Sejumlah pemimpin daerah tampak mulai aktif mensosialisasikan bahaya leptospirosis. Maklum, leptospirosis adalah salah satu jenis zoonosis yang muncul ketika banjir menghadang. Berdasarkan hasil penelusuran Prohealth.id, Rabu (17/4/2024), sejak Maret 2024, portal resmi Pemerintah Kabupaten Probolinggo melalui Dinas Kesehatan telah meminta masyarakat untuk mewaspadai penyakit leptospirosis.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dr. Dewi Vironica mengungkapkan leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira, SP. Bakteri tersebut masuk ke tubuh melalui kulit luka, selaput ukosa (mata, hidung, mulut) yang kontak dengan lingkungan yang terkontaminasi kencing (urine) tikus yang terinfeksi kuman leptospira.
“Lingkungan terkontaminasi dapat berupa banjir, genangan air, tempat sampah, persawahan, Perkebunan, sungai, sumber air dan lain-lain,” katanya.
Dewi menjelaskan tanda dan gejalanya antara lain; demam diatas 38,5 derajat Celcius dengan atau tanpa sakit kepala. Ada juga gejala nyeri otot lemas, mata merah, mual, nafsu makan berkurang, nyeri betis, mata atau kulit kuning, tidak bisa kencing atau sedikit dengan warna kecoklatan (seperti teh).
“Apabila menemukan gejala tersebut setelah beraktifitas di lingkungan yang terkontaminasi 1-2 minggu sebelumnya harus segera berobat ke fasilitas kesehatan terdekat,” jelasnya.
Cara pencegahannya jelas Dewi, menghindari kontak dengan lingkungan terkontaminasi. Paling mudah dengan menggunakan alat pelindung diri (APD). Khususnya ketika beraktivitas dengan lingkungan terkontaminasi. APD meliputi; sarung tangan, sepatu boot, masker dan lain-lain. Lalu penting menjaga higienitas sanitasi lingkungan. Misalnya dengan menjaga kebersihan tempat sampah/rongsokan, menutup genangan, mengurangi jumlah tikus, dan lain-lain.
“Selain itu, PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) dengan mencuci pakai sabun bagian tubuh yang kontak dengan lingkungan terkontaminasi. Pengobatan Leptospirosis yang terlambat dapat menyebabkan kematian. Segera berobat ke fasyankes apabila mengalami salah satu gejala tersebut,” terangnya.
Serupa dengan Pemkab Probolinggo, situs resmi Pemerintah Kota Yogyakarta juga memberi informasi secara daring tentang bahaya leptospirosis. Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Kesehatan Dinas Kesehatan Lana Unwanah mengakui ada beberapa penyakit yang muncul pada musim hujan.
Kota Yogyakarta memang riwayat adanya penyakit leptospirosis setiap tahun. Dia menyebut selama tahun 2023 saja total ada 23 kasus leptospirosis di Kota Yogyakarta. Meski demikian temuan kasus leptospirosis tersebut tidak ada yang meninggal dunia.
“Kasusnya tersebar merata di wilayah Kota Yogyakarta dan tidak ada yang meninggal,” ujar Lana.
Selain leptospirosis, Pemkot Yogyakarta juga meminta masyarakat mewaspadai penyakit diare, demam berdarah, flu dan penyakit kulit selama musim hujan.
Kepala Puskesmas Kotagede II Yusnita Susila Astuti menyampaikan untuk kewaspadaan leptospirosis, pihak Puskesmas Kotagede II memberikan informasi kesehatan kepada masyarakat. Saluran informasi melalui infografis terkait penyakit leptospirosis, tanda dan gejala, cara pencegahan dan risiko penularan. Di samping itu melakukan survei vektor reservoir (pembawa) leptospirosis untuk mengetahui faktor risiko penularan.
Informasi kewaspadaan ini tentu punya alasan. Terbukti dari catatan Prohealth.id, sejak awal 2024 ada temuan kasus leptospirosis mencatatkan kematian. Sebut saja misalnya di Boyolali pada Maret 2024 lalu, seperti yang diberitakan Harian KOMPAS ada warga yang meninggal karena leptospirosis. Pada 17 April 2024, seperti yang termuat dalam pemberitaan dari Tadatodays.com, ada dua orang warga Probolinggo meninggal karena leptospirosis.
Ancaman Zoonosis yang Seolah Tak Menakutkan
Leptospirosis merupakan jenis zoonosis yang tersebar akibat infeksi dari bakteri leptospira dalam urine tikus. Menanggapi dinamika ini, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan dr. Imran Pambudi menyatakan zoonosis memang berawal dari hewan sebagai penyebar penyakit. Oleh karena itu pendekatan mencegah zoonosis tidak bisa hanya manusia saja.
“Harus ada bagaimana kutubnya itu. Harus ada kerja sama antara sektor kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan,” kata dr. Imran kepada Prohealth.id pada 3 April 2024 lalu.
Meski demikian ada beberapa masalah dalam mengendalikan kasus zoonosis seperti leptospirosis. Pertama, yadalah secara ekonomi sesuai dengan UU Wabah kalau ada binatang yang terkena penyakit harus dimusnahkan. Akibatmua sering sekali terjadi keterlambatan pelaporan.
