Jakarta, Prohealth.id – Angka kematian yang tinggi akibat Covid-19 masih menjadi sorotan karena sangat berpengaruh pada proses dan tingkat kesuksesan pengendalian Covid-19.
Dalam kurun waktu tiga minggu terakhir, Kementerian Kesehatan merilis angka Kematian akibat COVID-19 yang cenderung tinggi, dengan Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Jawa Timur memiliki kontribusi paling besar. Situs Kemenkes mencatat, Jawa Tengah mencatat kasus sebanyak 26.053, dan Jawa Barat sebanyak 25.616 kasus.
Angka kematian adalah informasi yang sangat penting untuk menunjukan fatalitas dari virus Covid-19 yang menyebar pada wilayah dan waktu tertentu, apalagi saat ini kita berhadapan dengan berbagai varian mutasi Covid-19 dengan dampak yang beragam. Informasi angka kematian ini penting untuk dikelola dengan baik, obyektif, dapat dipercaya dan terbuka.
Prinsip ini sejalan dengan panduan penanganan Covid-19 WHO dan bahkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 yang ditetapkan sendiri oleh pemerintah melalui Menteri Kesehatan. Oleh sebab itu jika angka kematian dalam data penanggulangan Covid-19 dihilangkan, maka pemerintah bisa dianggap melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 Tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular.
Menanggapi hal tersebut, Tenaga Ahli Kementerian Kesehatan dr. Panji Fortuna Hadisoemarto, MPH menyampaikan berdasarkan analisis dari data National All Record (NAR) Kementerian Kesehatan, pelaporan kasus kematian yang dilakukan daerah tidak bersifat realtime dan merupakan akumulasi dari bulan-bulan sebelumnya. NAR adalah sistem big data untuk pencatatan laboratorium dalam penanganan Covid-19 yang dikelola oleh Kemenkes.
Berdasarkan laporan kasus Covid-19 per tanggal 10 Agustus 2021, misalnya, dari 2.048 kematian yang dilaporkan, sebagian besar bukanlah angka kematian pada tanggal tersebut atau pada seminggu sebelumnya. Bahkan 10,7 persen diantaranya berasal dari kasus pasien positif yang sudah tercatat di NAR lebih dari 21 hari namun baru terkonfirmasi dan dilaporkan bahwa pasien telah meninggal.
”Kota Bekasi, contohnya, laporan kemarin (10/8/2021) dari 397 angka kematian yang dilaporkan, 94 persen diantaranya bukan merupakan angka kematian pada hari tersebut, melainkan rapelan angka kematian dari bulan Juli sebanyak 57 persen, dan bulan Juni dan sebelumnya sebanyak 37 persen. Lalu 6 persen sisanya merupakan rekapitulasi kematian di minggu pertama bulan Agustus,” terang dr. Panji.
Contoh lain adalah Kalimantan Tengah dimana 61 persen dari 70 angka kematian yang dilaporkan kemarin adalah kasus aktif yang sudah lebih dari 21 hari namun baru diperbaharui statusnya.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat drg. Widyawati, MKM mengakui adanya keterlambatan dalam pembaharuan pelaporan dari daerah akibat keterbatasan tenaga kesehatan dalam melakukan input data akibat tingginya kasus di daerah mereka pada beberapa yang minggu lalu.
”Tingginya kasus di beberapa minggu sebelumnya membuat daerah belum sempat memasukkan atau memperbarui data ke sistem NAR Kemenkes.” terangnya.
”Lonjakan-lonjakan anomali angka kematian seperti ini akan tetap kita lihat setidaknya selama dua minggu ke depan,” tambah drg. Widyawati.
Selain itu, dr. Panji menuturkan lebih dari 50 ribu kasus aktif yang saat ini adalah kasus yang sudah lebih dari 21 hari tercatat namun belum dilakukan pembaharuannya.
”Kita saat ini sedang mengkonfirmasi status lebih dari 50 ribu kasus aktif. Jadi beberapa hari kedepan akan ada lonjakan di angka kematian dan kesembuhan yang bersifat anomali dalam pelaporan perkembangan kasus Covid-19. Tapi ini justru akan menjadikan pelaporan kita lebih akurat lagi,” tutur dr. Panji.
Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan sangat mengapresiasi pemerintah daerah yang telah melakukan pembaharuan data sesegera mungkin.
”Tentunya ini tidak mengurangi semangat kita untuk terus berpacu menyampaikan data yang transparan dan realtime kepada publik,” tutur drg Widyawati.
