Jakarta, Prohealth.id – Pada akhir Mei 2023, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat bahwa capaian Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) di sebelas provinsi Indonesia pada tahun 2022 masih dibawah target nasional 90 persen.
Adapun kesebelas provinsi dimaksud adalah Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara, Riau, Kalimantan Barat, Papua Barat, Sumatera Barat, Papua, dan Aceh.
Demikian halnya untuk Imunisasi Baduta Lengkap (IBL) masih terdapat 17 provinsi di Indonesia yang masih dibawah target imunisasi nasional, dengan capaian 3 terendah yakni Sumatera Barat, Papua, dan Aceh.
Selain itu, cakupan imunisasi lanjutan lengkap usia sekolah dasar di tahun 2022 menunjukkan sebanyak 8 Provinsi belum mencapai target capaian 70 persen. Bahkan provinsi Aceh masih di bawah 30 persen. Imunisasi lanjutan lengkap di usia sekolah dasar ini dilihat dari persentase anak usia kelas 6 SD yang sudah mendapatkan imunisasi lanjutan lengkap meliputi satu dosis DT, satu dosis campak rubella dan 2 dosis Td di satu wilayah dalam kurun waktu satu tahun.
Untuk tahun 2023 secara Nasional ditargetkan 100 persen bayi usia 0-11 bulan mendapatkan imunisasi lengkap, dengan target capaian pada trimester pertama sebesar 33,3 persen.
Juru Bicara Kemenkes dr. Mohammad Syahril menyatakan pemerintah menargetkan cakupan imunisasi lengkap 0-11 bulan ini sebesar 33,3 persen di bulan April 2023. Namun belum ada provinsi yang mampu mencapai target tersebut. dr. syahril menyebut bahkan ada lima provinsi capaiannya masih di bawah 1 persen yaitu Maluku, Sumatera Utara, Papua, DI Yogyakarta, dan Aceh.
“Namun nyatanya capaian hingga April menunjukkan secara nasional di Indonesia baru sebanyak 175 ribu atau 4,02 persen bayi yang mendapatkan imunisasi lengkap di Indonesia,” ujar dr. Syahril.
Tentunya hal ini sangat mengkhawatirkan dan rentan terjadinya kejadian luar biasa (KLB). Karena rendahnya cakupan imunisasi pada anak dan bayi mengakibatkan tidak terbentuknya Herd Immunity, tentunya nanti akan berpotensi terjadinya outbreak atau KLB,” ungkap dr. Syahril.
Cakupan imunisasi harus digenjot, mengingat mayoritas provinsi di Indonesia memiliki risiko penularan polio, campak, dan difteri yang tinggi. Sebanyak 21 provinsi dan 296 kabupaten/kota merupakan wilayah dengan risiko tinggi transmisi polio.
Demikian juga dengan campak, sebanyak 10 provinsi dan 194 kabupaten/kota di Indonesia masuk ke dalam wilayah dengan risiko transmisi campak yang tinggi dan sangat tinggi. Bahkan pada 2022 sampai 2023 terjadi KLB polio tipe 2 di Indonesia. Pada 2022 di Provinsi Aceh di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Bireuen, dan pada tahun 2023 cakupan imunisasi polio di Purwakarta Jawa Barat sangat rendah.
“Dalam upaya mengejar cakupan imunisasi, Kemenkes menjalankan program pemberian imunisasi tambahan polio, difteri dan campak. Imunisasi tambahan polio dilakukan di provinsi Jawa Barat, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Riau. Sementara imunisasi tambahan difteri dilaksanakan di kabupaten Garut, serta imunisasi tambahan campak di provinsi Papua Tengah,” tuturnya.
Khusus untuk kanker, akan dilakukan program pemberian vaksinasi HPV secara gratis untuk mencegah angka pengidap kanker leher rahim (kanker serviks) pada wanita. Vaksin HPV diberikan kepada anak perempuan kelas 5 dan 6 SD. Tahun ini akan diberikan secara merata di 34 Provinsi di Indonesia.
Selain vaksinasi, Kemenkes juga tengah menyiapkan program percontohan untuk pemeriksaan kanker serviks menggunakan metode HPV DNA Test. Saat ini HPV DNA test dilakukan di lima kota di Provinsi DKI Jakarta, yaitu Jakarta pusat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara dan Jakarta Timur.
Dikatakan dr. Syahril, dibutuhkan kerja keras dari berbagai pihak, khususnya pemerintah daerah untuk memastikan capaian imunisasi dapat sesuai dengan target.
“Dengan demikian kita dapat melindungi masa depan generasi penerus bangsa, memastikan anak-anak kita dapat tumbuh dengan baik dan sehat,” ucap dr. Syahril.
