Hak anak merupakan bagian dari hak asasi manusia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak menyebutkan anak adalah seseorang yang berusia sebelum 18 tahun, termasuk yang masih di dalam kandungan.
Sama halnya dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Pelindungan Anak juga menyebutkan bahwa anak berhak mendapat pelindungan dari eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual. Intinya, praktik pekerja anak merupakan bentuk-bentuk pelanggaran hak anak.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pun secara tegas melarang pengusaha mempekerjakan anak, meskipun Undang-Undang tersebut memberikan pengecualian bagi anak usia 13 tahun hingga 15 tahun diperbolehkan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial anak.
Namun, aspek ideal untuk pemenuhan hak anak tersebut bisa dibilang masih “jauh panggang daripada api”. Di beberapa sektor, termasuk pertanian, anak-anak dilibatkan orang tuanya untuk bekerja.
Dikutip dari siaran pers Save The Children pada 15 Juni 2022 dalam rangka Hari Dunia Menentang Pekerja Anak yang diperingati setiap 12 Juni, studi global Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2020 menunjukkan terdapat 160 juta pekerja anak yang mewakili satu dari 10 anak di seluruh dunia. Di Indonesia, berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2020, terdapat 3,36 juta anak yang bekerja dan 1,17 juta diantara adalah pekerja anak. Menurut data Sakernas 2021, jumlah pekerja anak usia 15 tahun hingga 17 tahun turun 500.000 anak.
“Pekerja anak masih marak ditemukan di wilayah perdesaan. Ini sangat mengkhawatirkan. Di mana pun anak tinggal, hak-hak mereka harus dipenuhi, termasuk terbebas dari risiko menjadi pekerja anak atau mengalami bentuk pekerjaan terburuk untuk anak,” kata Deputi Chief of Program Impact Creation/Save The Children Indonesia Tata Sudrajat.
Laporan Human Rights Watch berjudul “’Panen dengan Darah Kami’ Bahaya Pekerja Anak dalam Pertanian Tembakau di Indonesia” yang dipublikasikan pada 24 Mei 2016 menggambarkan bagaimana pekerja anak dieksploitasi dalam pertanian tembakau. Penelitian Human Rights Watch terhadap pekerja anak dilakukan antara September 2014 hingga September 2015 di 10 kabupaten di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Sebanyak 132 anak usia delapan tahun hingga 17 tahun yang dilaporkan bekerja di pertanian tembakau diwawancarai, dengan rincian 10 anak di Jawa Barat, 19 anak di Jawa Tengah, 88 anak di Jawa Timur, dan 15 anak di Nusa Tenggara Barat. Sebanyak 88 orang, termasuk orang tua pekerja anak, petani tembakau, pembeli dan penjual daun tembakau, pemilik Gudang, pemuka atau kepala desa, petugas Kesehatan, wakil organisasi nonpemerintah, dan sebagainya, juga diwawancarai. Laporan tersebut menggambarkan bagaimana anak dieksploitasi untuk bekerja di pertanian tembakau dengan mengabaikan aspek pendidikan dan kesehatan mereka.
Baca Juga: Gempuran Rokok Murah di ‘Bumi Rafflesia’ Ancam Anak-Anak
Salah satu anak perempuan berusia 13 tahun yang berasal dari satu desa di dekat Garut, Jawa Barat menceritakan bagaimana dia bersama saudara-saudaranya harus membantu orang tua dan tetangganya untuk mengolah tembakau dan tanaman lain di lahan yang sempit.
Dia harus menghabiskan banyak waktu di luar sekolah untuk pergi ke ladang, yaitu pagi buta sebelum jam sekolah, sore hari, dan saat akhir pekan serta liburan. Bahkan, kadang dia harus tidak masuk sekolah untuk bekerja di ladang tembakau. Pada saat musim panen, ibunya meminta dia untuk membolos sekolah.
Sebagian besar anak yang diwawancarai mengaku tetap bersekolah dan bekerja di lahan pertanian hanya di luar jam sekolah, yaitu sebelum dan setelah sekolah, saat akhir pekan dan libur sekolah. Namun, beberapa anak mengaku bekerja di pertanian tembakau telah mengganggu waktu sekolah mereka. Mereka mengaku membolos beberapa hari selama musim sibuk, misalnya saat masa panen.
Mereka juga mengaku sulit mengatur waktu antara sekolah dan bekerja, serta merasa lelah dan sulit mengerjakan pekerjaan sekolah. Salah satu anak laki-laki berusia 15 tahun dari Pamekasan, Jawa Timur menceritakan dia harus pergi ke ladang pukul 04.30 atau 05.00 untuk bekerja hingga pukul 06.30 baru pergi ke sekolah. Sepulang sekolah, mereka harus bekerja lagi di ladang hingga sore. Jadwal yang melelahkan itu membuatnya sulit mengerjakan tugas sekolah.
