“Hal pertama yang akan kulakukan setelah bebas adalah minta maaf ke Mama,” kata Dimas (bukan nama sebenarnya).
Setahun berlalu, Dimas masih ingat betul wajah ibunya saat membaca surat panggilan dari kepolisian—pucat, gemetar, hanya isakan tertahan yang terdengar. Dimas tak berkata apa-apa. Tak ada pembelaan. “Mama hampir pingsan saat itu,” ujarnya pelan pada hari Jumat di Aula LPKA II Jakarta (24/01/2025).
Ia tahu ia salah. Namun tidak pernah menyangka bahwa ancaman dan tindakan impulsifnya di layar ponsel bisa menggiringnya ke ruangan terbatas ini. Bahkan ke hari-hari panjang yang dijadwal ketat, ke momen-momen penuh penyesalan.
Sudah satu tahun lebih Dimas menjalani masa hukumannya di LPKA Kelas II Jakarta, Ciganjur, Jakarta Selatan. Hanya tersisa beberapa minggu sebelum gerbang kebebasan itu terbuka, sebelum ia bisa kembali mencium udara pagi tanpa batasan.
Dimas divonis 1 tahun 2 bulan oleh Pengadilan Anak di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena melakukan kekerasan seksual berbasis gender online (KBGO) berupa penyebaran konten intim di media sosial.
Ia baru saja merayakan ulang tahunnya yang ketujuh belas di tempat ini kemarin. “Sweet seventeen,“ katanya, meski tak ada yang terasa manis dari perayaan itu. Tanpa lilin, tanpa kejutan. Hanya hari yang bergulir seperti biasanya, dengan dinding-dinding yang mengingatkan bahwa kebebasan bukan lagi miliknya.
Saat Cinta dan Amarah Anak Berujung Jerat Hukum
Semua berawal saat Dimas pertama kali jatuh cinta dan berpacaran. “Masih cinta monyet sebenarnya, tapi waktu itu susah banget buat lepas” kata Dimas. Mantan pacarnya mengajak Dimas putus. Ketika hubungan itu mulai goyah, ia panik.
Dimas yang saat itu berumur 15 tahun, tidak tahu bagaimana menghadapi perasaan kehilangan. Ia tidak tahu bagaimana menghadapi seseorang yang ingin pergi darinya.
“Kalau mau putus, dibahas dulu. Jangan asal udahan kayak gini,” tulisnya di chat malam itu. Tapi pesan itu tak langsung berbalas. Baru setelah didesak, mantannya mengatakan bahwa Ia tak mau bertemu, seolah menegaskan semuanya sudah berakhir.
Dimas tak bisa menerima. Emosinya memuncak, kepalanya penuh amarah yang tak bisa ia kendalikan. “Saya ancam dia,” katanya lirih. “Saya bilang, kalau nggak mau bahas ini baik-baik, saya sebarin beneran foto-foto (intim–read) kamu,” ujar Dimas.
Ancaman yang awalnya hanya luapan emosi berubah menjadi tindakan. Dengan akun Instagram baru tanpa pengikut, ia mengunggah foto-foto yang seharusnya tak pernah dilihat siapa pun.
“Sebenarnya saya tahu itu tidak boleh, tapi karena kepancing emosi, makanya kelepasan. Udah bener-bener cinta soalnya. Namanya juga cowok,” katanya.
Keesokan harinya, seorang adik kelasnya melihat foto-foto tersebut, lalu melaporkan perbuatannya ke pihak sekolah. Sekolah memanggil Dimas dan korban. Korban menangis, meminta ponselnya untuk menghapus semua foto. Dimas menurut.
Ia pikir, dengan memberikan ponselnya dan membiarkan korban menghapus semuanya, masalah itu akan selesai. Tapi tiga hari kemudian, sebuah surat panggilan dari kepolisian sampai di tangannya.
“Mama saya hampir pingsan pas nerima surat itu,” ujarnya dengan lirih mengingat memori itu. “Saya cuma bisa diam. Saya tahu saya salah, tapi nggak pernah nyangka dampaknya sampai sejauh ini.”
Sejak awal, Dimas tak pernah membela diri. Ia tahu ia telah melakukan sesuatu yang salah. Tapi yang belum ia pahami saat itu adalah bagaimana ia bisa sampai di titik ini.
“Saat itu, aku cuma mau dia (mantan pacar–read) nggak putus dariku. Aku kira kalau aku ancam, kalau aku unggah… dia bakal takut, bakal balikan.” Dimas menghela napas. “Tapi yang terjadi sebaliknya. Aku malah dapet surat cinta dari kepolisian,” kelakarnya sambil terkekeh getir.