Nasib Eradikasi Polio
Dalam hal eradikasi penyakit, imunisasi cacar (smallpox) merupakan penyakit satu-satunya yang telah berhasil diberantas. Polio merupakan penyakit kedua yang akan diberantas. Penyakit ini sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan kelumpuhan seumur hidup bahkan kematian. Polio merupakan salah satu penyakit yang dapat diberantas, karena virus polio hanya hidup dan berkembang biak di tubuh manusia, penyakit polio dapat dicegah dengan imunisasi dan tersedia vaksin polio yang aman dan efektif.
Indonesia sendiri dan seluruh negara-negara lainnya di regional South-East Asia Region (SEARO) telah dinyatakan Bebas Polio oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2014. Kementerian Kesehatan melalui situs resmi menyatakan, tantangan Indonesia adalah mempertahankan status bebas polio tersebut dengan melaksanakan seluruh strategi yang telah menjadi komitmen bersama dalam rangka mewujudkan Dunia Bebas Polio.
“Polio dapat diberantas dengan memastikan seluruh anak mendapatkan imunisasi polio lengkap sebelum anak genap berusia 1 tahun,” tulis Kemenkes dikutip, Selasa (27/6/2023).
Saat ini, imunisasi polio lengkap pada jadwal imunisasi nasional meliputi 4 dosis imunisasi bivalent Oral Polio Vaccine (bOPV) yang diberikan dalam bentuk tetes dan 1 dosis imunisasi Inactivated Poliovirus Vaccine (IPV) yang diberikan dalam bentuk suntikan.
Untuk mengoptimalkan perlindungan terhadap polio, secara bertahap akan ditambahkan dosis kedua imunisasi IPV atau IPV2 ke dalam jadwal imunisasi rutin. Kombinasi 4 dosis imunisasi polio tetes dan 2 dosis imunisasi polio suntik ini telah direkomendasikan oleh WHO dan Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (ITAGI).
IPV dosis kedua diberikan pada usia 9 bulan bersamaan dengan imunisasi Campak-Rubela. Pengenalan imunisasi IPV2 telah mulai dilaksanakan di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten pada tahun 2022. Pada tahun ini, pelaksanaan pemberian IPV2 ini akan dilakukan di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Provinsi DIY.
Untuk itu, Menteri Kesehatan bersama Ketua DPR RI mencanangkan pemberian imunisasi IPV2 secara nasional di Grha Bung Karno, Klaten yang dihadiri oleh Gubernur Provinsi Jawa Tengah, Bupati Klaten, Bupati dan Walikota se-Solo Raya beserta segenap jajaran Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Klaten dan masyarakat di Kabupaten Klaten. Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan peninjauan pelaksanaan pemberian imunisasi IPV2 di Posyandu Gumpang, Sukoharjo.
Budi mengatakan kalau di suatu wilayah hanya sedikit anak-anak yang divaksinasi polio, akan terjadi penularan ke anak lain. Jika terjadi penularan maka akan terjadi mutasi virus polio dan kasus akan semakin banyak.
“Jadi pesan saya jangan hanya vaksinasi diri sendiri, semua anak sekampung harus divaksinasi minimal 90 persem. Kalau tidak divaksinasi dia akan membahayakan teman-temannya yang lain,” kata Budi.
WHO Representative for Indonesia Dr. Paranietharan mengatakan untuk semua negara termasuk Indonesia yang menggunakan kombinasi vaksin bOPV dan IPV, WHO merekomendasikan 4 dosis bOPV disertai 2 dosis IPV.
“Oleh karena itu, WHO mengapresiasi komitmen pemerintah Indonesia untuk mencanangkan dosis kedua dari IPV (IPV2) sebagai bentuk perlindungan optimal bagi anak-anak di Indonesia terhadap polio,” ucapnya.
Pandemi COVID-19 telah menghambat program imunisasi nasional di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Hal ini telah berakibat munculnya wilayah-wilayah kantong dimana terdapat anak-anak yang tidak menerima hak imunisasi mereka, sehingga berbagai Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) kembali mengancam, termasuk kejadian polio di Aceh dan Jawa Barat.
Pencanangan IPV2 ini tidak hanya bertujuan untuk melengkapi seluruh rangkaian dosis imunisasi polio yang diperlukan di Indonesia, tetapi juga diharapkan dapat menjadi bagian dari upaya penguatan program imunisasi nasional secara menyeluruh.
Selain WHO, UNICEF juga turut mendukung terlaksananya perluasan pemberian imunisasi IPV2 ini. Pimpinan tertinggi kantor UNICEF Indonesia Maniza Zaman mengatakan UNICEF berkomitmen mendukung upaya berkelanjutan untuk memastikan bahwa layanan imunisasi yang menyelamatkan jiwa dapat diakses bagi setiap anak di Indonesia.
