Trauma adalah sebuah masalah psikologis yang bisa dialami siapapun, baik dengan diri sendiri maupun, sesama dan lingkungan. Dikutip dari situs Hellosehat.com, trauma psikologis adalah kondisi yang terjadi sebagai akibat dari peristiwa buruk yang menimpa diri seseorang. Alhasil, kejadian yang tidak menyenangkan ini membuat orang yang mengalaminya merasa tidak aman dan tidak berdaya menghadapi dunia yang penuh bahaya.
Lebih lanjut, ciri jika Anda mengalami trauma, Anda mungkin akan tersiksa dengan emosi, ingatan, dan kecemasan yang mengingatkan kepada peristiwa tersebut. Situasi yang tidak menyenangkan ini bisa mengganggu kehidupan sehari-hari. Efek samping lainnya, Anda mungkin juga menjadi tidak bisa percaya lagi kepada orang lain.
Dalam sebuah kesempatan, Prohealth.id menjumpai laki-laki berinisial Y (29 tahun) membagikan pengalaman menghadapi trauma psikologis. Trauma ini bersumber dari lingkungan keluarga. Sejak kecil, Y kerap kali dibanding-bandingkan dengan kakaknya.
Puncaknya, ketika Y masih duduk di bangku SMP, dia nyaris diculik. Namun, menurut Y, orang tuanya tidak memberikan afeksi atas musibah yang dialami oleh Y. Perasaan yang tidak nyaman karena emosi dan ingatan sebagai anak yang diabaikan membuat Y kurang mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur terhadap keluarga. Kondisi ini pun memberikan implikasi lanjutan pada saat Y ingin meminta restu orang tua untuk menikah. Maklum saja, salah satu akibat dari trauma psikologis adalah mati rasa, hingga tak bisa merasakan apapun. Seseorang yang mengalami trauma psikologis juga rentan mengisolasi diri dan menjauhi semua orang.
Selama bertahun-tahun, Y tidak memperkenalkan pacar pada orang tua. Kondisi kesimpangsiuran ini membuat Y cenderung lebih lamban dalam mengambil keputusan.
Secara terpisah, seorang perempuan berinisial F (28 tahun), juga mengalami masalah trauma psikologis. Sebagai seorang perempuan, F tidak terlalu yakin dan tidak punya kepercayaan diri bahwa dia adalah sosok yang cantik dan menarik bagi lawan jenis. Kondisi ini terjadi karena trauma psikologi F yang pernah mengalami bullying pada saat duduk di sekolah dasar (SD). Akibatnya, sulit bagi F untuk mempercayai lawan jenis yang menjadi pacar atau yang tertarik kepada dirinya.
Menurut Nurma Dian Rahmawati, mewakili Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Kota Blitar, Jawa Timur, trauma penting untuk disembuhkan karena trauma sangat mempengaruhi cara berpikir dan perasaan seseorang. “Misal kita trauma pada masa kecil, pada pola asuh. Kita bisa berubah menjadi lebih baik, namun bisa juga malah begitu [lebih buruk] jadi dia bisa saja melakukan hal yang sama [buruk].”.
Contoh lain, kata Nurma, trauma yang dialami anak-anak dalam keluarga yang toksik. Hal ini akan berdampak ketika sang anak ingin menikah. “Dia [penyandang trauma] sebenarnya benci sama orang tua toksik, namun masuk ke alam bawah sadar, maka yang dia pilih [calon pasangan] bisa saja orang yang tidak dia sukai atau yang mirip dengan traumanya itu,” sambung Nurma.
Dia juga menambahkan, pada umumnya orang yang mengalamai trauma belum langsung sadar atas kondisi mereka. Rata-rata para penyintas trauma mengalami proses ‘denial’ tertentu.
“Anak kecil saja bisa mengalami trauma, misal, paling yang sederhana. Trauma makan pedas, karena ada pengalaman buruk dari rasa makanan,” ungkap Nurma.
Untuk bisa menyelesaikan problem trauma, Nurma menyebut pentingnya peran komunitas atau kawan yang bisa mendampingi penyintas. Peran kawan atau komunitas adalah sebagai support system dan juga pendamping bagi para penyandang trauma yang mengalami kekerasan lanjutan.
MENGENAL INNER CHILD
Trauma psikologis juga kerap disamakan dengan inner child. Menurut Psikolog dan Founder Analisa Personality Development Center (APDC), Analisa Widyaningrum, perilaku-perilaku mudah emosi, mudah iri hati, mudah jengkel, kerap diasosiasikan dengan istilah ‘inner child’. Dia menyebut inner child, adalah sisi kepribadian seseorang yang terbentuk dari masa kecil.
“Pada masa kecil usia 6-7 tahun, sedang berkembang pesat gelombang otak anak merespon sesuatu dengan cepat. Pada umur tersebut, anak sedang berada pada gelombang otak 4-7 teta. Ini membuat anak mampu mengingat dengan long-term memory,” tuturnya.
Dengan demikian, inner child ini bisa saja positif bisa saja negatif. Menurut Analisa, dengan mengenal inner child, maka Anda bisa berkembang menjadi pribadi yang tidak terlalu emosional, rapuh, dan sensitif.
“Apalagi di dunia media sosial, jika unggahan tertentu berkaitan dengan inner child kita, ya kita mudah tertarik. Bahkan jadi sulit memaafkan. Seolah kita susah berbahagia dengan kebahagiaan orang lain,” tutur Analisa. Oleh karena itu penting untuk bisa mengenali inner child.
Dia pun menyebut beberapa faktor pemicu masalah inner child antara lain; pola asuh orang tua, lingkungan, dan interaksi dalam hidup. Lebih lanjut, Analisa juga menerangkan ketidaksadaran terhadap inner child karena penyandang kerap melakukan pengabaian atas perasaannya di masa lalu. Alhasil kondisi ini membuat seseorang memiliki trauma yang tidak dibicarakan, atau unspoken trauma yang bisa juga disebut sebagai luka batin.
“Untuk melatih dan mengenal inner child, kita harus belajar berkomunikasi dengan diri kita sendiri. Kita belajar menerima good things and bad things di masa lalu, kita bisa merangkul rasa marah, sedih, dan kecewa dari masa lalu.”
Analisa menyatakan dengan belajar melakukan komunikasi dengan diri sendiri melalui metode mindfulness, dia meyakini tumpukan perasaan yang seperti ‘gunung es’ ini bisa teratasi.
“Ingat aja, tidak masalah untuk tidak baik-baik saja,” sambung Analisa.
Oleh karenanya, cara yang paling mudah bisa diawali dengan kebiasaan mindfulness, mulai berkomunikasi dengan diri sendiri dan mengucapkan, Assalamu’alaikum, Inner Childku.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post