Lingkungan Bentuk Perilaku: Mengapa Anak Bisa Terjebak dalam Kekerasan?
Kesalahan itu berawal dari satu hal: Dimas tidak bisa mengendalikan emosinya. Ia terlalu marah saat ditinggalkan pacarnya, terlalu kalut saat kehilangan kendali. Namun, jika ditarik lebih jauh, kemampuan mengendalikan emosi itu memang bukan sesuatu yang pernah ia pelajari—bukan sesuatu yang pernah diajarkan kepadanya.
Sejak kecil, Dimas tumbuh dalam lingkungan di mana amarah lebih sering dijawab dengan kekerasan.
“Bapak keras,” katanya. “Namanya juga bapak. Didikannya keras.”
Keras, dalam arti yang tak pernah bisa ia lawan. Jika ia dan adiknya bertengkar, ia mendapatkan semprotan kata-kata kasar. Jika perkelahian itu semakin besar, tamparan atau pukulan bisa mendarat kapan saja. Ia pun demikian. Terbiasa melakukan kekerasan sejak kecil.
“Pernah saya lempar adik saya ke tembok,” Dimas mengaku tanpa banyak ekspresi. “Kadang adik saya ngerecokin kalau saya lagi ngerjain tugas. Saya kesel, saya lempar barang ke dia. Terus saya dimarahin, digamparin sama Ibu.”
Satu-satunya pelajaran yang ia dapat dari konflik adalah bahwa kekerasan selalu punya tempat dalam menyelesaikan masalah.
Ketika ia bertumbuh, ia membawa amarah itu ke luar rumah. Ia terbiasa berkelahi di lorong sekolah, bolak-balik masuk Bimbingan Konseling (BK), bersambit-sambitan dengan geng lain di sekolah, bahkan pernah dikejar polisi saat balapan liar.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita, menekankan bahwa saat anak berhadapan dengan hukum (ABH), kita tak bisa hanya melihat kasusnya saja. Pola pengasuhan yang dekat dengan kekerasan bisa menjadi faktor utama anak melakukan kekerasan.
“Kognitif anak berbeda dengan orang dewasa. Mereka lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya daripada dirinya sendiri,” ujarnya. Itu sebabnya, memahami situasi di sekitar anak menjadi kunci untuk mencegah mereka jatuh ke dalam lingkaran kekerasan.
“Yang harus dipahami, anak itu seperti spons, selama hidupnya dia melihat reaksi orang-orang dewasa di sekitarnya untuk menyelesaikan masalah, makanya dia akan meniru” terang Dian saat diwawancarai Prohealth.id, melalui telekonferensi pada Sabtu malam (28/12/24).
la menjelaskan secara umum penyebab anak melakukan kekerasan seksual ada dua kategori yaitu; faktor pendorong dan faktor risiko. Faktor pendorong, mayoritas berangkat dari pengasuhan yang disfungsi. Sementara faktor risiko adalah paparan anak terhadap internet negatif dan/atau pornografi.
“Disfungsi dalam pengasuhan itu macam-macam, tidak selalu perceraian. Bisa juga pertengkaran yang terus-menerus,” ujar Dian. Ia menjelaskan bahwa ketika pengasuhan tidak berjalan dengan sehat, dampaknya meluas ke kelekatan anak dengan orang tua, komunikasi, resiliensi, hingga kecerdasan emosional anak.
Dian mencontohkan, anak yang merasa aman dalam keluarganya akan lebih nyaman bertanya tentang hal-hal yang ia alami. Misalnya; perubahan tubuh, perasaan suka kepada teman, atau pertanyaan seputar seksualitas lainnya. “Kalau ada sosok keluarga yang bisa diajak bicara dengan nyaman, anak tidak perlu mencari jawaban sendiri di internet, yang informasinya di luar kendali kita,” tambahnya.
“Ketika anak tumbuh dalam pola pengasuhan yang disfungsional, lalu bertemu dengan akses internet tanpa batas, itu seperti jalan tol—semakin cepat, tanpa hambatan, menuju kerentanan anak,” pungkas Dian.
Namun, pola ini tidak berdiri sendiri. Maidina Rahmawati, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menambahkan bahwa riwayat viktimisasi—baik perundungan maupun pengalaman sebagai korban kekerasan—berkaitan erat dengan kepribadian, toleransi, dan kecenderungan anak terhadap kekerasan.
