Pesisir laut Utara Kabupaten Sikka sore itu sekitar pukul 15.00 WITA tampak tenang. Berlokasi di ACB Kafe, hadir Perkumpulan Bantuan Hukum Nusa Tenggara (PBH Nusra), Fajar Sikka, Komunitas Tuli Sikka, Forum Belarasa Difabel Nian Sikka (Forsadika), dan sejumlah komunitas kelompok rentan lain seperti; kelompok perempuan, kelompok masyarakat adat, dan kelompok orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Sejumlah organisasi tersebut berkolaborasi menggelar acara ‘Ami Noran’ pada 11 Desember 2022 untuk merayakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang jatuh setiap tahun pada 10 Desember.
Direktur PBH Nusra, Laurensius S. Weling membuka acara ‘Ami Noran’ arti bahasa Sikka yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘Kami Ada’ dengan menegaskan, tema ini ingin memperkuat pemahaman masyarakat bahwa kelompok rentan itu ada dan nyata di tengah masyarakat. Artinya, kelompok rentan itu harus memiliki hak kesetaraan dan aksesibilitas yang baik untuk menunjukan kreativitas hidup mereka sehari-hari.
“Transpuan itu ada, disabilitas itu ada, dan komunitas orang-orang kreatif itu ada. Kelompok tentunya memberikan ruang bahwa di Kabupaten Sikka ini, ada orang-orang yang punya kreativitas mengabdikan dirinya pada Kabupaten Sikka, Nian Tana,” begitu kata sambutan dari Laurensius membuka acara ‘Ami Noran’.
Sebagai lembaga advokasi hukum dan HAM, Laurens dan PBH Nusra menjamin akan mendukung dan memperjuangkan hak-hak hidup kelompok marjinal. Salah satu yang paling utama adalah hak untuk diakui dan tidak mendapatkan diskriminasi dari dalam masyarakat.
“Kami berharap Pemda Sikka mau bersama untuk memperjuangkan mulai dari Fajar Sikka, PBH Nusra, dan LBH Bantuan Hukum di Jakarta akan mendorong kelompok rentan bisa punya tujuan yang sama. Bagaimana mereka tidak menerima diskriminasi. Karena selama ini memang belum ada aturan yang mengacu untuk melindungi kelompok-kelompok rentan,” tegas Laurens.
Kepala Bidang Bidang Rehabilitasi Dinas Sosial Pemerintah Kabupaten Sikka, Dwi Engelina Ester Santoso mengakui dalam sambutannya membutuhkan bantuan PBH Nusra dan semua kelompok rentan di Kabupaten Sikka belum terdata dengan baik.
“Mari cari waktu untuk mengklasifikasikan beberapa kelompok. Berapa banyak dampingan Fajar Sikka, lalu PBH Nusra. Karena ini akan berdampak pada pelayanan,” ujar Esther.
Saat ini komunitas rentan di Kabupaten Sikka yang sudah membentuk lembaga terlegitimasi hukum adalah Forsadika. Pasalnya, Forsadika sudah mengurus izin komunitas dalam bentuk lembaga kesejahteraan sosial (LKS).
“Sebab tanpa ada lembaga, pelayanan sulit diberikan. Pada 2023, ini menjadi bantuan langsung bagi kelompok yang bersangkutan. Kami [pemerintah daerah] sekadar memfasilitas saja. Pemerintah terus menerus mendampingi dan siap mendampingi teman-teman yang menginginkan kesetaraan,” sambung Esther.
Selain membentuk kelembagaan, Esther juga mengimbau agar masyarakat mau bekerja sama melakukan registrasi kependudukan. Salah satu kendala sulitnya menyalurkan bantuan sosial bagi kelompok rentan adalah banyak yang belum memiliki Kartu Tanpa Penduduk (KTP).
Menanggapi hal itu, salah satu anggota Forsadika, Ambrosius Dan menjelaskan pemerintah Kabupaten Sikka belum menyelenggarakan dan menjamin hak-hak kelompok rentan. Dia menilai, kelompok rentan tidak hanya membutuhkan bantuan sosial saja. Apalagi, banyak bantuan sosial yang secara implementasi lapangan tidak tepat sasaran.
Selama ini, sudah banyak hal yang dilakukan komunitas rentan untuk memperkuat hak dan meningkatkan pemberdayaan tetapi pemerintah belum memfasilitasi dalam bentuk kebijakan maupun aturan.
“Padahal kami kelompok rentan juga bayar pajak. Tetapi secara perlindungan hukum, penghormatan, kami masih dinomorduakan,” tutur Ambrosius.
Acara ini diselenggarakan dalam momentum peringatan 30 tahun bencana tsunami Flores pada Desember 1992. Selain perkenalan komunitas rentan, acara juga dilengkapi dengan ramah-tamah, dan pameran foto transpuan di Kabupaten Sikka.
Koordinator Fajar Sikka, Hendrika Mayora Victoria menjelaskan melalui kegiatan ini, Fajar Sikka ingin mengangkat keberagaman sebagai penghormatan terhadap HAM.
“Kami sebagai kelompok minoritas gender dan seksualitas yang lebih dikenal dengan Transpuan Sikka, kami jalan tidak sendiri, kami interseksionalitas artinya bahwa bukan hanya kami namun ada kaum disabilitas, kaum perempuan, dan masyarakat adat,” ujar Bunda Mayora, sapaan akrabnya.
Sebelum kegiatan ini terselenggara, sejumlah komunitas rentan di Kabupaten Sikka telah menggelar pertemuan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan untuk pemenuhan hak kelompok marjinal. Salah satunya adalah focus group discussion (FGD) untuk merumuskan kebijakan kota yang menjamin HAM.
Kegiatan ini juga didukung oleh Konde.co dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Indonesia.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post