Jakarta, Prohealth.id – Daya dukung pertumbuhan dan sarana pendidikan anak selama pandemi membawa kerentanan jika tidak ditingkatkan.
Program Manager Lentera Anak Nahla Jovial Nisa mengatakan, jika dulu sebelum pandemi Covid-19, anak dibagi atas dua kategori, yakni anak yang sehat dan anak rentan. Namun sejak pandemi, semua anak menjadi rentan. “Bahkan anak yang sehat pun rentan, karena situasi tidak normal,” katanya.
Situasi anak menjadi tidak normal, karena harus bersekolah dari rumah, harus menggunakan gawai dan penggunaan gawai pun cenderung berlebihan. Juga ada anak korban kekerasan, anak jalanan, anak berkebutuhan khusus, hingga anak yang berhadapan dengan hukum.
“Termasuk juga anak yang belajar di pesantren punya risiko. Jika dulu tidak ada risiko, sekarang jadi berisiko,” terangnya. Selain itu, ada anak yang terkena Covid-19, baik yang bersifat OTG, anak dengan gejala dan anak dalam pemantauan.
PERILAKU PENANGANAN COVID-19
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 14 September 2020 mencatat temuan terkait situasi pemahaman, perilaku penanganan Covid-19 dan keluarga. Menurut Nahla, tingkat kepatuhan dalam pencegahan Covid-19 sudah baik dan semua kelompok umur sudah patuh terhadap anjuran pemerintah.
“Mereka telah memahami dan patuh. Hanya saja karena tidak ada sanksi, kemungkinan tidak patuh protokol kesehatan masih terjadi,” katanya.
Masyarakat juga merasa ada efektifitas protokol kesehatan terhadap pencegahan terinfeksi Covid-19. Ini terlihat dari penurunan kasus positif Covid-19. Selain itu, lebih dari setengah berpendapat bahwa tidak ada sanksi menjadi alasan masyarakat tidak menerapkan protokol kesehatan.
“Kata ‘kurang’ dan ‘kesadaran’ menjadi kata yang paling sering digunakan untuk alasan tidak menerapkan protokol kesehatan,” ungkap Nahla.
Respons yang paling banyak dilakukan ketika ada yang terinfeksi Covid-19 di lingkungan sekitar adalah memperketat protokol kesehatan. Meskipun masih ada 7 persen yang mengucilkan, namun sebanyak 22 persen memberikan dukungan.
Sebagian besar juga telah merasakan penerapan protokol kesehatan di tempat pelayanan publik. Kemudian 17 dari 100 responden menyatakan sangat tidak mungkin terinfeksi atau tertular Covid-19. “Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin meyakini bahwa Covid-19 berbahaya dan mudah tertular,” katanya.
Media sosial dan televisi merupakan media terpopuler untuk mendapatkan informasi mengenai protokol kesehatan dan pentingnya mencegah penyebaran Covid-19. “Saat ini masih ada hoaks yang dipercaya namun semakin membaik dan kebanyakan sumber informasi yang didapatkan anak berasal dari media populer,” terangnya.
Lalu, 53 persen responden mengaku mengalami peningkatan pengeluaran dibandingkan awal pandemi periode April – Juni. “Ini fakta yang tidak terelakkan,” ujar Nahla.
RISIKO ANAK DI MASA PANDEMI
Nahla mengatakan, sedikitnya ada 7 risiko utama yang dialami anak di masa pandemi Covid-19. Hal itu dikutip dari Yayasan Save The Children, yang telah melakukan penelitian pada September 2020.
Kini, hampir sebagian besar orang tua mengalami kehilangan mata pencaharian. “Ini berpengaruh sekali terhadap kondisi anak, sehingga sulit mengakses layanan pendidikan berkualitas,” katanya.
Ketika anak sulit mengakses layanan pendidikan berkualitas, ini terlihat dari perbedaan signifikan antara pendidikan di layanan swasta dan negeri. “Sebagaian anak-anak merasa kesulitan saat mengikuti pembelajaran secara online,” ungkap Nahla.
Ini juga ada hubungannya dengan kesulitan mengakses bahan belajar yang memadai, karena terbatasnya kemampuan orang tua mendampingi anaknya belajar, termasuk pada terbatasnya kuota internet.
