Jakarta, Prohealth.id – Gubernur Aceh terpilih Muzakir Manaf berencana mendatangkan investor untuk membangun pabrik rokok di Lhokseumawe. Dia beralasan pembuatan pabrik rokok itu adalah upaya untuk menciptakan lapangan kerja.
Namun, sejumlah organisasi anak muda dan kesehatan masyarakat menilai rencana tersebut kontraproduktif terhadap kesehatan masyarakat. Selain itu, rencana ini menyesatkan dari sudut pandang ekonomi serta kesejahteraan jangka panjang masyarakat Aceh.
Oleh sebab itu, sejumlah organisasi sipil yang beranggotakan anak-anak muda seperti Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) dan Generasi Peduli Kendali Tembakau (GENITA) Aceh, menyatakan penolakan tegas terhadap rencana Muzakir.
Manik Marganamahendera, Ketua IYCTC lewat keterangan tertulisnya, Jumat (24/1/2025), menyatakan menolak rencana itu karena sangat membahayakan kesehatan masyarakat dalam jangka panjang.
“Mengatasi pengangguran melalui industri yang justru membahayakan kesehatan bukanlah solusi yang etis maupun berkelanjutan,” kata Manik.
Dia menyebut para pekerja pabrik rokok nantinya menghadapi risiko tinggi terpapar bahan berbahaya seperti debu tembakau dan nikotin. Hal itu akan memicu berbagai penyakit serius, seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
“Hal ini jelas akan memperburuk kondisi pekerja,” tambah Manik.
Berdasarkan studi di salah satu pabrik rokok di Kota Semarang, menunjukan 55,6 persen pekerja mengalami gangguan fungsi paru akibat paparan tembakau. Risiko ini meningkat tiga kali lipat bagi pekerja dengan masa kerja lebih dari 10 tahun.
Penelitian dari Human Rights Watch pada 2016 juga mendapati pekerja di pabrik rokok, termasuk anak-anak, sering mengalami keracunan nikotin. Ini adalah akibat penyerapan melalui kulit atau inhalasi saat menangani daun tembakau basah.
Menurut Manik, klaim penciptaan lapangan kerja dari pabrik rokok sering kali menutupi dampak ekonomi yang merugikan. Padahal, penyakit akibat rokok juga menyebabkan kerugian ekonomi nasional hingga ratusan triliun rupiah per tahun. Inilah yang mengakibatkan pembengkakan biaya kesehatan dan hilangnya produktivitas.
Dia mengatakan pembangunan pabrik rokok justru bertentangan dengan visi Presiden Prabowo yang ingin fokus pada ketahanan pangan. Harusnya, kata Manik, Pemprov Aceh bisa memaksimalkan peluang industri yang berkaitan dengan pangan.
“Alih-alih mengembangkan industri tembakau yang berbahaya bagi kesehatan dan ekonomi, pemerintah Provinsi Aceh seharusnya melihat peluang industri pangan. Ini yang justru lebih produktif dan menjadi prioritas nasional,” tambah Manik.
Sementara itu, Ketua Genita Aceh, Muhammad Hafiz Daniel menilai investasi dengan membuat pabrik rokok ini bukanlah solusi, melainkan bom waktu. Sebab, risiko kesehatan yang timbul akan membebani pekerja dan keluarga mereka.
Padahal, kata Hafiz, Aceh memiliki potensi besar di sektor lain yang lebih berkelanjutan seperti ekowisata, pariwisata budaya, industri kreatif, dan energi terbarukan.
“Aceh dapat menjadi contoh pembangunan yang sehat, kreatif, dan inklusif tanpa harus bergantung pada industri rokok,” tuturnya.
Alih-alih membangun pabrik rokok, baik Manik maupun Hafiz berpendapat lebih baik Pemprov Aceh fokus mengembangkan sektor yang lebih berkelanjutan. Selain itu Pemprov Aceh masih berkesempatan untuk belajar dari negara-negara lain.
Di Thailand dan Uruguay misalnya, kedua negara tersebut fokus untuk investasi yang berfokus pada sektor berkelanjutan. Sebut saja; pariwisata dan teknologi hijau. Kedua sektor tersebut mampu meningkatkan ekonomi daerah tanpa membahayakan kesehatan masyarakat.
Hafiz mengatakan di Indonesia sendiri, banyak daerah yang berhasil memanfaatkan potensi lokal. Contoh; ekowisata dan pertanian organik, untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih sehat dan inklusif.
“Aceh sebagai provinsi yang memiliki potensi besar, seharusnya bisa menjadi percontohan yang mengedepankan pembangunan yang berorientasi pada kualitas hidup masyarakat,” ucapnya.
Pada sisi lain, rokok juga membuat ekonomi keluarga menengah ke bawah semakin sulit. Berdasarkan laporan dari PKJS-UI tahun 2022, rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk rokok seringkali lebih tinggi daripada pengeluaran untuk makanan bergizi.
“Hal ini berimplikasi langsung pada kesejahteraan keluarga, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah,” ucapnya.
Data teranyar menunjukkan bahwa setiap 1 persen peningkatan pengeluaran untuk rokok meningkatkan risiko rumah tangga menjadi miskin hingga 6 persen. Dia menduga dampaknya akan semakin memperburuk kondisi sosial dan ekonomi di Aceh jika pembangunan pabrik ini tetap berlanjut.
Berdampak ke Anak Muda
Di luar itu semua, risiko terbesar dari keberadaan pabrik rokok ini di Aceh dinilai akan berdampak pada masa depan generasi muda di sana. Anak-anak dan remaja menjadi kelompok yang paling rentan karena terpapar lingkungan yang memperkuat normalisasi konsumsi rokok.
“Industri ini sering menargetkan generasi muda sebagai pasar mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung,” ujar Manik.
Jika sengaja ada pembiaran, hal ini akan menciptakan siklus ketergantungan yang merugikan kesehatan, pendidikan, dan masa depan generasi Aceh.
Menurut survei Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2023, jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 70 juta orang. Dari jumlah itu, sebanyak 7,4 persen di antaranya adalah perokok remaja (usia 10-18 tahun).
IYCTC dan Genita Aceh pun sudah mengirimkan surat resmi keberatan atas rencana tersebut. Kedua organisasi ini juga menyerukan dengan lantang kepada Gubernur Aceh terpilih untuk membatalkan rencana pembangunan pabrik rokok serta mendorong investasi yang mendukung kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang.
Harapannya, langkah ini tidak hanya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, melainkan juga membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan
“Pembangunan yang sehat dan berkelanjutan adalah pilihan terbaik untuk Aceh. Investasi dalam sektor pendidikan, teknologi, dan ekonomi kreatif diyakini dapat memberikan dampak positif yang lebih besar bagi kesejahteraan masyarakat Aceh,” tutup Manik.
Penulis: Ningsih
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post