Saat ini situasi kesehatan di Indonesia masih menantang. Beban stigma dan diskriminasi mengakibatkan potensi pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, isu kesehatan tidak bisa terpisah dengan aspek lainnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, tim jurnalis Prohealth berkunjung ke kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Senin, 25 Maret 2024 lalu.
Tim Prohealth kemudian bertemu Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Putu Elvina. Kami pun melakukan wawancara guna mencari tahu lebih dalam permasalahan kesehatan di Indonesia dalam kacamata hak asasi manusia (HAM). Berikut hasil wawancara tersebut:
Ada sejumlah permasalahan terkait kesehatan di Indonesia sehingga menempatkan negara ini di peringkat tinggi dunia. Misalkan TBC kedua tertinggi, peringkat lima diabetes, kusta urutan ketiga. Bagaimana penilaian Komnas HAM terkait hal ini?
Kalau kita bicara terkait kesehatan tentu ini merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Sobat Sehat Prohealth pasti setuju bahwa di badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Nah, motto ini seakan melandasi bahwa kesehatan yang paripurna, kesehatan yang optimal, layanan kesehatan yang layak, itu suatu hak yang tidak bisa ditawar-tawar.
Artinya hak atas kesehatan merupakan enzim penggerak dari berbagai tugas-tugas pembangunan, menjadi enzim penggerak bagi masyarakat untuk melakukan kehidupannya. Tentu saja modal sehat ini jauh lebih penting dan jauh lebih menguntungkan dibandingkan biaya yang harus negara keluarkan pada saat bicara tentang penyakit yang diderita oleh masyarakat.
Posisi yang mengkhawatirkan sebenarnya terkait angka-angka yang cukup tinggi baik itu kusta, diabetes, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan adanya perubahan dari penyakit-penyakit tertentu. Mungkin kita biasanya kenal paling demam dan lain sebagainya. Tetapi sejak pandemi kemarin, pasca COVID-19, ternyata banyak kemudian penyakit yang mendasari atau yang mengikutsertakan kondisi kesehatan masyarakat.
Apa usulan dan gebrakan yang sudah dilakukan Komnas HAM belajar dari pandemi kemarin?
Komnas HAM sebenarnya sudah memiliki semacam standar norma pengaturan pada saat COVID-19 kemarin. Kami menyusun hak atas kesehatan di mana di situ diatur tentang tanggungjawab negara setidaknya untuk melakukan upaya-upaya pemenuhan hak di bidang kesehatan.
Kami tahu hak asasi manusia dalam hak kesehatan itu merupakan hak yang penting. Peran negara untuk hal ini menjadi strategis untuk memastikan bagaimana bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia bisa kemudian mendapatkan bonus demografi.
Hal tersebut akan sulit pada saat beberapa masalah kesehatan yang tinggi itu menjadi penghalang. Bonus demografi tidak akan bisa kita dapatkan bila upaya konkrit yang dilakukan oleh negara ini tidak dilakukan.
Apa standar yang menjadi acuan Komnas HAM menjamin hak kesehatan warga negara?
Kami mengacu misalnya pada laporan Global Health Security Index di 2021. Dikatakan skor indeks keamanan kesehatan Indonesia itu posisinya di peringkat 13 di antara negara-negara G 20. Ya artinya ini masih tidak menguntungkan sebenarnya kalau kita ingin mencapai bonus demografis tersebut.
Nah tentu saja penilaian seperti ini kami harapkan sebagai lembaga negara independen yang konsern untuk terus mendorong negara guna memastikan kewajibannya dalam pemenuhan hak atas kesehatan itu bisa benar-benar dilakukan secara optimal.
Komnas HAM misalnya menilai bahwa tidak semua warga negara terutama warga miskin di kota atau di pedesaan bisa mendapatkan akses atas kesehatan dengan cara yang optimal.
Walaupun kita sudah mengatur terkait standar pelayanan minimal di bidang kesehatan tetapi tentu saja standar pelayanan minimal tersebut masih banyak celah atau ruang-ruang yang harus diperbaiki oleh negara.
Jadi artinya kita memang harus berjibaku ini jangan sampai indeks keamanan kesehatan global itu terus melorot. Itu yang diindeks di 2021. Saya belum dapat lagi laporan untuk 2023. Mudah-mudahan semakin baik.