“Ada kecenderungan anak yang melakukan kekerasan seksual juga punya riwayat kekerasan. Tidak selalu kekerasan seksual, tapi bisa juga perundungan atau bentuk kekerasan lain,” ujar Maidina.
Hal ini sejalan dengan studi terbaru Olga Sanchez de Ribera dan timnya pada 2024, yang meneliti pola kekerasan remaja di 60 negara berkembang. Studi tersebut menemukan benang merah yang tak terhindarkan: pelaku kekerasan remaja umumnya laki-laki, memiliki kepribadian impulsif, serta menunjukkan toleransi terhadap perilaku menyimpang.
Studi ini menegaskan bahwa kekerasan remaja bukan sekadar persoalan individu yang “jahat” atau “nakal.” Ia tumbuh dalam ekosistem sosial yang lebih luas. Dari ruang kelas hingga ruang keluarga—di mana pola asuh, trauma, dan ekspektasi gender saling berkelindan, menciptakan lingkaran yang sulit diputus.
Sependapat dengan Maidina, Sherly Maharani, Ketua Sahabat Kapas—yayasan sosial yang mendampingi anak-anak dalam kondisi rentan—menegaskan bahwa ABH, baik sebagai pelaku, sanksi, maupun korban, adalah produk dari lingkungan dan orang dewasa di sekitar mereka.
“Bisa dibilang 80 persen dari mereka juga korban dari orang dewasa di sekitarnya, paparan lingkungan, atau pengalaman masa lalu. Mereka akhirnya menganggap bahwa ‘oh, apa yang aku lakukan ini hal biasa, hal yang wajar,’ lalu melanjutkan pola itu ke orang lain,” kata Sherly dalam wawancara telekonferensi pada Jumat (27/12/24).
Ketika Kepercayaan terhadap Mitos Gender Itu Menjadi Kekerasan
Dari orang-orang dewasa di sekitarnya, Dimas belajar bahwa laki-laki harus kuat, keras, dan dominan. Sejak kecil, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa agresif dan kekerasan adalah bagian dari laki-laki sejati.
“Udah cinta banget gimana. Namanya juga laki-laki,”
“Namanya juga Bapak. Didikannya keras,”
Ucapan-ucapan seperti ini bukan sekadar kata-kata, tetapi warisan. Sejak dini, anak laki-laki diajarkan untuk menekan emosi yang dianggap “feminin”, seperti kesedihan, kekecewaan, ketakutan. Mereka didorong menggantikan emosi itu dengan kemarahan atau agresi. Dan ketika emosi tersebut tak tersalurkan dengan sehat, ia meledak menjadi kekerasan, terutama terhadap pasangan. Seperti yang Dimas alami.
Dimas bukan satu-satunya. Banyak anak muda Indonesia tumbuh dalam norma gender yang kaku: laki-laki harus dominan, cinta harus dibuktikan dengan kepemilikan, kekerasan dianggap bagian dari disiplin, dan agresi adalah tanda kejantanan.
Sebuah penelitian dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional (2021) berjudul ‘Gender Norms and Gender-based Violence Attitudes among Early Adolescents in Indonesia’ mengungkap bahwa 53 persen anak muda berusia 7-13 tahun masih mempercayai norma gender tradisional. Angka ini bukan sekedar statistik. Studi tersebut menunjukkan bahwa norma gender yang diyakini anak membentuk cara mereka memandang dan merespons kekerasan, terutama saat memasuki pubertas.
Bukan kebetulan jika anak-anak yang percaya pada norma gender kaku juga lebih cenderung menormalisasi kekerasan berbasis gender. Mereka hidup dalam lingkungan yang membiarkan kekerasan menjadi sesuatu yang biasa, sesuatu yang dianggap wajar hanya karena alasan gender.
Sejalan dengan ini, Maidina menjelaskan bahwa pola pikir ini bukan hanya membentuk cara anak laki-laki melihat dirinya sendiri, tetapi juga bagaimana mereka memperlakukan orang lain. Akibatnya, perilaku kekerasan atau kekerasan seksual yang dilakukan anak terus berulang. “Terutama dengan pelaku anak yang mayoritas laki-laki,” kata peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) ini.
Dalam relasi ini, remaja perempuan menjadi sangat rentan dipaksa pacarnya untuk melakukan hubungan seksual, dengan alasan bentuk kasih sayang atau cinta. Survei Magdalene terhadap 405 remaja berusia 15-19 tahun menemukan bahwa 23,2 persen di antaranya pernah mengalami Kekerasan dalam Pacaran (KdP) dengan mayoritas korban perempuan. Dari semua jenis kekerasan, kekerasan psikis menjadi yang paling dominan sebanyak 69 persen persen, lalu kekerasan seksual 64,3 persen, dan kekerasan verbal sebesar 59,5 persen.
