Oleh: Risky Kusuma Hartono dan Renny Nurhasana,
Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial, Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG),
Universitas Indonesia
Indonesia mengalami darurat masalah perokok anak. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi perokok anak di Indonesia semakin mengkhawatirkan karena mengalami peningkatan dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Kondisi ini hampir setara dengan diantara 10 anak terdapat 1 anak yang menjadi perokok. Apabila dibiarkan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan prevalensi perokok anak bisa mencapai 30 persen pada 2030. Sedangkan target pemerintah yaitu mengupayakan penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen pada 2024. Upaya penurunan +1 persen tersebut tetap membutuhkan keseriusan agar dapat mencapai target yang telah ditentukan.
Penduduk miskin, kaum muda, remaja, dan anak-anak menjadi target penjualan rokok batangan. Sebuah studi tahun 2016 yang menggunakan data Global Youth Tobacco Survey melaporkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara di ASEAN dengan proporsi 40 persen perokok berusia 13-15 tahun membeli rokok secara batangan. Kondisi ini memang tidak dapat dipungkiri. Harga rokok batangan termasuk dalam kategori murah yaitu Rp1.000-Rp4.000 per batang. Harga yang terjangkau inilah menjadi salah satu penyebab masih belum terkendalinya prevalensi perokok anak di Indonesia. Apalagi belum ada regulasi yang mengatur pelarangan jual beli rokok eceran per-batang. Masyarakat dapat menjadikan garasi rumah untuk menjual rokok per batang secara bebas.
Hasil studi PKJS-UI yang bertajuk densitas dan aksesibilitas rokok batangan kepada anak-anak usia sekolah yang dilaksanakan di DKI Jakarta pada 2021 menunjukkan bahwa titik warung rokok eceran relatif cukup padat apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk maupun luas wilayah di DKI Jakarta. Anak usia sekolah juga masih sangat mudah untuk mengakses pembelian rokok batangan karena masih terdapat warung rokok dengan radius ≤100 meter di sekitar area sekolah.
Dari sisi promosi, sebagian besar warung rokok masih menyediakan media promosi berupa banner atau spanduk iklan rokok. Ditambah lagi dengan adanya pajangan produk rokok yang diletakkan di bagian depan warung sehingga dapat dilihat oleh anak-anak. Konsumen juga diperbolehkan membeli rokok batangan secara berhutang. Sedangkan dari sisi produk, rokok merupakan produk penjualan tertinggi dibandingkan dengan komoditas lain seperti sembako maupun jajanan. Ratusan rokok batangan per-minggu telah terjual kepada konsumen termasuk kepada anak-anak. Bahkan produk rokok terlaris merupakan merek yang cukup terkenal. Begitulah studi tersebut mengungkap aksesibilitas rokok batangan kepada anak-anak usia sekolah.
Masih diperbolehkannya pembelian rokok secara batangan dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Penjualan rokok secara batangan akan menghambat efektivitas kenaikan harga minimum pada kebijakan cukai karena merek rokok terlaris merupakan merek rokok yang cukup terkenal dan semestinya tidak dapat dijangkau oleh anak-anak apabila penjualannya dilakukan secara per-bungkus. Disisi lain, perokok yang berniat berhenti merokok berpotensi dapat mengurungkan niatnya, bahkan memicu kemunculan inisiasi perokok baru dari kalangan anak-anak dan remaja. Para pembeli juga kehilangan momen melihat gambar bahaya merokok pada bungkus rokok apabila rokok dibeli secara batangan.
Kementerian Pendidikan Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan No. 64 Tahun 2015 yang menetapkan sekolah sebagai kawasan tanpa rokok.
Namun, peraturan ini tidak melindungi anak-anak ketika mereka berjalan di luar sekolah. Siswa tetap dapat mencoba untuk membeli rokok secara batangan di luar area sekolah mereka. Studi di Bali menunjukkan bahwa pelarangan penjualan rokok dalam radius minimal 100 meter dari area sekolah memungkinkan untuk mengurangi paparan remaja terhadap pemasaran rokok.
Kebijakan yang efektif untuk pengendalian penjualan rokok secara batangan sangat diperlukan. Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan sebagai salah satu kebijakan dalam pengendalian konsumsi rokok memerlukan revisi agar kebijakannya lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Opsi penambahan pasal pelarangan penjualan rokok secara batangan pada PP tersebut menjadi sebuah urgensi. Dengan adanya pelarangan tersebut, rokok hanya diperbolehkan dijual secara per-bungkus dan menjadi tidak terjangkau oleh anak-anak maupun remaja.
Tidak hanya revisi PP 109/2012, sinergisitas antar Kementerian atau Lembaga di Indonesia untuk bersama-sama mencapai target penurunan prevalensi perokok anak tetap diperlukan. Kementerian Dalam Negeri bersama Pemerintah Daerah perlu mendorong untuk menerapkan aturan restriksi penjualan rokok eceran khususnya lokasi yang dekat dengan area lingkungan sekolah. Begitu juga dengan Kementerian Pendidikan yang perlu mendorong pihak sekolah untuk mengintensifkan pengawasan kepada siswa agar tidak merokok dan promosi kesehatan terkait bahaya merokok sebagai implementasi dari Permendikbud 64/2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah. Meskipun larangan penjualan rokok kepada anak telah diatur pada PP 109/2012, pihak sekolah tetap perlu memberikan himbauan kepada penjual warung rokok agar menolak pembelian rokok kepada para siswa.
Standardisasi pembatasan penjualan minuman beralkohol telah diberlakukan, namun ini belum berlaku pada penjualan rokok. Padahal minuman keras maupun rokok merupakan sama-sama produk yang memberikan efek negatif terhadap kesehatan dan patut untuk diawasi peredarannya. Persamaan standardisasi penjualan ini diperlukan bagi Kementerian Perdagangan Republik Indonesia untuk mengembangkan regulasi dalam memperketat penjualan rokok secara per-bungkus dan pelarangan penjualan rokok secara batangan kepada penduduk termasuk anak-anak.
Upaya-upaya inovatif telah banyak dilakukan seperti menghidupkan kampung bebas asap rokok, hotline layanan berhenti merokok, dan pemberian materi bahaya merokok pada materi modul di sekolah. Namun, upaya itu saja belum cukup apabila penjualan rokok secara batangan masih diperbolehkan. Warung rokok masih dipenuhi dengan konten perdagangan terkait produk rokok. Ini dapat diimbangi dengan pengembangan konten promosi kesehatan
terkait bahaya merokok yang ditempatkan di warung-warung rokok. Edukasi secara terus-menerus juga dapat dilakukan kepada penjual warung rokok agar tidak melayani penjualan rokok kepada anak-anak usia sekolah (SD/SMP/SMA/SMK). Semua opsi tersebut dapat diterapkan agar implementasi kebijakan pelarangan penjualan rokok secara batangan semakin efektif.
Dengan demikian, dalam rangka menurunkan prevalensi perokok anak, Pemerintah harus konsisten dalam menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) setiap tahun yang disertai dengan menaikkan Harga Jual Eceran (HJE) minimum. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan harga final rokok di pasar sehingga dapat menurunkan keterjangkauan konsumen terhadap rokok. Kebijakan ini juga perlu ditambah dengan pelarangan penjualan rokok secara batangan.
Opini ini diharapkan dapat memicu aksi dan sinergisitas berbagai pihak agar dapat mewujudkan upaya nyata kebijakan restriksi rokok batangan pada anak-anak usia sekolah.
Catatan:
Para penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju (STIKIM), dan Dosen Kajian Pengembangan Perkotaan, SKSG, Universitas Indonesia.
Discussion about this post