Jakarta, Prohealth.id – Pusat kesadaran tersebut memiliki neuron dengan fungsi terpenting. Seperti yang kita ketahui bahwa otak dapat mempengaruhi segala aktivitas yang ingin kita lakukan sehari-hari. Kesehatan otak berfungsi sebagai sensorik, motorik, emosional, dan perilaku. Sehingga otak dapat membuat manusia berpikir, membuat keputusan dan memecahkan masalah pada kurun waktu yang tepat.
Namun, apabila pada akhirnya keputusan yang diambil menimbulkan masalah lain atau tidak adanya penyelesaian, maka akan muncul rasa panik dan cemas atas situasi yang akan terjadi selanjutnya.
Berdasarkan siaran pers yang diterima Prohealth.id, Kamis (20/4/2023), perasaan cemas adalah emosi wajar ketika seseorang sedang menghadapi masalah. Orang-orang mulai merasa cemas saat otak merespons peringatan potensi bahaya. Akan tetapi, jika seseorang merasa cemas terus-menerus, maka itu termasuk tanda seseorang memiliki gangguan kecemasan.
Rasa cemas yang dirasakan secara berlebihan dapat merusak kesehatan jiwa, termasuk kesehatan otak. Adanya serangan panik maupun kecemasan jangka panjang dapat membuat otak melepaskan hormon secara teratur. Kondisi tersebut dapat menimbulkan gejala seperti, sakit kepala, mual, dan depresi.
Ketika seseorang mengalami cemas, hormon otak akan memenuhi sistem saraf yang telah dirancang di dalam tubuh untuk merespon ancaman, contohnya Adrenalin dan Kortisol. Namun, hormon Kortisol akan menyebabkan peningkatan berat badan ketika seseorang terpapar kecemasan secara berkelanjutan.
Berdasarkan data statistik dari Deloitte, Millenials dan Gen Z tercatat sebagai orang-orang yang memiliki tingkat kecemasan lebih tinggi dibandingkan Baby Boomers dan Gen X sejak pandemi Covid19. Sejak tahun 2020, hasil perbandingan rata-rata persentase Millennials dan Gen Z berdasarkan gender menunjukkan para perempuan memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi, yakni tingkat kecemasan perempuan Millennials sebesar 44,3 persen dan perempuan Gen Z sebesar 52,3 persen, sedangkan tingkat kecemasan pada para pria Millennials serta Gen Z sebesar 37,6 persen dan 38,3 persen (Deloitte, 2022).
Sebagai generasi yang lahir dan tumbuh bersama teknologi, kecemasan Millennials dan Gen Z pun berasal dari media sosial sebagai hasil dari transformasi teknologi digital tersebut. Hal-hal yang memicu rasa cemas berlebihan terhadap Millennials dan Gen Z, antara lain; tuntutan gaya hidup terkait pekerjaan dan kebutuhan finansial yang sering dicitrakan pada berbagai platform media sosial.
Kesehatan otak terhadap Millennials dan Gen Z merupakan pokok permasalahan yang penting untuk diberikan solusi sekarang ini, di mana fungsi otak dalam diri mereka mengalami tahap perkembangan. Hal itu memungkinkan mengapa Millennials dan Gen Z kesulitan untuk menggunakan penalaran yang kompleks untuk bertindak sesuai dengan keyakinan pada dirinya sendiri serta mengambil resiko dan keputusan yang tepat.
Coach Pris CEO Stress Management Indonesia menjelaskan, pihak Stress Management Indonesia pun memahami bahwa kondisi kecemasan terhadap Millennials dan Gen Z kini berdampak terhadap kesehatan otak. Supaya hal ini tidak terjadi pada generasi selanjutnya, Stress Management Indonesia ingin membantu kebutuhan generasi muda menggunakan Self Discovery Book dengan judul Self Love Journaling yang setiap bulannya akan diadakan kelas monitoring dalam jangka waktu 6 bulan.
“Dengan adanya buku ini, Stress Management Indonesia berharap para Millennials dan Gen Z yang mengisi buku tersebut dapat meluapkan perasaan dan pikiran mereka serta membangun versi diri sendiri yang lebih baik kedepannya,“ ujar Coach Pris.
Dengan mencurahkan berbagai macam emosi pada Self Love Journaling, Millenials dan Gen Z akan mampu mengidentifikasikan penyebab perasaan sedih, cemas, dan kesal yang dirasakan, sehingga kedepannya mereka dapat menjadi pribadi yang lebih tenang, selalu bersyukur, dan bahagia. Di dalam buku ini terdapat macam-macam kolom menulis berisikan tips, kata-kata motivasi, serta pertanyaan mendalam terkait kehidupan di masa kecil dan keluarga.
Discussion about this post