Satu Hal yang Tak Pernah Diajarkan di Bangku Sekolah
Perempuan akan mengalami menstruasi, laki-laki akan mengalami mimpi basah. Seperti remaja seusianya, Dimas mulai merasakan ketertarikan pada sesama atau lawan jenis. Dimas berada di fase transisi, dari anak-anak menuju dewasa. Tubuhnya berubah, pikirannya berkembang. Namun tak satu pun pelajaran di sekolah yang benar-benar membekalinya untuk memahami apa yang sedang terjadi.
“Di sekolah saya, nggak ada eskul PIK-R (Pusat Konseling dan Informasi Remaja), nggak ada tempat buat ngobrol soal masalah itu. Kalau BK (Bimbingan dan Konseling–read) ya cuma ngurus murid-murid yang bermasalah,” katanya.
Ketika ia mencoba mengingat pelajaran apa yang mengajarkan batasan dalam hubungan, tentang bagaimana hubungan sehat seharusnya berjalan, atau bagaimana mengenali dan mencegah kekerasan seksual, jawabannya nihil.
“Paling biologi sih kak,” ujar Dimas.
Di banyak sekolah, pembahasannya hanya sebatas sistem reproduksi dan risiko seks dengan pendekatan ‘menakut-nakuti’.
Tanpa pendidikan seks yang komprehensif, Dimas mencari sumber lain. Internet, media sosial, percakapan teman sebaya, tempat di mana informasi bercampur antara mitos, distorsi, dan normalisasi kekerasan.
“Saya nyontoh dari sosmed,” katanya. “Banyak yang nyebarin begituan (konten-konten intim–read), tapi mereka aja nggak ketangkep. Saya juga pikir saya nggak bakal ketangkep.”
Apa yang ia lihat setiap hari membentuk pemikirannya: bahwa penyebaran konten intim adalah hal yang biasa, bahwa itu hanyalah bagian dari pertengkaran dalam hubungan, bahwa tidak ada konsekuensi serius.
Hingga akhirnya, ada. Dan terjadi padanya.
Seperti halnya Dimas, banyak remaja lainnya juga mencari alternatif sumber pengetahuan dari internet, salah satunya adalah pornografi. Survei Magdalene tahun 2021 menunjukkan bahwa 16,88 persen responden menggunakan film porno sebagai sumber belajar tentang seks.
Di sinilah letak masalahnya. Rafina dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik menyampaikan bahwa sumber dari situs internet tidak selalu kredibel, sementara pornografi jauh lebih berisiko bagi remaja karena dapat menyebabkan adiksi, memberikan gambaran yang tidak realistis tentang relasi seksual, hingga sarat muatan kekerasan. Dalam usia mereka, kebanyakan remaja belum cukup mampu memilah apa yang layak dikonsumsi dan yang tidak.
“Karenanya, konten porno tidak lepas dari objektifikasi dan seksualisasi perempuan, berlanjut pada kekerasan, bahkan melanggengkan rape culture atau budaya pemerkosaan. Khawatirnya, konten yang mengobjektifikasi kekerasan dianggap normal oleh remaja,” ujar Rafina.
Menurut Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) tahun 2021, sebanyak 65 persen anak laki-laki dan 62 persen anak perempuan telah terpapar pornografi. Data tersebut juga mengungkapkan 34,5 persen anak laki-laki pernah terlibat pornografi atau mempraktikkan langsung kegiatan seksual, dan 25 persen anak perempuan.
Mencoba mengatasi persoalan tersebut, di tahun 2019, Sahabat Kapas mengembangkan modul Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) untuk ABH yang berada di LPKA-LPKA dampingannya. “Kami mengadakan 10 pertemuan kelompok dengan ABH dan sesi individu tambahan untuk memahami bagaimana mereka menyerap informasi tentang seksualitas dan kekerasan berbasis gender. Khusus untuk anak pelaku kekerasan seksual, jika dibutuhkan, kami juga bekerja sama dengan psikolog untuk memberikan pendampingan lebih lanjut,” ujar Sherly dari Kapas.
