Jakarta, Prohealth.id – Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengeluarkan rekomendasi mengenai Pembelajaran Tatap Muka berdasarkan situasi terkini terkait Covid-19 dan penyakit menular lain yang tengah menyerang anak.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI), dr Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) mengatakan, saat ini penyebaran subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 jauh lebih mudah menular dibanding varian awal. Oleh karena itu dia mengakui subvarian baru ini potensial menyebabkan gelombang kasus berikutnya khususnya pada kelompok anak.
“Data terkini menunjukkan adanya peningkatan kasus COVID-19 pada bayi dan anak yang membutuhkan perawatan. Selain itu juga ada peningkatan kasus Multisystem Inflammatory System in Children (MIS-C) dan potensi kasus Long COVID-19 pada anak di Indonesia,” ujar dr. Piprim melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Sabtu (9/7/2022).
Selain itu, dr. Piprim dan segenap dokter anggota IDAI juga menyoroti dengan musim liburan panjang dimana kesadaran untuk mematuhi protokol kesehatan yang mengalami penurunan. Sementara anak memiliki risiko yang sama dengan dewasa untuk terinfeksi COVID-19, bahkan berpotensi mengalami komplikasi MIS-C dan Long COVID-19, sehingga pencegahan adalah yang utama.
“Kami juga menghimbau orangtua untuk tidak membawa anak ke tempat keramaian di masa liburan sekolah, serta mengajarkan anak supaya cakap dan disiplin menerapkan protokol Kesehatan,” tuturnya.
IDAI menjamin bahwa protokol kesehatan terbukti efektif mencegah berbagai penyakit infeksi, termasuk COVID-19. “Sehingga kebiasaan baik yang terbentuk selama masa pandemi harus dipertahankan, bahkan semakin ditingkatkan pada situasi adanya kenaikan kasus,” kata dr Yogi Prawira, SpA(K), Ketua Satgas Covid IDAI.
IDAI juga berharap pemerintah meningkatkan 3T (testing, tracing dan treatment) serta menampilkan data terkini kasus COVID-19 terkonfirmasi secara akurat dan transparan, termasuk pada usia bayi dan anak.
IDAI juga meminta pihak sekolah, dinas Pendidikan dan pemerintah daerah setempat berkolaborasi dengan orang tua dan dinas Kesehatan dalam memastikan keamanan dan keselamatan anak, antara lain dengan melakukan testing pada anak dengan gejala COVID-19, dan patuh serta disiplin mengerjakan protokol Kesehatan, serta tidak membawa anak ke luar rumah apabila ada gejala demam, batuk, pilek, maupun diare.
Protokol kesehatan terutama fokus pada: Penggunaan masker wajib untuk semua orang berusia di atas 2 tahun, mencuci tangan, menjaga jarak, tidak makan bersamaan, memastikan sirkulasi udara terjaga, serta mengaktifkan sistem penapisan aktif per harinya untuk anak, guru, petugas sekolah dan keluarganya yang memiliki gejala suspek COVID-19. Oleh karena itu, IDAI menekankan bahwa keputusan buka atau tutup sekolah harus memperhatikan adanya kasus baru COVID-19 di sekolah atau tidak
Rendahnya capaian imunisasi
Ketua Satgas Imunisasi IDAI, Prof Dr dr Hartono Gunardi, SpA(K) mengingatkan para orang-tua untuk mengikuti Bulan Imunisasi Anak Nasional yaitu melengkapi imunisasi dasar dan booster untuk anak balita, imunisasi MR tambahan dan imunisasi dengan vaksin baru yaitu vaksin pneumokokus (PCV) yang berguna untuk mencegah radang paru. Anak usia 6 tahun ke atas perlu imunisasi COVID-19 sebanyak 2 kali. “Jadi imunisasi rutin dan vaksinasi COVID-19 diperlukan agar anak terlindungi dari berbagai penyakit infeksi.”