Menurut Nahla, di masa pandemi, anak-anak rentan mengalami kekerasan dan eksploitasi. Data KPAI di April 2020 mencatat, hampir 70 persen anak mengalami kekerasan saat di rumah. “Baik itu berupa cubitan ataupun perkataan yang tinggi,” kata Nahla
Anak-anak juga kesulitan mengakses layanan kesehatan dasar. Ketika misalnya, Posyandu berhenti beroperasi, sehingga pemantauan berat badan dan tinggi badan juga terhenti.
Fakta lainnya, terjadinya kehilangan orang tua akibat Covid-19. “Secara spesifik banyak anak kehilangan orang tuanya di masa pandemi ini,” katanya.
KONDISI ANAK DAN KELUARGA SAAT PANDEMI
Nahla menyebut ada tiga hal penting yang harus diperhatikan saat menilai situasi dan kondisi anak di masa pandemi Covid-19. Tiga hal penting itu berasal dari riset Yayasan Save The Children pada September 2020.
Pertama, terkait tata kelola hak anak. Hak anak-anak untuk didengarkan sering kali terabaikan. Ternyata 1 dari 2 anak atau setara dengan 50 persen, dimana orang tua sering membicarakan pandemi dengan anaknya hanya 53 persen dengan ibu dan ayah sebayak 47 persen. “Sebanyak 5 dari 9 anak boleh bertanya tentang Covid-19,” katanya.
Anak-anak Indonesia cenderung tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terutama mereka yang berasal dari usia lebih muda, keluarga miskin, wilayah pedesaan, keluarga berstatus minoritas.
Anak-anak juga kehilangan kebebasan berinteraksi. “55 persen merasa bosan dan 1 dari 7 anak sama sekali tidak berinteraksi,” ungkap Nahla.
Kedua tertait kemiskinan anak. Sebagian besar orang tua mengalami kehilangan pendapatan atau pekerjaan. Pada April 2020, ditemukan sebanyak 74 persen keluarga telah kehilangan sebagian atau hampir seluruh pendapatannya sejak awal pandemi.
“9 dari 10 anak kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga sebagian besar mengurangi porsi makan atau mencarai akses lainnya,” terangnya.
Ketiga, perlindungan anak. Penutupan sekolah telah menurunkan kondisi psikososial anak dan orang tua. Dampak psikososial terjadi seperti perubahan pola tidur, selera makan, pengendalian emosi, agresi dan melakukan kekerasan. “Pada awal PSBB anak dan orang tua merasakan perasaan negatif,” ujarnya.
Kemudian, sebanyak 23 persen orangtua dilaporkan karena melakukan pengasuhan negatif terhadap anak. Lebih sering berteriak, kurang sabar, dan bersikap agresif.
Uniknya pada Juli 2020, sebanyak 41 persen anak merasakan khawatir dan 55 persen diantaranya mengalami bosan. Selain itu, sebanyak 2 dari 10 anak merasa tidak aman selama pandemi. Alasannya, “takut dikawinkan”. Lalu ada juga yang lebih sering teriak-teriak, dan anak-anak tidak bisa mengutarakan pendapatnya.
Secara global, menurut Nahla, 8 dari 10 anak yang tidak pergi ke sekolah mengalami perasaan negatif. Selain itu, kasus kekerasan meningkat tajam. Setidaknya ada 700 kasus kekerasan anak di Jatim, ada 2000 kasus terkait kekerasan seksual anak, atau kasus pernikahan dini, karena kurangnya kontrol orang tua pada saat Covid-19.
Adapun yang terbaru menurut Nahla, ada 50 ribu anak Indonesia telah menjadi yatim/piatu karena pandemi Covid-19. Pasalnya, pada gelombang kedua Covid-19, banyak orang tua yang meninggal, sehingga anak-anak menjadi yatim/ piatu.
ALAMI KEKERASAN DI RUMAH
Yayasan Lentera Anak mencoba mewawancara beberapa orang tua yang ada di Jakarta terkait Covid-19 dan bagaimana perlindungan telah diberikan terhadap anak. Yang ditanyakan pertama terkait degan protokol kesehatan.
“Beberapa orang tua sudah menerapkan dan anaknya sudah patuh. Namun ada beberapa anak lain yang belum patuh. Misalnya tidak memakai masker,” kata Nahla.