Paparan pornografi yang berlebihan juga bisa berujung pada masalah psikologis, seperti adiksi. “Kami menemukan kasus di mana ada anak yang bisa melakukan masturbasi hingga 15 kali sehari, dan itu sudah mengganggu kesehatan mentalnya. Dalam kondisi seperti ini, intervensi psikologis menjadi sangat penting,” tambah Sherly.
Ketika Pendidikan Seks Tak Pernah Ada
Yang dialami Dimas bukanlah kasus tunggal. Ia adalah bagian dari efek domino panjang akibat pendidikan seks yang tabu. Ketidaktahuan tentang batasan dalam hubungan, minimnya pemahaman tentang kekerasan berbasis gender, dan ketidakmampuan mengenali hubungan yang tidak sehat berujung pada kekerasan yang berulang.
Dian Sasmita dari KPAI menyoroti bahwa sekolah seharusnya menjadi ruang aman bagi anak untuk belajar tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi. Sayangnya, hingga kini, peran itu masih diabaikan.
“Di dalam peraturan yang ada, guru BK itu jumlahnya 1 berbanding 150 anak. Padahal, anak butuh lebih dari sekadar guru BK masuk kelas seminggu sekali. Mereka butuh ruang aman untuk berkeluh kesah,” terang Dian.
Sahabat Kapas menekankan bahwa pendidikan seksual dapat disesuaikan dengan usia anak, termasuk bagian tubuh mana yang hanya boleh disentuh oleh anak itu sendiri. Pre-edukasi ini idealnya dilakukan oleh orang tua sejak anak berusia 0 hingga SD. Sayangnya, budaya yang menganggap topik ini tabu sering kali membuat orang tua enggan membicarakannya.
“Budaya-budaya yang menganggap tabu edukasi seksual sejak dini membuat orang tua dan orang dewasa di sekitar anak kesulitan untuk membicarakan topik ini,” ujar Sherly.
“Penting untuk menjelaskan pendidikan seks dengan cara yang ilmiah, menyenangkan, dan tidak menggurui. Pendekatan apresiatif ini dapat membantu membekali anak dengan pemahaman yang benar tentang tubuh dan relasi sehat,” lanjutnya menyarankan.
Orang tua sendiri memiliki keterbatasan dalam menjalankan peran ini, baik karena tabu seksualitas apalagi jika dibandingkan dengan raksasa informasi bernama internet. Oleh karena itu, sekolah dan negara juga harus terlibat dalam menyediakan akses bagi remaja terhadap pendidikan seks yang memadai.
Sementara itu, pendidikan seks di Indonesia sering kali dicurigai sebagai jalan bagi “seks bebas.” Padahal, menurut John Santrock, penulis dan psikolog asal Amerika, pendidikan seks bukan sekadar cara agar anak tidak melakukan hubungan seks dini atau menghindari kehamilan yang tidak diinginkan. Ia adalah kompas yang membimbing remaja memahami tubuh mereka sendiri, mengenali risiko, membangun kesadaran akan nilai-nilai dan seksualitas diri, serta belajar tentang tanggung jawab dalam hubungan.
Lebih dari itu, pendidikan seks memberikan ruang bagi remaja yang sudah aktif secara seksual—baik sendiri maupun dengan pasangan—untuk memahami batasan dan kendali atas tubuh mereka sendiri. Pendidikan ini bukan hanya soal mencegah, tetapi juga soal melindungi diri dari kekerasan.
“Kita bisa mulai dari hal-hal mendasar, seperti pemahaman tentang consent (persetujuan), tidak menyalahkan korban, dan tidak melecehkan orang lain,” kata Maidina dari ICJR. “Dan ini harus dimulai dari dua aspek besar: keluarga dan sekolah. Keduanya punya peran besar dalam membentuk cara anak melihat relasi dan memahami dirinya sendiri.”
Mini survei Magdalene terhadap 405 remaja berusia 15-19 tahun menunjukkan bahwa 98,5 persen dari mereka mengaku butuh pendidikan seksualitas. Namun, hanya 12,84 persen yang merasa pendidikan seks di sekolah mereka sudah memadai.
Lebih dari Sekadar Hukuman: Luka Psikologis di Balik Jeruji LPKA
Saat pertama kali masuk ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Dimas tidak tahu harus berbuat apa. Hari-hari terasa panjang dan berat.
“Capek, Kak, di sini. Jadwal ketat, nggak bisa ke mana-mana,” katanya singkat.
Lebih dari sekadar keterbatasan gerak, ia merasakan kehilangan yang dalam. “Kangen keluarga. Ketemu cuma 30 menit. Dulu bisa sering ketemu, sekarang rasanya berat banget. Telepon di sini juga gantian, sesuai abjad, dibatasi 20 menit, rasanya kayak 5 menit,” ujarnya.

