Jakarta, Prohealth.id – Sekelompok anak-anak muda dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat menyuarakan komitmen mereka berhenti merokok atau tidak mau merokok, sekalipun sang orang tua adalah petani tembakau.
“Kami anak petani tembakau Magelang, kami ingin menjadi generasi sehat, menolak rokok dan kebiasaan rokok meski orang tua kami masih menanam rokok. Kami ingin menjadi generasi yang sehat tanpa rokok,” demikian pernyataan lantan enam orang anak muda yang adalah anak-anak petani tembakau di Pakis, Kabupaten Magelang.
Tak hanya Jawa Tengah, sebanyak lima orang anak muda di Kabupaten Sawangan, Jawa Timur juga menyuarakan komitmen mereka sebagai anak petani tembakau yang anti rokok.
“Kami, anak petani tembakau Sawangan. Kami bertekad untuk tidak pernah mencoba rokok, atau akan menghentikan kebiasaan rokok meski orang tua kami menanam tembakau. Kami ingin menjadi generasi yang sehat dan cerdas, demi masa depan kami,” ujar lima pemuda tersebut tegas dalam forum yang digelar oleh Muhammadiyah Tobacco Control Centre, Rabu (16/6/2021).
Bergeser dari Pulau Jawa, sebanyak lima orang pemuda asal Nusa Tenggara Barat (NTB) juga menyuarakan komitmennya untuk menolak rokok, sekalipun orang tua mereka mencari nafkah sebagai petani tembakau.
“Kami, anak petani tembakau. Kami ingin hidup sehat dan menjadi generasi penerus petani yang cerdas dan mampu mengubah nasib petani lebih baik, meski orang tua kami saat ini masih menjadi petani tembakau,” tutur mereka.
Sekilas mungkin terkesan sangat kontradiktif ujaran anak-anak muda tersebut. Namun hal itu masih cukup masuk akal menurut kesaksian Muhaimin, seorang anak petani tembakau dari desa Candusari, Kecamatan Windusari di Kabupaten Magelang. Pasalnya, Muhaimin akhirnya memilih wirausaha sektor non tembakau.
“Saya tak tertarik jadi petani tembakau atau kelola tembakau, karena saya mencium baunya saja tidak suka. Sejak SD pun saya sudah dapat pelajaran tentang bahaya rokok,” terang Muhaimin.
Meski begitu Muhaimin tak menampik sempat mencicip rokok saat duduk di bangku SMP. Saat itu dia mencoba rokok selama satu bulanan dengan cukup intens. Pada saat yan bersamaan, dia sedang gemar-gemarnya berolahraga, khususnya menjadi pemain bola voli. Keputusan Muhaimin untuk berhenti tatkala dia sedang kelelahan bermain voli, tiba-tiba dia batuk dan mengeluarkan darah.
“Sejak itu pelatih saya bilang, kamu merokok ya? Saya jawab, iya. Sejak itu kapok saya, berhenti saja karena tidak bisa main voli kalau terus merokok,” tuturnya.
Uniknya, nasib tak juga membawa Muhaimin menjadi atlet, malah menjadi pengusaha ubi. Maklum saja sejak menjauhkan diri dari tembakau, untung saja, di wilayah desa Candusari sudah ada tanaman lain yang sebanding untuk menjadi komoditas baru, yakni ubi jalar. Apalagi pada musim tertentu, ubi jalar jauh lebih tahan dalam segala cuaca dan lebih produktif ketimbang tembakau.
Dia pun mengamati, terlalu banyak kartel yang mengelilingi pengolahan tembakau. Alhasil, para petani tembakau menjadi subyek yang paling dirugikan karena tata kelola yang tidak adil. Oleh sebab itu, dia pun mulai tertarik untuk mengelola bisnis ubi jalar pengolahan. Alhasil meski sudah berkenalan lebih lama dengan tembakau, dia tetap tidak mau mengelola tembakau karena manfaatnya tidak terlalu banyak dibandingkan kerugian yang diakibatkan.
“Saya jadi makin yakin, karena orang tua saya juga jadinya batuk-batuk,” sambungnya.