“Bersama pemerintah, UNICEF terus memastikan agar semua anak terlindungi dari PD3I di seluruh daerah di Indonesia, termasuk daerah yang sulit dijangkau, agar lebih banyak anak Indonesia memperoleh layanan imunisasi sesuai dengan jadwal dan dosis yang dianjurkan,” katanya.
Peran Swasta dalam Imunisasi
Berkaca dari rendahnya capaian imunisasi dan ancaman KLB, PT Kalbe Farma Tbk (Kalbe) mengedukasi masyarakat tentang vaksinasi yang dibutuhkan untuk anak pra-sekolah atau usia mulai dari 5 tahun. Vaksinasi tidak berhenti pada usia anak 9 bulan, melainkan ada vaksinasi atau imunisasi untuk anak usia 18 bulan hingga 5 tahun. Penyebaran informasi pun perlu dilakukan.
Dokter Spesialis Anak, dr. Melia Yunita, M.Sc., Sp.A., dalam Live Instagram @ptkalbefarmatbk menjelaskan, hal ini terjadi karena banyak informasi yang tidak sampai ke masyarakat. Sehingga, akibatnya kayak kemarin kejadian polio, yang sebenarnya menyerang anak-anak yang sudah besar.
“Biasanya kalau anak bayi ini Ibu-ibu rajin untuk update mana yang belum vaksinnya, tapi ketika anaknya sudah besar, sudah lupa dan jadwalnya terlambat,” ujar dr. Melia.
Ia mengatakan, anak usia lima tahun sebaiknya mendapatkan vaksin booster difteri, pertusis, tetanus, dan polio. Hal ini supaya anak-anak sudah memiliki antibodi dan mencegah kata terlambat untuk imunisasi. Sebab, anak yang tidak menerima vaksinasi berakibat fatal bagi kesehatan anak.
Contohnya, wabah difteri yang menyebabkan banyak korban meninggal dunia. Kemudian polio yang melumpuhkan penderitanya, berakibat terhadap kualitas hidup pasien.
Ia menegaskan, polio tidak bisa sembuh, maka bayangkan anak kita lumpuh selama-lamanya itu kayak apa rasanya. Kalau ada satu orang terkena polio, itu sebenarnya sudah ada beberapa orang yang positif tetapi tidak bermanifestasi sampai lumpuh.
“Karena gejala untuk infeksi polio itu beragam, ada yang demam bahkan ada yang tidak bergejala, tetapi ada juga yang gejalanya berat sampai lumpuh itu,” ungkap dr. Melia.
Untuk itu, dr. Melia menekankan bahwa vaksin memberikan imunitas pada anak sebagai upaya pencegahan penyakit berbahaya. Vaksinasi secara efektif dapat mengurangi risiko sejumlah penyakit, hingga mencegah kematian dan komplikasi penyakit.
Namun, apabila buku data vaksinasi anak hilang ketika anak berusia 5 tahun, atau Ibu ragu anak sudah divaksin atau belum, maka Ibu dapat segera membawa anak untuk divaksin booster. Sebab, tidak ada yang namanya overdosis vaksin.
Franchise Manager PT Kalventis Sinergi Farma, Dainty Loresia menambahkan, vaksin menyelamatkan lebih dari tiga juta orang setiap tahunnya menurut WHO. Salah satunya adalah vaksin pra-sekolah. Ini sangat penting, karena tentu kita ingin yang terbaik untuk anak-anak, agar semua tumbuh kembang dan cerdas.
“Ternyata salah satu bagian untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak itu dengan pencegahan atau dengan vaksinasi,” tutur Dainty.
Dainty memaparkan, Kalventis menyediakan vaksin DPT combo full range, yakni mulai dari vaksin primer, pre-school booster, dan booster adult. Vaksin primer yang dimiliki Kalventis ialah hexavalent, maka cukup satu kali suntikan dapat mencegah enam penyakit berbahaya, yakni Difteri, Tetanus, aPertusis, IPV, Hepatitis B, dan Hib (Haemophilus influenza tipe B). Dalam hal ini, tidak perlu mencampur-campur vaksinnya atau memberikan berbagai vaksin untuk enam penyakit tersebut untuk anak usia 2—4 bulan dan bulan ke-6.
Lalu ada vaksin booster untuk usia 18 bulan, jadi untuk memakai yang hexavalent. Setelah itu ada DPT yang booster di usia 5 tahun menggunakan rekomendasi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Kandungannya di vaksin Kalventis sesuai, karena D-nya besar, P besar, dan T besar. Dengan demikian, dosisnya besar serta ada bonus polio.
“Lalu ada juga booster untuk adult, jadi kalau pre-school booster 5-7 tahun lupa diberikan, ada yang untuk 7-10 tahun yang catch up namanya. Untuk adult juga ada, jadi lengkap ya untuk DPT combo dari Kalventis,” tambahnya.
Discussion about this post