Di balik tembok LPKA, tekanan mental ABH bukan hanya datang dari dalam diri mereka, tetapi juga dari lingkungan sekitar. Beberapa mengalami kekerasan dari sesama anak binaan, pemerasan, hingga perundungan.
Namun, di LPKA II Jakarta, kebijakan baru mulai mengurangi kasus kekerasan ini. Sejak penerapan pembagian kamar sesuai usia, kasus perundungan berkurang drastis.
“Dulu 2021-2022, hampir tiap hari ada kasus perundungan. Sekarang dengan sistem kamar yang rata umurnya, kejadiannya berkurang drastis, mungkin sebulan sekali kalau ada,” ujar Eko Purwadi, Kepala Subdivisi Perawatan Kesehatan dan Rehabilitasi LPKA II Jakarta (24/01).
Tetap saja, kondisi di dalam LPKA memberikan tekanan psikologis yang besar.
“Mereka pasti stres. Dulu punya kamar sendiri, sekarang satu sel rame-rame, 6 orang. Biasanya di rumah bisa bebas keluar masuk. Sekarang keluar-masuk sel juga ada waktunya, jam 8 pagi dibuka, jam 5 sore masuk lagi. Secara psikologis, dikurung seperti itu pasti berpengaruh,” lanjutnya.
Bahkan, ada anak yang pernah mencoba melarikan diri karena tekanan yang mereka rasakan.

Dampak psikologis ini semakin terlihat pada anak yang terlibat kasus kekerasan seksual. Menurut Indry Oktavia Trisnawati, dokter yang bertugas di divisi perawatan LPKA II Jakarta, kondisi mental mereka cenderung lebih terpuruk dibandingkan dengan anak binaan lain.
“Dibandingkan kasus lain, anak-anak yang terlibat kekerasan seksual biasanya lebih sulit beradaptasi. Mereka lebih terpuruk, lebih menyesal, bukan hanya karena dihukum, tapi karena merasa mengecewakan orang tua mereka. Itu yang membuat mereka sangat terpukul,” jelasnya.
Selain itu, menurut Indry banyak dari mereka sudah terpapar pornografi sejak dini, yang berdampak buruk pada perkembangan fungsi frontal otak—bagian yang berperan dalam pengambilan keputusan dan pengendalian diri.
Sementara itu, layanan konseling di LPKA masih terbatas. Anak-anak yang membutuhkan pendampingan psikologis hanya bisa mendapatkannya berdasarkan rujukan dokter.
“Konseling itu nggak bisa sekali-dua kali, harus berulang kali. Tapi, karena keterbatasan sumber daya, hanya beberapa anak saja yang bisa mengakses secara berkala,” tambah Indry.

Keluar dari LPKA: Antara Harapan dan Stigma
Namun, tantangan tidak berhenti di dalam LPKA. Setelah bebas, stigma sosial menjadi penghalang besar bagi anak binaan untuk kembali ke masyarakat. Sekolah menolak mereka. Keluarga menjauh. Mencari pekerjaan pun sulit.
“Pasti ada ketakutan. Tapi mereka juga ingin berubah. Lewat Sidang TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan), kita libatkan orang tua agar bisa mendampingi mereka,” ujar Indry.
Namun, keinginan untuk berubah tidak selalu cukup. Dimas, misalnya, berusaha meyakinkan dirinya untuk fokus memperbaiki hidup.
“Dulu saya egois (terhadap pacar–read). Sekarang, kalau sudah keluar dari sini, saya nggak mau mikirin cinta-cintaan dulu. Saya mau benar-benar pulih, fokus ke diri sendiri. Nanti pacaran kalau memang sudah siap menikah,” ujarnya.
Tapi apakah niat baik bisa berjalan mulus jika masyarakat terus menutup pintu?
“Jangankan pelaku, korban pelecehan seksual saja sering dijauhi. Bukannya diberi dukungan, mereka malah dianggap berbahaya. Apalagi anak-anak yang pernah masuk LPKA, mereka bisa langsung dicap sebagai sampah masyarakat,” ujar Sherly dari Sahabat Kapas.
Sistem hukum yang keras pun hanya memperburuk keadaan. “Pemanggilan polisi saja sudah merampas hak anak atas pendidikan dan kebahagiaan. Sekolah mereka tertunda, bahkan banyak yang akhirnya dikeluarkan,” tambah Sherly.
