Jakarta, Prohealth.id – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) memastikan terus berupaya memberantas segala bentuk kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah.
Pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di berbagai wilayah hingga ke sekolah-sekolah bertujuan mencegah kekerasan terhadap anak. Selain itu bertujuan membuat lingkungan sekolah sebagai tempat belajar yang aman dan nyaman bagi anak.
Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek Rusprita Putri Utami mengatakan tindak kekerasan terhadap anak masih terjadi saat ini dan jumlahnya cenderung bertambah. Lahirnya Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan merupakan aksi nyata menekan tingkat kekerasan yang terjadi di sekolah-sekolah. Aturan ini mengamanatkan setiap sekolah untuk semua jenjang level di seluruh Indonesia membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK).
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak per 20 Januari 2024 terungkap bahwa terdapat 19 korban kekerasan di jenjang PAUD, 235 korban jenjang SD, 299 korban jenjang SMP, 342 korban jenjang SMA, dan 94 korban di jenjang Perguruan Tinggi.
“Selain membentuk TPPK, terdapat langkah strategi lain yang dilakukan Kemendikbudristek yaitu melakukan intervensi melalui kampanye publik dan menggagas program “Roots” antiperundungan yang sudah berjalan sejak 2021 dengan berkolaborasi dengan UNICEF,” jelas Rusprita melalui jawaban tertulis yang diterima Prohealth.id, Selasa (30/1/2024) lalu.
Ruspita mengungkapkan penghapusan kekerasan di sekolah juga melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga seperti KPAI. Beberapa misalnya; Kementerian PPPA, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, dan Komisi Nasional Disabilitas (KND). Ruspita mengharapkan keterlibatan banyak pihak agar menjadi gerakan bersama untuk menekan kekerasan di sekolah.
Sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan bahwa kekerasan di sekolah terutama perundungan masih tinggi. Pendataan ini mewarnai pengaduan laporan pelanggaran hak anak sepanjang tahun 2023.
Pada tahun 2023 KPAI menerima laporan hingga mencapai 3.883 kasus pelanggaran hak anak. Laporan ini terbagi dalam dua bentuk yaitu pelanggaran terhadap pemenuhan hak anak (PHA) dan perlindungan khusus anak (PKA).
“Kami menerima bentuk pengaduan pelanggaran hak anak dalam bentuk laporan langsung maupun tidak langsung seperti surat, email, dan bentuk lainnya. Pelanggaran yang dilaporkan tersebar dalam 15 bentuk-bentuk perlindungan khusus anak,” jelas Ketua KPAI Ai Maryati Solihah dalam keterangan resmi tentang Laporan Akhir Tahun KPAI Tahun 2023 yang diterima Prohealth.id, Senin (22/1/2024).
Ai Maryati memastikan kekerasan di sekolah masih menjadi perhatian khusus KPAI. Hal ini mengingat banyak masyarakat yang kerap mengalami dan menjadi perhatian serta pemberitaan media setiap saat.
“KPAI berharap dunia pendidikan menjadi tempat yang ramah, aman, dan menyenangkan bagi setiap anak, sehingga pendidikan ramah anak yang merupakan hak anak bisa diwujudkan,” ujarnya.
Menurut Ai Maryati, laporan kekerasan di lingkungan sekolah merupakan salah satu bagian dari jenis pelanggaran hak anak yang terjadi. Berdasarkan laporan KPAI menerima pengaduan bahwa terdapat lima klaster pelanggaran hak anak.
Pertama, terkait dengan pelanggaran hak anak di klaster hak sipil dan partisipasi anak. Kedua, klaster lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif. Adapun aduan tertinggi berupa pengasuhan bermasalah, akses pelarangan bertemu, dan hak nafkah.
Ketiga, kluster kesehatan dan kesejahteraan anak dengan tiga aduan tertinggi. Contohnya, anak korban pemenuhan hak kesehatan dasar anak, anak korban malpraktik dalam layanan kesehatan, dan anak stunting. Keempat, klaster pendidikan, waktu luang, budaya dan agama dengan tiga aduan tertinggi. Contoh; anak korban perundungan di satuan pendidikan, anak korban kebijakan, dan anak korban pemenuhan hak fasilitas pendidikan.
Kelima, klaster perlindungan khusus anak dengan tiga aduan kasus tertinggi. Misalnya; anak korban kejahatan seksual, anak korban kekerasan fisik atau psikis (anak sebagai korban penganiayaan), dan anak berhadapan dengan hukum.
Untuk meningkatkan pengawasan perlindungan anak, KPAI telah menerapkan aplikasi pengawasan berbasis digital. Namanya Sistem Informasi Monitoring Evaluasi dan Pelaporan Perlindungan Anak (SIMEP PA). Hasilnya terjadi peningkatan partisipasi pelaporan perlindungan anak sepanjang tahun 2023.
Ai mengingatkan telah tersedia aplikasi tersebut memudahkan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD). Tujuannya untuk melaporkan capaian penyelenggaraan pemenuhan dan perlindungan hak anak sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.
“Dengan demikian, pengawasan terhadap perlindungan anak dapat lebih fokus dan mudah terdeteksi,” ungkap Ai Maryati.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post