Jadi teringat cerita salah seorang teman yang waktu itu pernah menjadi penyintas TBC. Sebagai mantan penyintas Tuberkulosis, dia itu mempunyai pengalaman kesulitan mencari pekerjaan.
Berarti ada sebuah kondisi di mana penderita penyakit Tuberkulosis atau AIDS, HIV, itu mendapatkan stigma tadi dan akhirnya efeknya jadi domino.
Nah bagaimana Komnas HAM menanggapi ketika ada kasus-kasus yang cukup banyak seperti orang tidak bisa mendapatkan akses pekerjaan?
Memang benar hak kesehatan itu tidak berdiri sendiri. Seseorang menjadi korban karena hak-haknya dalam masalah kesehatan tercederai. Baik itu untuk mendapatkan akses layanan kesehatan, mendapatkan obat, mendapatkan alat penunjang kesehatan dari penyakitnya, atau mendapatkan obat-obat tertentu. Misalnya tadi orang dengan HIV AIDS, orang dengan tuberkulosis, orang dengan kusta, orang dengan gangguan mental.
Pada tahap-tahap tertentu selain mereka kesulitan untuk mendapatkan akses kesehatan yang paripurna, hal lain yang kemudian menjadi faktor penghambat adalah adanya stigmatisasi yang mereka alami karena kondisi kesehatan mereka.
Nah, stigmatisasi atau diskriminasi kerap mereka alami sehingga tidak jarang kemudian kita melihat bahwa kasus-kasus orang dengan penyakit tertentu mendapatkan beban ganda akibat kesehatannya atau akibat penyakit yang mereka alami. Beban ganda tersebut berimplikasi kepada sulitnya mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Karena tadi dikatakan salah satu prasyarat untuk mendapatkan pekerjaan adalah kesehatan.
Sementara pada saat mereka menderita sakit dengan masa-masa tertentu dan di saat yang sama mereka adalah kepala keluarga maka akses mereka semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Nah. siapa yang kemudian bertanggung jawab pada saat kondisi masyarakat miskin yang memiliki kondisi tersebut?
Mereka akan memiliki kehilangan hak dalam beberapa bentuk. Hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak untuk mendapatkan program-program pemerintah, dan lain sebagainya. Tentu ini menjadi permasalahan yang harus segera kita atasi.
Apa saja jenis laporan pelanggaran hak manusia yang diterima Komnas HAM akibat masalah penyakit tersebut?
Komnas HAM dalam beberapa laporan mendapatkan laporan terkait stigmatisasi yang dialami orang dengan HIV AIDS, kasus-kasus pemasungan, kusta, atau karena kesehatan mental misalnya gangguan kesehatan mental.
Laporan-laporan tersebut menambah deretan bentuk-bentuk. Ada yang mengalami penyiksaan. Ada kemudian yang mengalami pembiaran. Bahkan orang dengan gangguan mental itu kami tahu bahwa mereka tidak mendapatkan layanan yang cukup baik itu dari keluarga karena keluarga sudah istilahnya membiarkan, tidak bisa membantu lebih banyak. Tetapi kemudian masyarakat juga tidak kalah. Kemudian ada beberapa yang melakukan stigmatisasi. Nah, dalam konteks seperti ini di mana pemerintah harusnya menjadi pelindung tetapi justru membiarkan dalam konteks tertentu.
Artinya laporan ini tidak ditindaklanjuti. Artinya tidak ada intervensi tertentu terkait bagaimana mereka bisa mendapatkan hak kesehatannya. Tidak ada intervensi tertentu bagaimana mereka tetap dapat bekerja karena itu adalah suatu penghasilan.
Apa yang dilakukan Komnas HAM menyadari kosongnya intervensi ini?
Nah, intervensi-intervensi inilah yang perlu kita dorong dari semua pihak. Karena kalau berbicara hak asasi manusia maka itu bagian dari tanggungjawab negara kepada masyarakatnya di bidang hak apapun itu. Makanya stigma diskriminasi itu harus kita upayakan untuk diminimalisir.