Dian dari KPAI menyoroti bagaimana stigma juga semakin memperparah keadaan. “Banyak sekolah dan tempat kerja menolak anak-anak mantan LPKA dengan alasan takut mereka akan membawa pengaruh buruk. Seolah-olah ini penyakit menular. Memangnya COVID?” ucapnya sarkas..
Di balik setiap anak binaan, ada kisah yang lebih kompleks dari sekadar vonis hukuman. Ada trauma, tekanan, dan sistem yang sering kali gagal melindungi mereka sejak awal. Tanpa dukungan yang tepat, mereka bukan hanya kehilangan masa depan, tetapi juga kesempatan untuk memperbaiki diri.
Anak-anak ini tidak hanya berjuang melawan hukuman, tetapi juga melawan sistem dan masyarakat yang gagal memberi mereka kesempatan kedua.
Restorative Justice: Janji yang Tak Pernah Benar-Benar Dipenuhi
Dimas mencoba mengingat kapan terakhir kali ia merasa benar-benar bebas. Mungkin saat tangannya kotor oleh oli di bengkel sekolah, membongkar mesin motor sambil menghafal komponennya satu per satu. Mungkin saat ia berlari di lapangan sekolah, memukul kok badminton dengan semangat, atau saat ia menjadi paskibra, bangga dalam balutan seragamnya. Dimas menceritakannya pada saya dengan bersemangat.
“Waktu sekolah, aku paling suka pelajaran fisika dan listrik. Aku suka pelajaran hitung-hitungan, pas kejar paket C di sini pun aku paling suka pelajaran matematika dan akuntansi. Tapi kalo di sini nggak ada pelajaran fisika dan listrik kayak di sekolah dulu,” ujar Dimas.
Hari-hari itu terasa jauh. Kini, ia jarang memegang obeng atau raket.
Setahun dua bulan. Dimas menghabiskan hari-harinya dalam kamar sel dan sekitar lapas. Tidak ada pengurangan hukuman. Tidak ada kompromi.
“Saya nggak dapat pengurangan hukuman. Keluarga sudah sakit hati. Mungkin korban juga stres karena tindakan saya. Saya sempat diminta uang lima miliar untuk denda. Tapi saya nggak punya uangnya. Lebih baik saya bertanggung jawab. Saya jalani hukumannya,” katanya.
Ia tahu, satu kesalahan bisa menghancurkan hidup seseorang. Dan bukan hanya hidup korbannya, hidupnya sendiri juga.
Hukuman, bukan Pemulihan
Seharusnya, kasus Dimas bisa ditangani dengan pendekatan berbeda. Sejak 2012, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang membuka ruang bagi pendekatan restorative justice—sebuah mekanisme yang menekankan pemulihan, bukan sekadar penghukuman. Namun kenyataan di lapangan berkata lain.
“Pendekatan ini masih belum menjadi arus utama,” ujar Maidina Rahmawati, peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). “Riset terbaru Puskapa mencatat 90% kasus anak masih berujung pada pemenjaraan, menunjukkan betapa sistem kita masih mengutamakan hukuman dibanding pemulihan.”
Data dari Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) juga menunjukkan hal tersebut. Diversi—pengalihan proses penyelesaian perkara anak dari peradilan pidana ke mekanisme lain yang lebih ramah anak—masih dipandang sebagai opsi, bukan kewajiban.
“Padahal, dalam aturan, bagi anak berusia 12 hingga 14 tahun, pidana penjara seharusnya tidak bisa dijatuhkan. Untuk anak usia 14 hingga 18 tahun, pemenjaraan harus menjadi pilihan terakhir,” lanjut Maidina. “Tapi aparat penegak hukum masih lebih sering memilih jalur penghukuman.”
Negara Gagal Melindungi: ABH dalam Kasus Kekerasan Seksual
Sistem peradilan kita menghadapi dilema besar dalam menangani ABH dalam kasus kekerasan seksual. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) memang dirancang untuk melindungi korban dengan mengecualikan diversi dalam kejahatan berat, termasuk kekerasan seksual. Namun, apakah dengan langsung menjatuhkan hukuman penjara, kasus ini benar-benar selesai?
“Salah satu kritik terhadap UU SPPA adalah bahwa pendekatan restoratif seolah dikesampingkan dalam kasus-kasus tertentu,” kata Maidina. “Padahal, ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan.”
Dalam banyak kasus, anak yang melakukan tindak pidana kekerasan seksual juga merupakan korban dari sistem yang gagal melindungi mereka sebelumnya. Banyak dari mereka tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan, tanpa edukasi seks yang memadai, tanpa bimbingan yang cukup.