Sebelumnya, Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi menyatakan akan mengeluarkan angka kematian dari indikator penanganan Covid-19 karena adanya masalah dalam input data yang disebabkan akumulasi dari kasus kematian di beberapa minggu sebelumnya. Dengan dihilangkannya indikator kematian tersebut, terdapat 26 kabupaten/kota yang turun statusnya menjadi PPKM level 3. Luhut mengklaim pelaksanaan PPKM level 4 sukses menurunkan angka kasus Covid-19 sebesar 59,6 persen dari puncak kasus di 15 Juli 2021.Keputusan menghapuskan angka kematian sebagai indikator penanganan covid-19 diambil ketika terjadi peningkatan angka kematian yang signifikan.
Asal tahu saja, data Satgas Covid-19 menunjukan selama PPKM level 4, angka kematian masih berkisar di 1.300-1.500 kasus. Pada 10 Agustus 2021 bahkan penambahan kasus kematian mencapai 2.048 kasus, menyerupai jumlah tertinggi pada puncak penyebaran di bulan Juli 2021 dan tertinggi di dunia. Data tersebut bahkan masih diragukan mengingat menurut catatan LaporCovid-19 per akhir Juli lalu, setidaknya terdapat 19.000 kematian pasien Covid-19 yang tidak tercatat dalam data Satgas.
Oleh sebab itu, Koalisi Masyarakat Untuk Hak Atas Kesehatan memandang betapa serampangannya pemerintah dalam mengelola data Covid-19. Koalisi ini menilai langkah ini adalah bentuk memanipulasi pengetahuan publik mengenai penanganan Covid-19 ketika hal tersebut dijadikan dasar menurunkan status penanganan di 26 kota/kabupaten.
“Langkah pemerintah ini tentu tidak berdasar sebab diputuskan dengan menghilangkan data kematian yang merupakan amanat dari sebagai data penting dalam menyusun pertimbangan epidemiologis,” tulis anggota koalisi.
Lebih jauh lagi, berdasarkan Pasal 2 ayat 1 PP Nomor 40 Tahun 1991 pertimbangan epidemiologis digunakan dalam menetapkan dan mencabut daerah yang terjangkit wabah.
Pada sisi lain manipulasi serupa bahkan dilakukan dalam klaim turunnya angka kasus Covid-19 selama PPKM level 4 yang sayangnya berbanding lurus dengan jumlah testing yang dilakukan. Data Satgas menunjukan jumlah testing nasional pada 10 Agustus 2021 dilakukan terhadap 146.150 orang, dimana rata-rata jumlah sebelumnya berkisar di angka 100.000 orang secara nasional. Jumlah tersebut sangat jauh dari jumlah target testing yang ditetapkan pemerintah, yang mana, untuk wilayah Jawa-Bali saja ditargetkan 324.283 orang per hari. Ditambah dengan fakta angka vaksinasi di Indonesia yang baru mencapai 24,49 persen, hal-hal ini jelas menunjukan kegagalan PPKM Level 4 yang tidak ditunjukan pemerintah.
Keputusan ini tidak dapat dipisahkan dari rencana pemerintah melonggarkan kembali berbagai sektor usaha untuk beroperasi. Misalnya dengan izin industri esensial berbasis ekspor untuk beroperasi 100 persen, atau kebijakan beroperasi pusat perbelanjaan dengan syarat kartu vaksin hasil kerja sama dengan Asosiasi Mal Indonesia. Bahkan dalam waktu dekat, Presiden Joko Widodo mencanangkan roadmap Indonesia hidup berdampingan dengan Covid-19 yang menitikberatkan pada pengaktifan kembali dunia usaha.
Merespon hal itu, Koalisi Masyarakat Untuk Hak Atas Kesehatan memandang keputusan tersebut tidak berdasarkan pada prioritas aspek kesehatan masyarakat, melainkan aspek ekonomi semata. Dengan buruknya pengelolaan informasi mengenai Covid-19 dan buruknya pelaksanaan 3T pemerintah selama PPKM terakhir, upaya-upaya pelonggaran tersebut lagi-lagi akan membawa kegagalan penanganan Covid-19 dan kembali mengorbankan keselamatan masyarakat.
Atas dasar tersebut, Koalisi Masyarakat Untuk Hak Atas Kesehatan menuntut Pemerintah RI melakukan beberapa hal. Pertama, pemerintah harus memasukan kembali angka kematian sebagai indikator penanganan Covid-19 sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 PP Nomor 40 Tahun 1991 Tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular, dan memperbaiki pengelolaan data-data esensial penanganan Covid-19, serta menjamin informasi terbuka dan dapat diakses publik.
Kedua, pemerintah wajib memperbaiki kegagalan PPKM level 4 dengan memprioritaskan dan meningkatkan pelaksanaan 3T dan vaksinasi.
Ketiga, pentingnya menunda relaksasi hingga pelaksanaan 3T dan vaksinasi dilakukan dengan optimal demi keselamatan masyarakat.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post