Kami paham bahwa pemahaman masyarakat yang melakukan stigma tersebut tidak bisa kita intervensi secara langsung. Butuh pengondisian, butuh edukasi. Bahkan edukasi secara sederhana bisa dilakukan di tingkat usia anak. Itu sebenarnya bisa dilakukan.
Seperti apa regulasi atau undang-undang menjamin pemenuhan hak kesehatan?
Nah, kalau kita bicara terkait hak atas kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan misalnya itu juga bicara tidak hanya kuratif, tidak hanya upaya untuk penyembuhan. Tetapi juga upaya pencegahan. Promosi yang dilakukan untuk pencegahan tersebut apakah sudah masif atau tidak? Promosi yang dilakukan oleh negara agar masyarakat tidak melakukan stigmatisasi atau diskriminasi terhadap orang dengan penyakit tertentu apakah sudah dilakukan atau tidak? Berapa banyak orang yang dipasung padahal negara memiliki target nol pemasungan? Sampai sejauh mana itu dilakukan?
Nah, kalau itu tidak diintervensi dengan tepat sasaran maka stigmatisasi itu akan terus berjalan. Artinya tanggungjawab kita bersama untuk mengedukasi masyarakat.
Tetapi sebelum kita mengedukasi masyarakat secara umum, kelompok rentannya juga harus diintervensi. Karena biasanya pada saat mereka mengalami stigma diskriminasi, ada keengganan mereka untuk melakukan pengobatan yang paripurna.
Mereka malas atau tidak mau berobat atau tidak semua penderita TB, HIV, AIDS, itu mau terus terang karena mereka merasa masyarakat belum siap menerima perbedaan yang mereka alami karena penyakitnya. Itu kemudian mengurungkan niat mereka untuk mendapatkan layanan kesehatan.
Tentu ini kalau dibiarkan tidak akan baik untuk upaya pemenuhan, memastikan bahwa para penyandang penyakit atau penderita atau korban yang menderita penyakit tertentu tersebut yang mengalami stigma itu bisa diobati. Artinya PR pemerintah itu semakin banyak. Tidak hanya kepada masyarakat untuk mengedukasi, tidak menstigma penderita dengan berbagai masalah kesehatan, tetapi juga upaya untuk melakukan pendampingan dan pemulihan kepada korban atau penderita penyakit tersebut yang mengalami stigma.
Seperti apa metode pendampingan untuk kelompok rentan?
Mereka butuh bantuan pendampingan agar mereka mau berobat. Tidak semua orang-orang dengan kriteria tersebut memiliki dan tahu ke mana mencari pendamping. Makanya untuk kasus-kasus tertentu, Komnas HAM bekerja sama dengan para pihak baik itu dari organisasi masyarakat untuk melakukan pendampingan bagi korban yang mengalami penderitaan atau mengalami penyakit tertentu dalam kesehatan atau isu kesehatan agar mereka dapat pendampingan.
Pendampingan tersebut bisa beragam. Pendampingan untuk ke layanan kesehatan, pendampingan untuk mendapatkan akses obat, dan lain sebagainya sehingga mereka yang sudah menderita dengan penyakit tertentu tersebut tidak terus-menerus menjadi beban. Baik itu di keluarga mereka maupun di masyarakat. Nah, kalau mereka sembuh maka ini mengindikasikan bahwa upaya kita untuk kuratif itu berjalan optimal. ‘Kan begitu ya?
Nah, ini PR sebenarnya bagaimana stigma dan diskriminasi yang masih terus dialami di dalam isu kesehatan sehingga saya pikir Komnas HAM merasa sangat perlu mendorong kembali para pemangku kebijakan sesuai dengan tugas fungsi masing-masing untuk melakukan hal tersebut. Promosi kesehatan, pencegahan, dan upaya kuratif plus pendampingan bagi korban yang terstigma ataupun masyarakat penyandang masalah kesehatan lainnya.
Terkait stigma, diskriminasi. Intervensi yang sukses dijalankan itu di kelompok mana saja?
Komnas HAM saat ini belum berani untuk mengatakan seberapa luas intervensi itu berhasil dilakukan.
Tetapi saya yakin beberapa kementerian terkait mendorong beberapa penyakit terutama penyakit yang masuk SPM, Standar Pelayanan Minimal. Itu kalau ada SPM-nya pasti lebih mudah. Artinya programnya ada, anggarannya ada. Tetapi banyak juga penyakit yang belum tentu masuk dalam Standar Pelayanan Minimal tadi.
