan penjualan rokok secara eceran per batang.
“Akibatnya, perokok aktif lebih sulit untuk berhenti merokok dan dapat memunculkan perokok baru anak-anak maupun remaja,” ungkap Teguh yang juga peneliti dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI).
Menurut Teguh, ada dua hal yang menyebabkan mengapa prevalensi perokok anak terus meningkat di Indonesia.
“Dan penelitian ini melihat sebuah gambaran yang belum banyak dieksplorasi oleh para peneliti,” tegasnya.
Dua hal itu adalah terkait afordabilitas (keterjangkauan) dan aksesibilitas atau kemudahan untuk menjangkau produk-produk turunan tembakau.
“Dimana jika harga rokok murah, maka anak-anak bisa dengan uang sakunya membeli,” kata Teguh.
AFORDABILITAS (Keterjangkauan)
Menurut Teguh, selain harga rokok yang murah, skema pembelian rokok secara ketengan, membuat anak-anak lebih mudah lagi untuk mendapatkan rokok. Belum lagi, regulasi khusus yang mengatur pembatasan penjualan rokok secara eceran per batang tidak ada di Indonesia.
“Orang tanpa izin dapat menggunakan garasi rumah untuk menjual satu batang rokok atau per bungkus. Harga rokok juga termasuk dalam kategori murah, yaitu Rp1.000–4.000 per batang,” papar Teguh.
Selain itu, tinggal dekat dengan lokasi yang padat dengan penjualan rokok eceran membuat perokok aktif lebih sulit untuk berhenti merokok dan dapat memunculkan perokok baru anak-anak maupun remaja.
“Oleh karena itu, studi PKJS UI ini memberikan bukti bahwa kepadatan warung rokok menunjukkan afordabilitas bagi anak-anak untuk membeli rokok eceran,” tegasnya.
DKI Jakarta dipilih sebagai lokasi penelitian, menurut Teguh, karena merupakan kawasan perkotaan dengan kepadatan penduduk yang memungkinkan untuk menemukan warung rokok eceran.
“Dengan Google maps dilanjutkan menggunakan Google street view. Studi ini mampu mencatat lokasi sekolah dari laman Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta,” katanya.
AKSESIBILITAS (Kemudahan Akses)
Selain faktor keterjangkauan, Teguh mengatakan ada hal lain yang juga penting, yakni terkait aksesibilitas. Pasalnya, jika harga rokok murah, namun tidak ditemukan di pasaran, maka anak-anak tidak akan membelinya.
Oleh karena itu, menurut Teguh, desain riset PKJS UI yang dilakukan secara sistematik random sampling dengan sampel minimal yang dibutuhkan hanya 62 penjual warung rokok eceran.
“Survei juga menanyakan potensial kebijakan restriksi berupa licensing, zoning minimal 100 meter dari lokasi sekolah, dan pengawasan serta penetapan sanksi penjualan rokok kepada anak-anak atau ibu hamil,” ungkap Teguh.
Anggota tim riset PKJS UI lainnya, Risky Kusuma Hartono menjelaskan bahwa melalui Google maps dan Google street view teridentifikasi sebanyak 8.371 warung rokok eceran di DKI Jakarta.
“Perbandingan dengan luas wilayah per km2, didapati ada 15 warung rokok eceran setiap 1 km2,” kata Risky.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, didapati kurang lebih 1 warung rokok eceran setiap 1.000 penduduk.
“Juga ditemukan warung rokok eceran dengan radius kurang dari 100 meter di sekitar area SD sebesar 21,67 persen; SMP sebesar 26,05 persen; SMA atau SMK sebesar 15,63 persen,” papar Risky yang juga gemar menulis jurnal penelitian.
Risky mengatakan, lokasi sekolah di DKI Jakarta memiliki akses yang mudah bagi anak usia sekolah membeli rokok batangan. Hal itu diperparah, ketika karakteristik pemasaran warung rokok eceran dari sisi lokasi, ternyata 61,2 persen warung rokok berlokasi kurang dari 100 meter dari area sekolah.
Dari sisi promosi, sebagian besar warung memiliki media promosi rokok berupa banner atau spanduk sebesa 80,7 persen.
“Terdapat 11,3 persen warung pernah melakukan promosi rokok eceran berupa gratis produk lain,” kata Risky yang juga berprofesi sebagai dosen.
Uniknya, penelitian juga menemukan sebanyak 58,1 persen warung memperbolehkan konsumennya membeli rokok eceran secara berhutang.
“Cara-cara ini turut andil membuat anak semakin tergantung pada rokok,” kata Risky.
KEBIJAKAN RESTRIKSI
Hal lain yang menarik dari penelitian PKJS UI, menurut Risky adalah ditemukannya opsi kebijakan restriksi yang ternyata didukung oleh para pedagang untuk berhenti menjual rokok.
“Ternyata para pedagang yang setuju larangan menjual rokok di lingkungan perumahan atau zoning di sekitar area sekolah jumlahnya sebesar 37,1 persen, disusul dengan penjual rokok harus memiliki lisensi 17,7 persen,” terang Risky.
Selain itu, penjual yang berpendidikan tamatan SMA, sebagai wiraswasta, berpenghasilan 1-2 juta per bulan, tidak menggunakan media promosi dalam menjual rokok. Mereka memiliki proporsi cukup besar untuk berniat berhenti menjual rokok apabila kebijakan zoning diterapkan.
Oleh karena itu, Risky mengusulkan agar revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 mengenai pelarangan penjualan rokok secara batangan (ketengan) segera dibuat.
Kementerian Dalam Negeri bersama pemerintah daerah juga perlu mendorong diterapkannya aturan restriksi penjualan rokok eceran, khususnya yang dekat dengan area sekolah.
Selain itu, menurut Risky, Kementerian Perdagangan harus mampu mengembangkan regulasi yang memperketat penjualan rokok secara per bungkus dan pelarangan penjualan rokok secara batangan.
“Adapun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu mendorong sekolah agar mengawasi para siswa sehingga tidak merokok dan mengintensifkan promosi kesehatan mengenai bahaya merokok,” kata Risky
Terakhir, menurut Risky, dalam rangka menekan prevalensi perokok anak, Kementerian Keuangan perlu menaikkan Cukai Hasil Tembakau (CHT), menaikkan Harga Jual Eceran (HJE) minimum setiap tahun.
“Juga melakukan simplifikasi strata tarif CHT,” pungkasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post