“Pak, tolong dimatikan rokoknya. Anak saya punya asma,” begitu ujar ibu saya setiap kali kami naik angkutan publik dan duduk berhimpit dengan orang lain. Sering kali kami berjumpa dengan para perokok di transportasi publik maupun di ruang-ruang publik lainnya.
Saya sudah memiliki asma sejak kecil. Penyakit ini adalah penyakit komorbid warisan dari ayah saya, dan para kakek saya. Tentu penyakit asma membuat saya rentan dengan polusi udara. Saya bisa cepat sesak napas ketika menghirup polusi, asap rokok, maupun debu. Tak heran jika saya sudah sangat akrab dengan tabung oksigen, karena setiap kali kumat, ibu dan ayah saya mau tak mau membawa saya ke IGD.
Saya ingat suatu kali dalam perjalanan dari Bekasi ke Halim Perdanakusumah, bersama ibu saya kami pergi naik bus. Tentu bus yang tak ber-AC ini memiliki sejumlah penumpang yang merokok. Tanpa gentar dan berani, ibu saya lagi-lagi dengan tegas menegur para perokok itu.
“Mas, tolong dimatikan rokoknya. Atau tolong arahkan asapnya ke jendela supaya asapnya keluar. Anak saya punya asma.” Kebiasaan ibu saya yang terkesan ‘memaksa’ itu tentu membuat para perokok mencibirkan bibir. Ada pula yang bahkan memasang muka marah karena merasa hak dia merokok telah dicederai oleh ibu saya. Saya sungguh mengacungi jempol gaya cuek ibu saya. “Lagian merokok kok di tempat umum,” begitu gerutunya sambal menasehati kedua putrinya.
Memori itu hidup pada sekitar tahun 1998 sampai 2003 kala saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Dilansir dari Survei Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu 2001-2004, presentase perokok belia dengan umur 5-9 tahun saja meningkat dari 0,4 persen menjadi 1,8 persen. Riset Global Youth Tobacco Survey (GYTS) yang diselenggarakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga merekam peningkatan yang sama. Indonesia memiliki 24,5 persen buyung, dan 2,3 persen upik yaitu usia 13-15 tahun yang perokok. Sebagian anak yakni 3,2 persen bahkan sudah masuk tahap kecanduan pada usia semuda itu.
KESADARAN UDARA BERSIH DAN KAWASAN BEBAS ROKOK
Keberanian ibu saya menegur perokok adalah perilaku yang langka pada masa itu. Kita bisa menggali sedikit memori kita dengan pengalaman Aldi Rizal Suganda yang menghebohkan dunia maya pada sekitar tahun 2010. Saat itu, balita asal Musi Banyuasi, Sumatra Selatan ini baru berusia 3,5 tahun tetapi sudah merokok. Usut punya usut, lingkungan tempat Aldi tumbuh dan berkembang memang dipenuhi oleh perokok. Perbedaannya, sikap ibu saya menegur para perokok belum menjadi sikap yang umum dilakukan para perempuan di wilayah tersebut masa itu.
Kini Aldi sudah berhasil melalui proses rehabilitasi dan dia sudah lepas dari candu rokok. Dia pun ikut mendorong orang-orang untuk berhenti merokok, karena dia sendiri sudah merasakan dampak buruk yang diakibatkan rokok pada kondisi fisik hingga psikis.
Dinamika masa kecil saya juga membuat saya sadar, Kawasan Tanpa Rokok adalah suatu kebijakan yang penting untuk menjamin anak-anak apalagi anak-anak dengan komorbid seperti saya untuk bisa hidup sehat. Sayangnya sampai saat ini saya baru sekitar 22 kota dan kabupaten yang mengesahkan Perda KTR.
Saya berandai-andai, jika Perda KTR dikerjakan dan disahkan oleh semua pemerintah daerah, tentu ibu saya tidak perlu capek-capek menegur perokok. Atau tidak perlu ada ibu-ibu lain yang urung niat menegur perokok karena merasa tidak mau menimbulkan perselisihan.
Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari menyatakan tahun ini ada tiga kota yang menerima penghargaan sebagai Kota Layak Anak (KLA) yaitu Surakarta, Yogyakarta, dan Sawahlunto. Sebelumnya ada Surabaya dan Denpasar yang juga pernah meraih penghargaan KLA.
“Ada hubungan antara perilaku perokok anak dan keterpaparan iklan rokok,” kata Lisda dalam peluncuran penghargaan ini, Kamis (12/8/2021). Lisda mengakui iklan rokok menjadi salah satu tolak ukur utama KLA karena berimplikasi langsung pada pengaruh perokok anak.
Oleh karena itu, salah satu cara yang tentu paling utama dikerjakan adalah dengan mengatur larangan iklan rokok. Wakil Wali Kota Sawahlunto, Deri Asia mengakui bahwa mengendalikan iklan rokok itu tidak mudah. Iklan rokok termasuk salah satu sumber pendapatan daerah (PAD) yang tinggi. Perlu upaya yang kuat untuk bisa membawa larangan iklan itu naik pada level aturan yang lebih kuat dan besar.
“Saatnya ini itu hanya bisa diatur dalam peraturan wali kota, tetapi kami upayakan itu bisa naik menjadi perda [peraturan daerah],” kata Deri.
Sementara Wakil Walikota Yogyakarta Heroe Poewadi mengakui upaya pemerintah mewujudkan KLA tidak mudah, terbukti dari prosesnya yang memakan waktu hampir 5 tahun sejak 2016 lalu. Dia membeberkan, perangkat pemkot akhirnya mendorong Perda KTR dan Perda Ketahanan Keluarga, Perda Hak Disabilitas, yang mana semuanya tertuju mengintegrasikan menuju KLA.
“Perda KTR saja ini butuh waktu 2 tahun di DPR. Ini sulit karena proses perubahan perilaku kan, ini tidak mudah meyakinkan teman-teman [anggota dewan] membangun Perda KTR,” tuturnya.
Oleh sebab itu sekarang di Yogyakarta sudah terbangun kolaborasi RW tanpa rokok, sehingga tidak ada lagi orang yang merokok di lingkungan rumah. Kegiatan merokok hanya diizinkan di tempat-tempat yang tidak umum.
“Bahkan ada yang menyepakati kawasan rokok itu di kuburan,” terangnya.
Heroe mengakui untuk perda iklan rokok juga sudah ada sejak 2015, sebelum perda KTR untuk mendorong Kota Layak Anak. Saat ini pun sedang ada upaya revisi perda reklame mengikuti perubahan saat ini.
Sri Wardhani Poerbowidjojo, selaku Kepala Dinas Perlindungan Anak Kota Surakarta pun mengakui ada kesulitan dalam melarang iklan dan reklame rokok. Oleh sebab itu Pemkot Surakarta saat ini masih mencoba mendorong larangan iklan rokok dalam beleid yang bisa mengatur hal tersebut.
JALAN PANJANG CAPAI UDARA BERSIH DAN KOTA LAYAK ANAK
Berkaca dari dinamika para pemerintah daerah, terlihat bahwa upaya mewujudkan KLA melalui jalan yang berliku. Dari mulai upaya mengubah perilaku sampai mempengaruhi pembuat kebijakan bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Upaya yang dikerjakan ibu saya maupun ibu lain di luar sana yang menginginkan udara bersih dan kota layak untuk anak mereka masih melalui jalan panjang.
Setidaknya saya masih akan mengingat dengan jeli keterlibatan keluarga bisa menjadi salah satu faktor utama mencegah anak menjadi perokok dini. Seperti halnya saya yang pernah melalui masa-masa remaja ditawari merokok, saya tetap menolak untuk merokok. Bukan semata karena penyakit asma yang masih menjangkit dalam tubuh dan kapan pun bisa kumat. Saya justru mengenang upaya ibu saya menciptakan udara bersih bertahun-tahun, akan sangat sia-sia jika saya merusak kesehatan diri saya sendiri dengan mengisap rokok.
Setidaknya ibu saya mengingatkan bahwa saya punya utang akan kesehatan yang saya miliki saat ini. Tentunya, saya juga menerima warisan dari dia bahwa udara bersih adalah hak saya dan hak setiap orang berapa pun usianya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post