Nah, kalau belum tercover atau tidak menjadi daftar dalam SPM tersebut tentu mereka akan semakin terdiskriminasi baik dari aspek program maupun anggaran. ‘Kan begitu ya? Karena dianggap bukan dalam kelompok SPM tadi. Jadi ini tentu menjadi PR baru ke mana mereka harus mendapatkan bantuan.
Selain pengaduan apa lagi upaya Komnas HAM membumikan hak asasi manusia untuk menjamin kesehatan?
Komnas HAM selain menerima pengaduan masyarakat, kami juga melakukan penyebarluasan wawasan HAM. Misalnya kepada masyarakat lewat pelatihan-pelatihan. Kerjasama dengan beberapa masyarakat sipil, misalnya kami melakukan pelatihan bagi kelompok-kelompok rentan, kelompok-kelompok kunci. Tidak hanya pemerintah daerahnya atau pemerintah yang memiliki kewajiban untuk menjalankan program tersebut, termasuk kepada kelompok rentan tadi.
Artinya pelatihan ini walaupun cakupannya belum luas karena memang keterbatasan anggaran pasti itu menjadi isu dibandingkan luasnya wilayah Indonesia. Tetapi setidaknya itu yang kami lakukan.
Bagi kami itu adalah praktek baik sebenarnya untuk membantu mereka. Kalau misalnya mereka mendapatkan laporan atau dugaan terkait stigmatisasi, diskriminasi, mereka bisa melapor ke Komnas HAM. Komnas HAM dapat merujuk kepada lembaga pemerintah terkait.
Kami juga bisa menyelesaikan setidaknya beberapa atau menguatkan kalau memang ada upaya hukum yang akan mereka tempuh. Karena kalau kita bicara hukum maka itu pasti bicara tentang persetujuan korban untuk menjalani proses tersebut. Karena tidak semua korban mau menjalani proses hukum bila mereka mengalami stigma tadi.
Tentu Komnas HAM bekerja sama dengan para pihak. Baik untuk penyadaran masyarakat, pelatihan, sampai kemudian menerima pengaduan tersebut.
Saya yakin kalau pemerintah juga melakukan hal yang sama maka secara umum ini seharusnya bisa terselesaikan. Tetapi memang kami belum mendapat laporan spesifik misalnya dari Kementerian Kesehatan, dari Dinas Kesehatan di tingkat Provinsi, Kabupaten, Kota, terkait laporan spesifik tentang stigma-stigma tersebut.
Nah, itu yang saya pikir harus menjadi intervensi untuk melakukan upaya pencegahan, penyadaran kepada masyarakat, edukasi kepada masyarakat agar bersikap sesuai dengan hukum-hukum hak asasi manusia. Yaitu kesetaraan, non diskriminasi, akses terhadap keadilan, dan lain sebagainya.
Kebetulan banget ‘kan bulan Maret tanggal dua puluhan itu hari Tuberkulosis. Kita lagi momen hari Tuberkulosis sebenarnya. Nah tadi ibu juga sudah menyinggung tentang pentingnya pendampingan sebagai bentuk bagian dari proses kuratif terhadap pasien tersebut.
Kalau lihat dari datanya Kementerian Kesehatan per 2023 itu Tuberkulosis masih nomor dua tertinggi. Menurut Direktur Pencegahan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi itu mengatakan peningkatan penemuan Tuberkulosis pada 2023 itu sampai 77 persen. Ini menandakan sebenarnya ada sinyal positif bahwa masyarakat itu mau melapor.
Yang ingin saya tanyakan, pada akhirnya dengan angka pasien yang meningkat ini, apa saja sih kebutuhan yang perlu dipersiapkan terkait tenaga pendamping tersebut? Karena proses stigmatisasi itu masih cukup rentan dialami terutama di ruang-ruang publik.
Lalu kriteria pendamping itu seperti apa? Apakah dia juga perlu memilih kapasitas untuk bisa membantu dalam hal-hal bantuan hukum? Atau ada mekanisme lainnya yang diperlukan supaya pasien tersebut bisa mengakses hak-hak hukum ketika dia mengalami pelanggaran hukum akibat penyakit yang dideritanya?