Kelengkapan vaksinasi bagi anak sangat penting mengingat selama 2 tahun terakhir sejak 2020 – 2021 cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi dan anak turun drastis. Pada 2020 Kementerian Kesehatan mencatat target imunisasi sebanyak 92 persen sementara cakupan yang dicapai 84 persen, pada 2021 imunisasi ditargetkan 93 persen namun cakupan yang dicapai 84 persen saja. Penurunan cakupan imunisasi diakibatkan oleh pandemi COVID-19. Ada sekitar lebih dari 1,7 juta bayi yang belum mendapatkan imunisasi dasar selama periode 2019-2021.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes dr. Maxi Rein Rondonuwu mengatakan dampak dari penurunan cakupan tersebut dapat terlihat dari adanya peningkatan jumlah kasus penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi atau PD3I dan terjadinya kejadian luar biasa (KLB) seperti campak, rubela dan difteri di beberapa wilayah.
“Bila kekurangan cakupan imunisasi ini tidak dikejar maka akan terjadi peningkatan kasus yang akan menjadi beban ganda di tengah pandemi,” katanya.
Anggota Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Prof. Dr. dr. Soedjatmiko, SpA (K), M.Si menambahkan bahwa setiap tahun ada ancaman campak rubella dan difteri sejak tahun 2007 sampai 2022. Ia menyebut di tahun 2021 ada 25 provinsi dengan kasus rubela meningkat. Penyakit campak berbahaya bagi bayi, balita, anak sekolah. Bukan sekadar demam, batuk, pilek, sesak, bintik merah tapi ada radang otak. tahun 2012 sampai 2017 ada 571 bayi dengan kasus radang otak. “Ada juga kasus radang paru atau pneumonia sejak 2012 sampai 2017 dengan jumlah 2.853 bayi dan anak yang mengalami radang paru akibat campak,” sambungnya.
Oleh karena itu untuk solusi mengejar cakupan imunisasi yang kurang adalah dengan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN). BIAN terdiri dari dua kegiatan layanan imunisasi yakni pertama layanan imunisasi tambahan berupa pemberian satu dosis imunisasi campak dan rubela tanpa memandang status imunisasi sebelumnya. Kedua layanan imunisasi kejar, berupa pemberian satu atau lebih jenis imunisasi untuk melengkapi status imunisasi dasar maupun lanjutan bagi anak yang belum menerima dosis vaksin sesuai usia. Pelaksanaan BIAN dibagi atas dua tahap, tahap pertama diberikan bagi semua provinsi yang berada di luar Pulau Jawa dan Bali mulai bulan Mei 2022.
Adapun imunisasi yang diberikan berupa imunisasi campak rubela untuk usia 9 sampai 15 tahun. Sementara untuk imunisasi kejar diberikan pada anak usia 12 sampai 59 bulan yang tidak lengkap imunisasi OPV, IPV, dan DPT-HB-Hib.
Tahap 2 dilaksanakan mulai Agustus 2022 di provinsi yang ada di Jawa dan Bali. Untuk imunisasi campak rubella menyasar usia 9 sampai 59 bulan, dan imunisasi kejar diberikan pada anak usia 12 sampai 59 bulan yang tidak lengkap imunisasi OPV, IPV, dan DPT-HB-Hib.
Sampai saat ini sudah lebih dari 11 juta anak telah mendapatkan imunisasi campak rubela. Pada imunisasi kejar, untuk imunisasi tetes sudah sekitar 138 ribu anak, imunisasi polio suntik sekitar 140 ribu anak, dan imunisasi pentavalen hampir 160 ribu anak.
“Kita harus ingat kembali bahwa bila kesenjangan imunitas ini tidak segera kita tutup, maka akan terjadi peningkatan kasus dan KLB yang akan menjadi beban ganda di tengah pandemi, kita juga berpotensi gagal mencapai target eliminasi campak rubela pada tahun 2023 dan gagal mempertahankan Indonesia bebas polio yang telah dicapai sejak 2014,” tambahnya.
Oleh karena itu untuk melakukan vaksinasi untuk anak anak dengan komorbiditas dapat berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter spesialis anak. Komorbiditas anak meliputi penyakit seperti keganasan, diabetes melitus, penyakit ginjal kronik, penyakit autoimun, penyakit paru kronis, obesitas, hipertensi, dan lainnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post