Lalu terkait orang tua yang menderita positif Covid-19, diketahui sudah ada respons cepat dari Puskesmas untuk melakukan tracing, difasilitasi pada isolasi mandiri (isoman) pada layanan pemerintah seperti di Wisma Atlet.
“Namun yang belum menjadi straegi inti adalah bagaimana pengarusutamaan anak di Satgas Pengendalian Covid-19 paling kecil, ketika kita fokus pada orang dewasa yang terkena, dan bagaimana anak bisa dilindungi, belum menjadi hal yang utama,” terang Nahla.
Hal lainnya, ketika ada orang tua yang positif Covid-19, ternyata masih menjadi pertanyaan, apakah anak bakal ikutan Isoman? Jadi ikutan positif atau anak dititip ke keluarga terdekat.
Atau jika mereka tidak punya keluarga, kemana mereka harus pergi? “Karena kita tahu rumah di Jakarta tidak semua besar untuk digunakan sebagai tempat Isoman yang memadai,” katanya.
Selain itu, waktu tunggu dalam prosedur penanganan Covid-19 juga cukup lama, sehingga terkadang anak tidak dipisah, saat melakukan Isoman. “Ada anggapan, nanti kita lihat saja hasilnya seperti apa,” ucapnya.
Khusus di layanan Isoman pemerintah, seperti Wisma Atlet sudah ada pendataan nutrisi, namun belum cukup memberi daya dukung pada anak terhadap fasilitas bermain atau pun fasilitas lainnnya yang spesifik untuk anak.
Selain itu, selama Isoman di rumah, anak-anak yang OTG berisiko terpapar gadget lebih lama, karena tidak bisa bermain dan selalu berada di dalam rumah.
STRATEGI PEMENUHAN HAK ANAK
Nahla menegaskan, layanan di komunitas seharusnya bisa dimaksimalkan untuk melindungi anak. Salah satunya dengan mengaktifkan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).
“PATBM adalah gerakan dari jaringan atau kelompok warga pada tingkat masyarakat yang bekerja secara terkoordinasi untuk mencapai tujuan perlindungan anak,” kata Nahla.
PATBM merupakan inisiatif masyarakat sebagai ujung tombak untuk melakukan upaya-upaya pencegahan dengan membangun kesadaran warga agar terjadi perubahan pemahaman, sikap dan perilaku yang memberikan perlindungan kepada anak.
Itu sebabnya, tata laksana PATBM mencakup beberapa hal, mulai dari persiapan yang meliputi perencanaan, menentukan tema dan membuat grup koordinasi. Setelah itu ada pendampingan, dimana laporan diterima dan dilakukan respons cepat, termasuk melakukan pemantauan.
Rujukan menjadi hal penting yang tidak bisa diabaikan. Menurut Nahla, rujukan bisa dilakukan pada pelayanan kesehatan atau bersama gugus tugas melakukan pengasuhan berbasis masyarakat jika dibutuhkan.
Terakhir terkait pelaporan. Ini penting untuk mengetahui gambaran umum jumlah anak di lokasi PATBM, jumlah orangtua dalam kategori OTG, ODP dan PDP. Juga membuat laporan kegiatan PATBM berkaitan dengan pencegahan dan respons kasus ADP dan PADP
Oleh karena itu, pengetahuan tentang Pandemi Covid-19 bagi seluruh kader/aktivis dan relawan PATBM sangat diperlukan. Namun yang paling penting, menurut Nahla, bagaimana upaya komunitas mampu melakukan pencegahan, konseling alias edukasi dan pengasuhan alternatif, perawatan meliputi dukungan dan pengobatan Covid-19, lingkungan kondusif dan pengelolaan informasi strategis.
“Misalnya, ketika anak sendiri, sementara orang tuanya positif Covid-19, bagaimana daya dukung komunitas melindungi anak tersebut. Caranya bisa bekerjasama dengan gugus tugas di RT/RW untuk melakukan penanganan Covid–19,” terang Nahla.
Oleh karena itu, Nahla menyebut sifat PATBM lintas sektor, tidak hanya dari komunitas perlindungan anak, namun ada dinas kesehatan, LSM, Puskesmas, gugus tugas RT/RW, DPPPA, Posyandu, P2TP2A. “Semua seharusnya bisa terlibat. Ini perlu diperkuat lagi, sehingga menjadi pengarusutamaan untuk melindungi anak,” tandasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post