Baik kalau kita melihat angka TB yang meningkat dari laporan oleh Kementerian Kesehatan di peringkat dua dunia ini menunjukkan dua hal. Satu kemampuan untuk melakukan penjangkauan mendata orang-orang dengan TB itu mungkin berhasil.
Tetapi masalah kedua muncul. Artinya, upaya pencegahan terkait kasus TB belum optimal padahal ini kasus penyakit menular. Nah, apa kemudian negara atau pemerintah sudah melakukan upaya pencegahan yang optimal untuk memutus penularan TB tersebut?
Kalau kita melihat angka berarti belum optimal memutus mata rantai penderita TB tersebut. Ini menunjukkan angka-angka yang terus naik tadi sehingga kalau kita bicara promosi mungkin masih belum kelihatan promosinya. ‘Kan promosi itu bicara tentang bagaimana negara menggaungkan.
Pemerintah menggaungkan misalnya bahaya penyakit TB. Upaya-upaya kesehatan untuk mencegah TB itu di promosi. Pentingnya kemudian tidak melakukan stigma terhadap orang dengan TB.
Yang kedua adalah di area kuratif. Kalau kita bicara area kuratif maka itu bicara tentang akses pasien terhadap obat, akses pasien atau penderita TB terhadap layanan kesehatan, akses pasien atau penderita TB juga untuk pendampingan. Karena tadi di awal saya katakan beberapa penderita penyakit termasuk TB, HIV, AIDS tidak serta merta terbuka terkait penyakitnya. Pada saat dia tidak terbuka maka sulit bantuan itu datang. Kecuali negara mengecek satu per satu penduduknya. Artinya kemudian dilakukan jangkauan oleh tenaga kesehatan di tingkat Kota, Kabupaten.
Harusnya itu seperti COVID-19 kemarin, ‘kan dilakukan pengecekan-pengecekan secara berantai. Harusnya praktik dan mekanisme penjangkauan yang sama seperti kasus COVID-19 itu juga dilakukan di kasus TB.
Kalau kita misal berasumsi satu keluarga pernah kena virus COVID-19 misalnya, dalam kondisi kasus Tuberkulosis artinya kalau ada satu keluarga dalam penjangkauan tenaga tenaga kesehatan tersebut, ada temuan seperti itu, maka bisa diasumsikan keluarga-keluarga lain mungkin saja mengidap penyakit yang sama.
Itu baru yang satu keluarga yang tahu yang kita ketahui. Bagaimana keluarga yang lain yang tidak terbuka? Karena itu pendampingan-pendampingan perlu diperbanyak.
Pendampingan baik itu di bidang jangkauan kalau kita lihat ‘kan bisa melalui Puskesmas terdekat, layanan kesehatan terdekat, RT RW terdekat.
Di situ saja penjangkauan bisa dilakukan di saat yang sama. Selain penjangkauan, ada pendampingan agar orang-orang yang malu untuk mengungkap penyakitnya tadi bisa mengungkapkan. Mereka mendampingi karena ‘kan beberapa penderita atau pasien atau masyarakat itu enggan. Enggan karena mereka tidak tahu ke mana melapor atau mendapatkan layanan atau karena mereka takut, khawatir, penyakit mereka pada saat terekspos ke masyarakat maka mereka dikucilkan.
Dua hal itulah yang membutuhkan pendampingan agar mereka kuat untuk mengupayakan hak-hak mereka. Mereka mendapatkan sistem pendukung untuk menopang ke mana mereka dapat mengakses layanan-layanan tersebut. Termasuk program-program untuk upaya kuratif yang mereka perlu dapatkan.
Seperti apa kriteria pendamping ideal untuk menemani pasien selama proses pengobatan?
Nah, saya pikir kalau bicara tentang pendamping maka pendamping tersebut harus paham. Setidaknya memiliki kapasitas tentang penyakit yang akan menjadi area pendampingan mereka.
Mereka memiliki kemampuan untuk komunikasi personal. Karena ‘kan tidak mudah ya untuk menggugah pasien dengan TB untuk bercerita, untuk mau ke fasilitas kesehatan. Jadi selain kemampuan dalam konteks penyakit TB tersebut, mereka kemampuan untuk komunikasi juga menjadi penting.
