Angka konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBK) di Indonesia cukup tinggi. Setidaknya 62 persen anak-anak, dan 72 persen remaja mengkonsumsi MBDK setiap minggunya (Laksmi et.al, 2018). Studi perbandingan iklan makanan tidak sehat di beberapa kota besar di berbagai negara menunjukkan bahwa anak-anak di Yogyakarta terpapar iklan promosi makanan dan minuman yang tidak sehat setiap 4 menit sekali (Kelly et al, 2016). Tingkat kepaparan ini jauh lebih tinggi dari pada anak-anak di yang tinggal di Kuala Lumpur, Shanghai, dan Seoul.
Project Lead Food Policy Center for Indonesia’s Strategic Development (CISDI), Ayu Ariyanti, menyatakan kondisi ini banyak disebabkan oleh masifnya praktik pemasaran industri makanan dan minuman di semua media tanpa Batasan waktu dan sering kali menyasar kelompok anak-anak.
“Anak-anak akan cenderung lebih banyak mengkonsumsi makanan dan minuman tidak sehat seiring dengan banyaknya iklan promosi yang mereka lihat,” ujar Ayu melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Rabu (5/10/2022).
Dia menegaskan, konsumsi MBDK di Indonesia sudah ada pada kondisi darurat. Hal ini erat kaitannya dengan peningkatan prevalensi obesitas dan diabetes hingga 2 kali lipat dalam satu dekade. Sehingga, penguatan kesadaran masyarakat menjadi PR bersama.
“Pemerintah, sebagai garda terdepan, perlu mengawal langkah nyata untuk melindungi kesehatan masyarakat di masa depan,” tambah Ayu.
Anggota Pengurus Harian YLKI, Tubagus Haryo Karbyanto, yang mengangkat isu perlindungan hak konsumen oleh negara ikut menekankan bahwa praktik pemasaran industri makanan dan minuman yang menglorifikasi produk tanpa diiringi peringatan efek konsumsi jangka panjang berpotensi melanggar hak konsumen atas informasi yang benar dan akurat.
“Pemerintah harus membuat kebijakan yang bisa melindungi konsumen dari potensi pelanggaran ini dengan instrumen pengendalian konsumsi yang komprehensif,” ungkap Tubagus.
Contoh trik promosi yang digunakan oleh pihak industri untuk membuat produknya terlihat lebih sehat adalah dengan menuliskan informasi nilai gizi berdasarkan saran sajiannya, bukan kandungan per kemasannya, padahal satu kemasan mengandung lebih dari satu sajian.
Ini menyebabkan masyarakat menganggap kandungan gula, garam, dan lemak dalam produk tersebut tidak terlalu banyak. Selain itu, klaim seperti “bebas gula” atau “non-kolesterol” yang membuat produk makanan atau minuman terdengar lebih sehat juga perlu dikonfirmasi Kembali melalui label informasi nilai gizi dan komposisinya.
Dasar ilmu perilaku dan hubungannya dengan pemilihan makanan dan minuman yang tidak sehat juga dituturkan oleh Co-founder AdvisLab, Choky Ramadhan. Menurutnya, manusia adalah makhluk yang irasional dan memiliki banyak pertimbangan sebelum mengambil keputusan.
“Selain cukai, konsumen bisa diarahkan untuk memilih produk yang lebih sehat dengan membuat akses makanan-minuman dalam kemasan sulit diperoleh, perbesar tempat menampilkan buah dan sayuran, serta menampilkan informasi mengenai kalori lebih jelas,” tambahnya.
CISDI kembali menekankan agar inisiatif Kementerian Keuangan tahun lalu terkait usulan implementasi cukai MBDK segera diwujudkan demi pengendalian konsumsi produk dan penguatan kesehatan masyarakat Indonesia khususnya sebagai upaya pengendalian konsumsi produk yang berdampak negatif bagi kesehatan.
Publik sepakat pentingnya cukai MBDK
Survei Pemahaman dan Dukungan Masyarakat terhadap Cukai MBDK juga sudah diluncurkan Center for Indonesia’s Strategic Development (CISDI) sejak Juli 2022 lalu, menemukan sebagian besar responden, sebanyak 80 persen menyatakan setuju pengenaan cukai MBDK.
Survei tersebut diikuti 2.605 responden berusia di atas 18 tahun dari seluruh provinsi di Indonesia. Mayoritas responden survei berusia 25-34 tahun, perempuan, sudah menikah, sudah memiliki anak, dan tinggal di Pulau Jawa.
Gita Kusnadi, Research Associate CISDI menjelaskan, dukungan dan antusiasme masyarakat akan rencana penerapan cukai MBDK seharusnya meyakinkan pemerintah untuk segera mempercepat pembahasan peraturan turunan dan implementasinya.
Gita menekankan, sebagian besar responden paham akibat utama konsumsi gula berlebih adalah obesitas dan diabetes. Namun, hampir setengah atau 46,8 persen dari total responden masih mengonsumsi MBDK 1-6 kali seminggu, bahkan 27,3 persen mengonsumsi lebih dari satu kali per harinya.