Namun sistem tidak melihat kompleksitas itu. Yang ada hanya label: pelaku, korban, hukuman.
Diversi seharusnya menjadi solusi untuk mencegah anak masuk ke dalam sistem peradilan yang destruktif. Namun, dalam praktiknya, proses ini sering kali tidak akuntabel. Model diversi yang diterapkan hanya sesederhana mengembalikan anak kepada orang tua, tanpa mekanisme yang memastikan pemulihan yang sesungguhnya.

Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) seharusnya dapat berperan sebagai opsi diversi, tetapi jumlahnya masih jauh dari ideal. “Di Jakarta saja, hanya ada satu LPKS, yaitu Handayani,” tambahnya. “Bayangkan bagaimana anak-anak di daerah lain?”
Sementara itu, ketersediaan Balai Pemasyarakatan (Bapas) sebagai ujung tombak pendekatan restoratif juga jauh dari cukup. “Amanatnya, Bapas harus ada di setiap kabupaten/kota. Itu berarti minimal ada 505 Bapas di Indonesia, tetapi yang ada saat ini baru 93 Bapas,” ungkap Maidina dari ICJR.
Keterbatasan sumber daya ini berdampak besar pada kualitas rekomendasi dari Litmas (Penelitian Kemasyarakatan). “Karena keterbatasan SDM, Litmas sering kali tetap merekomendasikan pemenjaraan, tanpa menggali lebih dalam faktor sosial dan psikologis anak,” jelas Maidina.
Pendampingan hukum bagi ABH juga masih bersifat formalitas. Dian Sasmita dari KPAI menyoroti minimnya efektivitas pendampingan ini.
“Pendamping hukumnya ada, tapi tidak memberikan pembelaan yang efektif,” katanya. “Banyak yang tidak menyusun dokumen eksepsi, tidak membuat pledoi, dan tidak benar-benar mendampingi anak dalam proses diversi.”
Padahal, menurutnya, sistem hukum harus berorientasi pada pemulihan. “Memulihkan ABH artinya mengupayakan perubahan perilaku yang positif,” kata Dian. “Bukan hanya soal hukuman, tapi bagaimana anak bisa kembali ke masyarakat dengan kondisi lebih baik.” Aparat penegak hukum (APH) seperti polisi, jaksa, dan hakim perlu diberikan pelatihan khusus agar bisa menerapkan prinsip keadilan restoratif yang sesuai dengan semangat SPPA.
Sayangnya, minimnya political will membuat aspek sosial dalam sistem ini diabaikan. “Harusnya negara berinvestasi lebih besar dalam pendampingan psikososial, memperkuat Bapas, memperbanyak LPKS, mengedukasi APH dan memperbaiki sistem rehabilitasi,” saran Maidina.
Lebih dari itu, langkah-langkah preventif seperti pendidikan seks sejak dini dan edukasi pra-nikah seharusnya menjadi kebijakan utama dalam mencegah kekerasan seksual. Sayangnya, hingga kini negara belum memiliki strategi komprehensif dalam menyelenggarakan dua hal ini.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan sistem peradilan pidana anak sebagai solusi terakhir. Kita harus mulai dari hulunya.” ujar Maidina.
Edukasi pra-nikah juga harus dilakukan agar generasi muda yang kelak menjadi orang tua bisa memahami pentingnya pendidikan seks bagi anak-anak mereka.
“Saat ini, edukasi pra-nikah tentang parenting masih minim. Padahal, ini adalah investasi jangka panjang untuk mencegah kekerasan bahkan sebelum pernikahan terjadi,” tambah Maidina ICJR. “Calon orang tua harus memahami pola asuh yang tidak mengandung kekerasan dan pentingnya memberikan pendidikan seks yang sehat kepada anak.”
Sistem yang ada saat ini lebih sering menciptakan pelaku baru daripada mencegah kekerasan. Jika kita tidak segera berinvestasi dalam pendekatan yang lebih manusiawi, kita akan terus mengulang kesalahan yang sama: menghukum anak-anak yang seharusnya kita lindungi.
“Jika kita hanya merespons dengan hukuman, kita hanya meneruskan siklus kekerasan,” tutup Maidina.
Penulis: Dian Amalia Ariani
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Liputan ini mendapat dukungan hibah (fellowship) dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan melalui program INKLUSI Kemitraan Indonesia-Australia Menuju Masyarakat Inklusif, untuk pemberitaan tentang Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).
Discussion about this post