Turunnya indeks demokrasi Indonesia dalam temuan Economist Intelligence Unit (ECU) membuat Indonesia mendapat label sebagai negara demokrasi cacat atau flawed democracy.
Situasi dan kondisi kebebasan berkekspresi memang sedang memasuki masa yang darurat. Retno Dwi Rahayu, Ketua Himpunan mahasiswa Ilmu Publik UNKRIS turut merasakan demokrasi Indonesia yag menurun. Tak terkecuali dari kasus kekerasan yang dilakukan oleh polisi selama ini.
Retno menjelaskan kkerasan oleh oknum polisi memang punya dampak besar terhadap kebebasan sipil masyarakat. Ketika aparat kepolisian melakukan tindakan kekerasan, yang pertama kali terasa adalah hilangnya rasa aman dan kepercayaan publik terhadap institusi ini.
“Sebagai warga negara, kita harusnya bisa merasa terlindungi oleh aparat yang seharusnya menjaga ketertiban, bukan malah merasa terancam. Ketakutan yang timbul akibat kekerasan ini tentu saja mengganggu kebebasan untuk berekspresi, berkumpul, atau bahkan menyuarakan pendapat di ruang publik,” terangnya kepada Prohealth.id, Jumat (3/1/2025).
Retno yang sehari-hari mengadvokasi isu kebebasan berekspresi menilai faktor polisi semakin berani dan brutal karena pelaku kekerasan tidak mendapat hukuman yang tegas. Hal ini menimbulkan kepercayaan diri pada aparat untuk berbuat kekerasan. Artinya, ini situasi berbalik karena masyarakat akhirnya ketakutan dengan polisi yang mempunyai senjata dan hukum.
Retno menyebut bahaya impunitas—di mana pelaku kekerasan jarang mendapatkan sanksi yang setimpal—akan memperburuk keadaan. Ini membuat masyarakat semakin enggan untuk melapor atau menuntut keadilan. Karena merasa bahwa sistem hukum tidak akan berpihak pada mereka.
“Dalam pandanganku, jika kekerasan ini terus dibiarkan tanpa ada tindakan yang tegas, kita akan semakin jauh dari prinsip negara hukum yang menjamin kebebasan sipil.”
Keadaan ini membuat ruang untuk berbicara dan berpendapat semakin sempit. Jika seseorang takut untuk mengungkapkan pendapat atau bahkan berpartisipasi dalam demonstrasi karena khawatir akan kekerasan dari pihak berwajib, maka kebebasan berpendapat sebagai hak dasar warga negara bisa jadi terancam.
Menurut Retno, polisi harus lebih bertanggung jawab atas tindakan mereka. Harus ada upaya nyata untuk memastikan bahwa tidak ada pembiaran kekerasan dari aparat.
“Agar masyarakat bisa merasa aman dan kebebasan sipil tetap terjaga, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan adalah langkah yang sangat penting.” Ungkapnya.
Organisasi masyarakat sipil, Safenet, punya catatan khusus untuk perbaikan institusi POLRI. Sejumlah rentetan kasus dalam tubuh polisi menjadi dasar hukum untuk mereformasi POLRI. Misalnya, pernah ada Sambo yang terbukti membuat perintah manipulasi pembunuhan. Ada juga kasus Kapolresta Semarang memanipulasi kasus pembunuhan yang tidak dengan bukti fakta yang ada.
Hafiz Nabiyyin Kadiv Kebebasan Berekspresi Safenet menyatakan reformasi POLRI bisa melalui revisi UU POLRI. Melalui prosedur itu, masyarakat bisa mengupas pasal yang berpotensi membuat polisi tidak humanis terhadap aksi demonstrasi.
“Menurut kami dari Safenet RUU Polri itu satu hal yang perlu mendapat dukungan. Kalau mengacu ke Undang-Undang Polri yang ada sekarang kita bisa melihat ada banyak sekali gap. Ini yang ngebuat polisi itu sekarang terasa sangat super power. Jadi kita inginya undang-undang Polri itu direvisi.”
Namun yang menjadi pertanyaan, apakah UU Polri adalah aspirasi masyarakat yang terwakilkan dalam draft RUU Polri yang terakhir. Jawabannya belum tentu karena RUU Polri yang baru memberikan mekanisme, pengawasan, dan juga akuntabilitas yang lebih ketat kepada polisi.
‘Justru RUU Polri yang baru itu memberikan perluasan kewenangan bagi kepolisian terutama di ruang siber maupun di tingkat penyidikan,” katanya.
Dalam draf RUU Polri, Hafiz menyoroti akibat yang akan terjadi. Contohnya; memperketat pengawasan polisi terhadap masyarakat sipil di ranah digital. Karena salah satu tempat bersuara yang minim intervensi adalah di ruang ranah digital. Di ruang digital, orang masih bisa membuat pendapat, opini, walau hal tersebut dipantau oleh Polisi Siber. Namun wewenangnya belum separah yang akan terjadi nanti jika RUU Polri final dan sah nanti.
Ia menegaskan Safenet hanya fokus advokasi di ruang siber. Sehingga di ruang siber akan ada banyak sekali pihak yang akan terdampak. Pertama, tentu saja kebebasan berekspresi warga. Ia beralasan, karena kalau mengacu ke draf RUU Polri ada pasal yang menyebut polisi punya kewenangan untuk melakukan pengawasan dan juga pembinaan di ruang siber.
“Ini tentu akan menimbulkan kekhawatiran di warga. Karena pada akhirnya warga akan merasa diawasi 24/7 oleh negara dalam hal ini diwakili oleh polisi gitu. Sudah mendapatkan pengawasan negara, lembaga polisi lagi gitu kan jadi sangat berbahaya,” katanya.
Penulis: Ahmad Khudori
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post