Berangkat dari dinamika tersebut, Ketua MTCC Universitas Muhammadiyah Magelang, Retno Rusdjijati menyatakan, hasil kajian MTCC UNIMMA menunjukkan fakta makin parahnya capaian pembangunan SDM di Indonesia akibat tidak terkendalinya perokok anak dan buruknya kualitas hidup petani tembakau.
Retno menuturkan, petani penghasil tembakau di Indonesia saat ini sejumlah 526.389 keluarga atau setara 2,6 juta orang. Jumlah anak-anak petani pun masuk dalam golongan prevalensi merokok di kalangan remaja dan anak yang mencapai lebih dari 8 persen. Meski riset MTCC UNIMMA menunjukkan bahwa petani pun tidak menghendaki anak-anak mereka menjadi perokok, namun gempuran iklan dan kurangnya kebijakan pengendalian tembakau melemahkan keinginan ini.
“Belum lagi selain resiko kesehatan, banyak aspek pertanian tembakau di Indonesia yang menimbulkan resiko signifikan bagi kesehatan dan keselamatan anak-anak petani tembakau,” pungkasnya.
Riset MTCC UNIMMA juga menemukan, beberapa anak yang diwawancarai melaporkan gejala masalah pernapasan, gangguan kulit, dan iritasi mata saat bekerja di pertanian tembakau. Oleh karenanya, pada peringatan HTTS kali ini, MTCC UNIMMA mengangkat tekad anak-anak petani tembakau berhenti dan anti merokok.
Retno menambahkan, jika melirik Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi perokok usia 10-18 mencapai 9,1 persen, angka itu naik dari 7,2 persen pada tahun 2013. Hasil penelitian juga menunjukkan sebanyak 32,1 persen siswa Indonesia di rentang usia 10-18 tahun pernah mengonsumsi rokok. Apalagi, saat ini lebih dari 32 persen dari total populasi Indonesia adalah perokok aktif.
“Jadi, kalau saat ini kisaran penduduk Indonesia adalah 260 jutaan, maka jumlah perokok aktifnya tidak kurang dari 78 juta. Jika dielaborasi lebih dalam, maka, misalnya dua dari tiga laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok aktif,” jelas Retno.
Dari sisi jumlah perokok anak dan remaja, lebih miris lagi, sebab tingkat prevalensi merokok di kalangan remaja dan anak mencapai lebih dari 8 persen. Berangkat dari fenomena ini, untuk memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) tahun ini, MTCC UNIMMA menyatakan bahwa perlu sikap tegas Pemerintah Indonesia pada industri rokok.
Asal tahu saja, tujuan global HTTS tahun 2021 ini adalah Commit to Quit, yaitu meraih komitmen 100 juta perokok berhenti merokok untuk menjawab tantangan pandemi Covid-19. Retno menegaskan, MTCC UNIMMA sebagai bagian gerakan pengendalian tembakau pun menyatakan dukungan penuh untuk mewujudkan tujuan nasional HTTS tahun ini.
Dia juga menambahkan, tantangan besar pandemi Covid-19 adalah upaya peningkatan derajat masyarakat dan dampaknya pada sistem kesehatan. Covid-19 yang ditetapkan Pemerintah sebagai bencana non alam pada Maret 2020, jelas memberikan dampak besar bagi perekonomian masyarakat. Perokok lebih rentan terinfeksi dan bahkan meninggal akibat Covid-19. Tembakau sebagai bahan dasar rokok juga merupakan faktor resiko utama penyakit tidak menular yakni penyakit kardiovaskuler, kanker, penyakit pernapasan dan diabetes. Orang yang hidup dengan kondisi ini lebih rentan terhadap Covid-19 yang parah.
“Oleh karena itu, perlu kewaspadaan ekstra bagi perokok agar berhenti merokok, dan perlu tindakan pencegahan bagi perokok pemula,” sambung Retno.
Kampanye “Commit to quit” diyakini Retno akan membantu menciptakan lingkungan yang sehat dan kondusif untuk berhenti merokok dengan mengadvokasi kebijakan pengendalian tembakau yang kuat, peningkatan kesadaran akan taktik industri tembakau, meningkatkan akses ke layanan berhenti merokok, dan memberdayakan perokok agar berhasil dalam upaya berhenti merokok.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post