Beberapa anak petani tembakau diketahui putus sekolah sebelum usia 15 tahun untuk bekerja membantu keluarga. Menurut mereka, orang tua tidak mampu menyekolahkan atau mengandalkan mereka untuk bekerja. Meskipun pemerintah sudah menjamin sekolah gratis, tetapi mereka mengaku tetap terkendala untuk membayar uang buku, seragam, dan transportasi.
Risiko Green Tobacco Sickness
Selain eksploitasi ekonomi sebagai pekerja anak di pertanian tembakau yang mengganggu pendidikan mereka, anak-anak tersebut juga berisiko mengalami green tobacco sickness atau keracunan nikotin akut akibat penyerapan nikotin ke dalam kulit. Gejala yang sering terjadi adalah pusing, sakit kepala, mual, muntah, bahkan kejang.
Daun tembakau yang basah karena embun membuat tingkat absorbsi nikotin ke dalam tubuh semakin tinggi saat bersinggungan secara langsung dengan daun tembakau. Selain karena embun, kondisi daun tembakau basah juga dapat terjadi setelah hujan, atau bahkan karena tubuh yang berkeringat kemudian bersentuhan dengan daun tembakau.
Risiko green tobacco sickness semakin tinggi saat musim panen karena harus bersinggungan secara langsung dengan daun tembakau dan pada pagi hari saat daun tembakau basah oleh embun atau setelah hujan.
Human Rights Watch juga melaporkan gejala-gejala green tobacco sickness terhadap anak-anak di daerah pertanian tembakau yang diteliti. Salah satu anak perempuan berusia 16 tahun asal Bondowoso, Jawa Timur mengatakan dia selalu sakit kepala dan muntah-muntah setiap musim panen ketika mengikat dan menyortir hasil panen daun tembakau tembakau yang masih basah dan baru tiba dari kebun.
Sementara itu, salah satu anak laki-laki berusia 13 tahun dari Magelang, Jawa Tengah mengatakan merasa sakit perut dan mual saat berada terlalu lama di dekat daun tembakau. Dia menceritakan mual yang dirasakan mirip dengan mabuk saat berkendara dalam perjalanan.
Baca Juga: Anak Jalanan Korban Rokok di Metropolitan
Memang belum ada penelitian tentang efek jangka panjang dari green tobacco sickness. Namun, sejumlah penelitian terhadap dampak rokok dan paparan nikotin pada anak-anak dan remaja menemukan dampak pada perkembangan otak. Paparan nikotin pada masa remaja dapat menimbulkan gangguan masalah memori, atensi, kontrol impulsi, dan kognisi.
Selain paparan green tobacco sicknes, anak-anak tersebut juga merisiko mengalami gangguan kesehatan dari penggunaan pestisida pada pertanian tembakau. Tidak jarang, mereka bekerja menyemprotkan pestisida.
Paparan green tobacco sickness pada anak-anak petani tembakau menjadi perhatian beberapa dosen dari Universitas Jember, yaitu Reny Indrayani, Karera Aryatika, dan Afif Hamdalah. Mereka melakukan Tridharma Perguruan Tinggi pengabdian kepada masyarakat untuk mendorong peran guru sekolah untuk mengendalikan risiko green tobacco sickness pada siswa anak buruh tembakau.
Mereka memilih wilayah pengabdian di Desa Bagon, Kecamatan Puger, Kabupaten Jember yang diketahui menghasilkan tembakau dalam jumlah besar. Mereka kemudian memilih MI Darussalam 02 Puger yang diketahui Sebagian besar siswanya memiliki orang tua buruh pertanian tembakau. Sejak kecil mereka sudah terbiasa dengan pekerjaan yang berkaitan dengan tembakau. Meskipun sekolah tahu sebagian siswanya terlibat dalam pengelolaan pertanian tembakau membantu orang tuanya, tetapi belum pernah ada intervensi karena keterbatasan pengetahuan.
Sasaran dari pengabdian kepada masyarakat itu adalah seluruh guru di MI Darussalam 02 yang berjumlah 14 orang. Menurut pengakuan beberapa siswa, mereka sering membantu mengelola daun tembakau segar. Lokasi sekolah juga berjarak kurang dari 10 meter dari gudang tembakau.
Tim pelaksana pengabdian melakukan penyuluhan tentang pengendalian green tobacco sickness kepada para guru. Tujuan dari pengabdian kepada masyarakat itu adalah ada peningkatan literasi para guru tentang cara pengendalian risiko green tobacco sickness, timbul kemauan para guru untuk berperan aktif sebagai fasilitator dalam upaya pengendalian risiko green tobacco sickness pada para siswa, dan terlaksana upaya pengendalian risiko green tobacco sickness pada para siswa melalui transfer informasi tentang tata cara pengendalian risiko oleh para guru kepada siswa.
Para guru dinilai memiliki peran penting dalam menyosialisasikan risiko green tobacco sickness kepada anak-anak buruh pertanian tembakau. Mereka merupakan salah satu agen utama untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak pertain tembakau, dan orang tuanya, tentang risiko green tobacco sickness.
Selanjutnya: Menjamin Anak Bebas Eksploitasi Kerja di Industri Tembakau
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Cek artikel lain di Google News
Discussion about this post