“Walaupun masyarakat pada umumnya sudah mengerti dampak negatif konsumsi MBDK, mereka masih bingung mengenai batasan konsumsi gula harian dan produk apa saja yang tergolong MBDK,” tambah Gita.
CISDI pun mendesak pemerintah mengenakan cukai pada semua produk MBDK, baik yang mengandung gula tambahan maupun pemanis buatan dalam semua bentuk yaitu cair, konsentrat, dan bubuk.
Saat ini, belum ada kepastian mengenai produk apa saja yang akan dikenakan cukai MBDK. Dokumen kebijakan Urgensi Implementasi Kebijakan Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) di Indonesia dapat menjadi acuan penentuan kebijakan cukai.
Untuk menggalang dukungan masyarakat, CISDI juga meluncurkan petisi di platform Change.org.
“Petisi ini diharapkan dapat menghimpun aspirasi masyarakat dan menjadi penggerak kuat percepatan penerapan cukai MBDK. Jadi, semakin banyak penandatangan petisi, semakin besar pula desakan bagi pemerintah,” tutur Gita. Sampai dengan berita ini diturunkan, ada 10.134 penandatangan petisi.
Respon pemerintah
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan dr. Maxi Rein Rondonuwu membenarkan konsumsi gula berlebih, baik dari makanan atau minuman berisiko tinggi menyebabkan masalah kesehatan seperti gula darah tinggi, obesitas, dan diabetes melitus.
Dalam kurun waktu lima tahun saja, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terjadi peningkatan prevalensi penyakit tidak menular di indonesia. Berdasarkan data tahun 2013 menunjukkan prevalensi diabetes sebesar 1,5 permil meningkat pada tahun 2018 menjadi 2 permil. Demikian juga gagal ginjal kronis dari 2 permil menjadi 3,8 permil, sementara stroke meningkat dari 7 permil menjadi 10,9 permil.
“Tentunya ini akan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan di Indonesia. Terlebih lima penyebab kematian terbanyak di Indonesia didominasi oleh penyakit tidak menular,” jelas dr. Maxi
Data dari Kemenkes juga menunjukkan bahwa 28,7 persen masyarakat indonesia mengkonsumsi Gula Garam Lemak (GGL) melebih batas yang dianjurkan. Dimana batasan konsumsi GGL sudah diatur dalam Permenkes No 30/2013 yang diperbaharui dengan Permenkes 63/2015.
Sementara sebanyak 61,27 persen penduduk usia 3 tahun ke atas di Indonesia mengonsumsi minuman manis lebih dari 1 kali per hari, dan 30,22 persen orang mengonsumsi minuman manis sebanyak 1-6 kali per minggu. Sementara hanya 8,51 persen orang mengonsumsi minuman manis kurang dari 3 kali per bulan sesuai temuan dalam Riskesdas tahun 2018.
Oleh karena itu, patut menjadi perhatian, lanjut dr. Maxi adalah peningkatan prevalensi berat badan berlebih dan obesitas pada anak muda yang meningkat 2 kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Data tahun 2015 menunjukkan prevalensi berat badan berlebih pada anak-anak usia 5-19 tahun dari 8,6 persen pada 2006 menjadi 15,4 persen pada 2016. Sementara prevalensi obesitas pada anak-anak usia 5-19 tahun dari 2,8 persen pada 2006 menjadi 6,1 persen pada 2016.
Lebih lanjut, dr Maxi menyampaikan bahwa pemerintah melakukan berbagai upaya dan strategi dalam mengendalikan GGL mencakup aspek regulasi, reformulasi pangan, penetapan pajak/cukai, studi/riset, dan edukasi. Salah satunya adalah permenkes No 30/2013 yang diperbaharui dengan Permenkes No 63/2015 Tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji. Salah satu aspek pengaturannya dalam hal nilai gizi seperti kandungan lemak hingga gula harus tertera pada iklan dan promosi media lainnya seperti leaflet, brosur, buku menu, dan media lainnya.
Kebijakan cukai terhadap Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) di Indonesia juga sudah diatur dalam UU No. 39 Tahun 2007 Tentang Cukai dan dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan. Dia mengharapkan dengan pemberlakuan cukai pada produk makanan dan minuman yang tinggi gula, garam dan lemak dapat menginisiasi terciptanya pangan yang lebih sehat dengan reformulasi makanan sehingga menurunkan risiko terjadinya Penyakit Tidak Menular (PTM).
Di sisi lain, dr. Maxi mengimbau masyarakat untuk menjaga kesehatan mulai dari sendiri. Lebih bijak dalam memperhatikan asupan makan sesuai dengan isi piringku. Serta menjaga asupan gula garam dan lemak sesuai dengan rekomendasi maksimum, yaitu gula sebanyak 50 gram per hari (4 sdm), garam sebanyak 2 gram (sdt), dan lemak sebanyak 67 gram (5 sdm).
“Kita minta masyarakat sadar untuk menjaga kesehatan diri dan keluarganya . Pola asuh yang benar akan mencegah anak anak mengidap penyakit diabetes melitus, hipertensi dan kolesterol di usia dewasa nanti” jelas dr. Maxi.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post