Jakarta, Prohealth.id – Jika anak merokok, siapa yang patut disalahkan? Pertanyaan ini sangat mengusik batin orang tua yang mungkin saja bukan perokok namun anak-anaknya malah merokok.
Anak adalah peniru terbaik. Fenomena perokok anak bahwa dari usia yang sangat kecil sudah bisa menghisap rokok kretek sebenarnya bukan hal yang lazim. Kondisi ini akan sangat mempengaruhi kesehatan anak di masa depan sebagai bagian dari pembangunan sumber daya manusia.
Magdalena Sitorus selaku Koordinator Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau (JP3T) menyatakan fenomena tingginya angka perokok anak disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Pertama, dari faktor internal misalnya, perokok anak sangat dipengaruhi oleh keluarga yang menjadikan rokok sebagai salah satu kebutuhan primer orang tua. Kebiasaan tersebut berpeluang besar ditiru oleh sang anak.
“Jika anak dibesarkan dalam wilayah domestik banyak perokok dan tidak ada pengetahuan bahwa rokok itu berbahaya, maka itu akan membuat mereka rentan meniru,” ujar Magdalena.
Dia menilai anak memiliki hak yang tidak boleh diabaikan, karena kehidupan mereka sangat bergantung pada peran orang dewasa antara lain orang tua, guru, dan masyarakat.
“Kalau gurunya merokok, tentu mereka akan berpikir apa salahnya mereka juga merokok?” sambungnya.
Meski begitu, faktor internal bukanlah faktor tunggal. Magdalena mengingatkan, faktor internal acap kali menyudutkan anak sebagai pelaku yang bersalah karena tidak bisa memilih tindakan yang baik dan benar. Jika anak keluar dari wilayah domestik, tidak bergantung pada keluarga, maka dia bisa saja mendapatkan akses dari eksternal. Salah satunya akibat paparan iklan dan sponsor rokok.
“Jika kita berbicara hak anak, kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka. Sebab, pada akhirnya masalah kecanduan rokok ini menjadikan perempuan dan anak sebagai korban,” tuturnya.
GELIAT IKLAN ROKOK
Ni Made Shellasih selaku Media Officer Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menyatakan salah satu penelitian PKJS menemukan bahwa angka perokok anak tinggi tidak hanya diakibatkan oleh pergaulan saja. Ada faktor harga rokok yang terlalu murah sehingga memudahkan anak dan remaja membeli rokok dengan uang jajan mereka.
“Dua hal yang mempengaruhi anak untuk merokok. Ada efek harga dan efek pergaulan teman sebaya. Karena teman sebaya ini mendorong anak memutuskan sesuatu,” ujar Shella.
Dia bercerita saat masih duduk di bangku sekolah, teman-teman yang mulai merokok masa itu umumnya bermula dari rayuan kawan untuk ikut merokok. Ajakan ini semakin dipermudah tatkala anak menemukan harga rokok per batang relatif murah. Sebagian dengan uang jajan yang cukup tebal bahkan bisa membeli dalam eceran dengan jumlah banyak.
Hal ini menandakan anak-anak di Indonesia dihadapkan pada banyak pilihan yang menggodanya untuk merokok. Baik itu dari sisi internal yaitu keluarga maupun eksternal yaitu iklan rokok, pergaulan teman sebaya, hingga harga yang murah. Faktor eksternal itu pun menurut Shella kini terus berkembang juga dengan keterlibatan influencer yang merokok atau mempromosikan aktivitas merokok. Umumnya kelompok influencer ini menunjukkan aktivitas kesehariannya dengan rokok elektronik yang diklaim lebih sehat.
“Influencer ini otomatis membuat anak mau merokok karena yang digemarkan oleh mereka juga merokok. Harus ada edukasi bagi influencer ini termasuk yang mengatakan merokok itu rokok dengan rokok elektronik,” tuturnya.
Sementara itu Communication & Advocacy Coordinator for Tobacco Control Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Iman Mahaputra Zein menyatakan pada dasarnya tidak akan orang tua yang mau melihat anaknya menjadi perokok. Sayangnya, merokok terlanjur menjelma tren yang ingin dicoba oleh golongan anak-anak dan remaja.
“Kami akhirnya melihat perokok anak dan remaja ini mendorong tren merokok. Kami tidak mendiskriminasi, karena akhirnya pun kami melihat kawan-kawan hanyalah korban,” ujar Iman.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post