Era digital saat ini menjadi medium orang-orang dapat mengakses berbagai informasi, hiburan, pekerjaan, dan bersosialisasi tanpa batas. Semua kalangan usia dan latar belakang, mulai dari orang tua sampai anak-anak bisa memanfaatkan inovasi teknologi informasi tersebut. Kita banyak menjumpai fenomena anak-anak dan remaja menggunakan gawai, seperti telepon pintar (smartphone), tablet, laptop, dan sebagainya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang sudah memiliki gawai tersebut secara pribadi. Di sisi lain, ada kekhawatirkan kemudahan akses oleh anak-anak dan remaja di dunia maya membuatnya rentan terpapar informasi benar maupun keliru.
Memanfaatkan peluang dari digitalisasi ini, berbagai industri seolah berkompetisi untuk memasarkan produknya dengan cara yang mudah, cepat, dan praktis untuk menjangkau masyarakat tanpa sekat. Industri tembakau merupakan salah satu industri yang terbilang sangat gencar dalam mengiklankan dan mempromosikan produknya. Industri tembakau atau industri rokok sering kali menyuguhkan kemasan iklan dan promosi dengan tampilan kreatif dan menarik. Tentu tujuannya untuk memikat targetnya, terutama kepada calon perokok pemula. Jebakan berupa manipulasi citra positif merokok dan gaya hidup “keren”. Lalu penyebaran disinformasi yang secara tidak sadar akan tertangkap oleh anak-anak dan remaja. Paparan terus-menerus terhadap informasi semacam itu dapat memicu rasa penasaran dan dorongan untuk memvalidasi citra tersebut dengan mencoba langsung perilaku yang mereka lihat. Apalagi mereka sedang berada di fase mencari identitas diri dan mudah terpengaruh oleh lingkungan. Rasa penasaran dan coba-coba inilah yang berpeluang akan menjadi awal mula mereka terperangkap dalam candu nikotin yang berbahaya.
Intervensi industri tembakau yang ekstensif melalui media sosial, situs web, dan berbagai platform streaming lainnya. Ini masih dengan tambahan iklan dan promosi rokok yang juga masif di media cetak, media elektronik, media luar ruang dan dalam ruang, serta media penyiaran. Ruang publik ini seolah tidak memberikan ruang aman kepada anak-anak dan remaja agar bebas dari “rayuan” semu industri tembakau.
Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019, dari pelajar Indonesia berusia 13-15 tahun ada 65,2 persen yang mengetahui adanya iklan atau promosi rokok di televisi. Lalu 60,9 persen pelajar melihat di media luar ruang, 36,2 persen melihat di internet atau media sosial, dan 23,9 persen melihat di koran atau majalah. Bahkan, sebanyak 6 persen pelajar pernah mendapat tawaran rokok gratis dari perusahaan rokok. Realitas yang tragis dan ironis melihat bagaimana industri tembakau sangat getol mengincar anak-anak dan remaja untuk melanggengkan bisnis mereka.
Data terbaru dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 menunjukkan prevalensi perokok anak di Indonesia sebesar 7,4 persen. Meski dikatakan menurun dari prevalensi sebelumnya, yaitu 9,1 persen di tahun 2018, tentu angka tersebut masih terbilang sangat tinggi. Satu persen saja prevalensi perokok anak bukan angka yang aman untuk mengorbankan dampak buruk kesehatan dan kualitas anak masa depan. Dari data yang sama, tercatat bahwa umur pertama kali merokok pada kategori 15-19 tahun meningkat dari 52,1 persen (2018) menjadi 56,5 persen (2023). Pergeseran usia pertama kali merokok pada kelompok umur yang lebih muda dan peningkatan durasi konsumsi tembakau memberikan keuntungan besar bagi industri tembakau. Jangan lupa, pada saat yang sama, ini berdampak buruk pada kesehatan konsumen.
Undang-Undang Republik Indonesia No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak jelas mengamanatkan bahwa “Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan Orang Tua wajib melindungi Anak dari perbuatan yang mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang Anak”.
Banyak literatur yang membuktikan bahwa rokok mengandung lebih dari 7.000 zat kimia berbahaya. Akibatnya, konsumsi rokok dapat menjadi faktor risiko berbagai jenis penyakit. Di tambah saat ini tren pengguna rokok elektronik pun meningkat. Alhasil dampak buruk akibat konsumsi rokok elektronik sama berbahayanya dengan rokok konvensional. Lebih parahnya, jika mereka menjadi pengguna ganda (dual user) produk tembakau.
Rokok memang produk legal, namun bukan produk normal. Dalam Undang-Undang Cukai, hasil tembakau dan alkohol merupakan barang yang kena cukai. Hal ini karena produk tersebut memiliki karakteristik khusus. Contoh, perlu pengawasan dalan peredaran, pemakaiannya dapat menimbulkan efek negatif bagi lingkungan hidup dan masyarakat. Lalu, pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, serta pengendalian konsumsi.
Jika aturan alkohol sudah cukup kuat, lalu mengapa untuk aturan produk tembakau dan turunannya masih terkesan sungkan? Apalagi harga yang sangat terjangkau dan akses untuk mendapatkan pun mudah. Akibatnya, peluang anak-anak untuk terjerumus pada kebiasaan merokok pun menjadi cukup besar.
Sejalan dengan maraknya intervensi industri tembakau, Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2024 ini mengangkat tema Hari Tanpa Tembakau Sedunia; “Protecting Children from Tobacco Industry Interference” atau “Melindungi Anak dari Intervensi Industri Tembakau”. Tema ini menjadi pengingat bagi seluruh pihak, utamanya pemerintah, untuk melindungi anak-anak dari gempuran intervensi industri tembakau yang kian meresahkan. Tidak hanya di satu hari, perlindungan ini harus secara berkesinambungan.
Oleh karena itu, Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) salah satu organisasi yang menaungi pelajar dan kaum muda mendukung serta mendorong pengambil kebijakan memperkuat regulasi pengendalian konsumsi rokok. Aturan menjadi lebih komprehensif dan progresif, dengan implementasi dan pengawasan yang kuat.
Rancangan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan turunan dari Undang-Undang No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan perlu segera disahkan. Ini akan menjadi bukti komitmen pemerintah menyelamatkan anak-anak dan masyarakat secara menyeluruh dari dampak buruk produk mematikan.
Kami juga berharap sasaran dan indikator penurunan prevalensi perokok di Indonesia dapat menjadi salah satu tujuan prioritas pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) berikutnya. IPPNU percaya keberpihakan pemerintah mengedepankan perlindungan anak dan remaja dari zat adiktif akan mewujudkan sumber daya manusia yang lebih produktif, kompetitif, dan dedikatif. Sehingga lebih siap dan optimal menyambut Indonesia Emas 2045.
Penulis: Whasfi Velasufah
Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (PP IPPNU) Masa Bakti 2022-2025
Discussion about this post