“Sebagai contoh kejadian Anthrax di Jawa Tengah, ketahuannya di manusia dulu dan vektor hewannya baru diketahui setelah diruntut. Unggas yang terinfeksi flu burung harus dimusnahkan satu kendang,” katanya.
Pemusnahan hewan yang terinfeksi ini memiliki konsekuensi biaya. Implikasinya, kata dr. Imran akan membawa keterlambatan pelaporan, yang mengakibatkan keterlambatan penanganan.
“Jika permasalahan yang di hewan bisa terlebih dahulu dicontain, itu tidak akan menular ke manusia.
Tantangan kedua adalah ketimpangan resources dan tantangan ketiga berkaitan dengan climate change.
Menurut dr. Imran zoonosis menjadi ancaman tak kasat mata masyarakat karena faktor utama yang menantang saat ini adalah perubahan iklim. Climate change atau perubahan iklim membuat suhu bumi meningkat, yang kemudian menyebabkan es mencair.
“Padahal kita tahu bahwa banyak sekali bakteri-bakteri/virus-virus zaman purba terperangkap di bawah es. Bakteri-bakteri ini keluar dan menginfeksi ikan-ikan sebagai hewan terdekat. Ikan tersebut lalu dikonsumsi burung yang menjadi perantara lewat siklus migrasinya,” ujarnya.
Menurut dr. Imran wilayah Indonesia yang terletak di khatulistiwa juga menjadi satu faktor beban yang membuat masyarakat lebih rentan terhadap zoonosis. Kondisi ini makin parah dengan inisiatif masyarakat untuk melaporkan kasus cenderung masih kurang.
“Sebagai contoh kalau ada burung mati mendadak banyak dan enggan untuk bertindak.”
Zoonosis sebagai ancaman global juga menjadi perhatian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pada 2023 lalu, WHO meluncurkan kerangka kerja baru untuk membangun sistem kesehatan yang tahan terhadap perubahan iklim dan rendah karbon. Kerangka Kerja komprehensif ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan sistem kesehatan sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca untuk membantu menjaga kesehatan masyarakat di seluruh dunia.
Menurut WHO, risiko kesehatan akibat perubahan iklim sangat banyak dan beragam. Frekuensi kejadian cuaca ekstrem, seperti panas ekstrem, badai, banjir, kekeringan, dan polusi udara, dapat menyebabkan beberapa penyakit dan menekan kesehatan masyarakat, layanan kesehatan, dan mengganggu penghidupan, terutama di wilayah pesisir dataran rendah, daerah rawan kekeringan dan banjir, dan negara kepulauan kecil.
Terganggunya sistem pangan akan berdampak negatif terhadap nutrisi, kesejahteraan, dan penghidupan manusia. Penyakit menular, seperti zoonosis, penularan melalui makanan, air, dan vektor, juga dapat meningkat. Adapun penyakit tidak menular, seperti malanutrisi, penyakit pernapasan dan kardiovaskular, dan masalah kesehatan mental juga bisa meningkat.
Tak hanya itu, sistem kesehatan juga berkontribusi terhadap degradasi lingkungan, termasuk perubahan iklim, melalui emisi gas rumah kaca. Banyak sistem kesehatan yang menerapkan praktik tidak berkelanjutan dalam mengelola air, sanitasi, limbah, penggunaan energi, pengadaan barang, dan rantai pasokan.
Lancet Countdown on Health and Climate Change 2022 mencatat bahwa sektor layanan kesehatan menyumbang sekitar 5,2 persen atau 2,7 gigaton setara karbon dioksida emisi global pada tahun 2019.
Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO melalui rilis WHO pada Kamis, 9 November 2023 menyatakan bahwa di seluruh dunia, sistem kesehatan rentan terhadap dampak perubahan iklim. Namun masyarakat belum sepenuhnya sadar banyak kondisi dan aktivitas yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.
“Oleh karena itu, kita punya tanggung jawab ganda untuk membangun sistem kesehatan yang mampu menahan guncangan perubahan iklim dan pada saat yang sama mengurangi jejak karbonnya. Kerangka kerja ini memberi negara-negara peta jalan untuk melakukan hal tersebut,” ujar Tedros.
Tedros berharap kerangka dari WHO bisa menyajikan berbagai jalur untuk memperkuat sistem kesehatan dalam menghadapi perubahan iklim sekaligus mengurangi gas rumah kaca. Sebab tujuan utama WHO adalah untuk memandu para profesional di sektor kesehatan dalam mengatasi risiko kesehatan dari perubahan iklim melalui kolaborasi, memperkuat fungsi sistem kesehatan untuk ketahanan iklim dan pendekatan kesehatan rendah karbon, mendukung pengembangan intervensi khusus untuk pengurangan risiko iklim dan pengurangan emisi gas rumah kaca, dan mendefinisikan peran dan tanggung jawab para pengambil keputusan di bidang kesehatan dalam ketahanan iklim.
Penulis: Felicia Tungadi
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post