Selain itu kapasitas mereka penting untuk mendapatkan atau mengidentifikasi layanan kesehatan mana yang terdekat sehingga mereka mudah nanti untuk follow up kepada keluarga-keluarga atau penderita-penderita tersebut. Karena pendampingan itu ‘kan tidak 24 jam. Tetapi pada saat dasar-dasar pendampingan sudah diberikan kepada penderita atau pasien, berikutnya akan lebih mudah.
Tentu saja mereka harus bisa bekerja sama dengan layanan kesehatan. Misalnya pendamping yang ditunjuk untuk satu RT yang ada penderita TB-nya, mereka melakukan itu. Mereka tahu kapasitas bagaimana generik penyakit TB tersebut. Bagaimana membangun komunikasi baik itu kepada penderita, kepada keluarga, kepada masyarakat yang sekitar yang terdampak? Itu ‘kan harus dikondisikan.
Bagaimana mencari tahu terkait layanan-layanan kesehatan atas penyakit mereka? Bagaimana membangun kerjasama antara layanan tersebut? Nanti pada saat sudah terbangun sistem tersebut maka lebih mudah bagi tenaga kesehatan untuk mengunjungi, untuk melakukan pemantauan, untuk melakukan kontrol, dan lain sebagainya.
Pada saat mereka tahu, oh di kelurahan ini ada sekian penderita TB, sehingga saya bisa mengintervensi dari A sampai Z misalnya untuk kasus-kasus seperti itu.
Jadi pendampingan itu memang memiliki peran yang sangat signifikan untuk untuk kasus-kasus yang memiliki permasalahan terkait stigma, terkait keterbukaan, terkait rasa malu, dan lain sebagainya.
Berarti dapat disimpulkan pendamping itu tidak mesti tenaga kesehatan?
Iya. Karena memang kita memiliki kekurangan untuk tenaga kesehatan. Untuk menjalankan tugas fungsi pokok saja berdasarkan Undang-Undang Kesehatan, kita masih kekurangan.
Jadi tenaga pendamping ini bisa dari masyarakat. Diutamakan adalah masyarakat yang sekitar korban atau pasien sehingga mereka lebih tahu bagaimana kultur di masyarakat.
Nah, ini bisa juga diciptakan. Pendamping ini diciptakan atau dilahirkan melalui edukasi atau program-program edukasi oleh pemerintah maupun masyarakat yang peduli untuk isu ini.
Mereka bisa melihat, memetakan, ini daerah yang tinggi TB-nya di mana maka di situlah mereka harus membangun jaringan pendamping. Ada tidak? Kalau tidak ada mereka harus ciptakan, mereka latih masyarakat sekitar itu untuk menjadi pendamping.
Kalau bicara pelatihan bagi pendamping tentu bicara tentang awalnya penyadaran dan edukasi sampai tahap bagaimana mereka dikapasitasi dengan kemampuan-kemampuan untuk menjadi pendamping. Kalau masyarakat sekitar sudah ada yang menjadi pendamping bagi kasus TB, ini akan semakin mudah proses penyembuhan TB tersebut.
Terkait soal pendamping itu. Untuk mereka dengan HIV, kusta, itu ada ruang-ruang yang tidak ramah terhadap mereka. Bagaimana menghadapi hambatan dan tantangan yang masih terjadi ini. Lalu apa mereka minta bantuan kepada pendamping tadi atau perlu ada upaya hukum yang lain?
Ruang stigma dan diskriminasi itu terjadi karena masalah penyakit yang mereka derita. Nah, pendamping ini bisa kemudian melakukan tugas-tugas sesuai kondisi pasien tersebut.
Kita bicara pendamping yang sudah ada atau pasien mencari atau melaporkan kasusnya karena stigma, karena diskriminasi. Misalnya Komnas HAM saja. Kami melakukan pelatihan bersama tersebut salah satunya untuk pendamping. Hal ini agar pada saat mereka dekat dengan pasien-pasien Tuberkulosis atau HIV, AIDS yang mendapatkan laporan atas stigma tersebut maka mereka tahu ke mana akan melapor. Mencari bantuan. Bantuan seperti apa.
Nah, pendamping inilah yang kami harapkan menjadi garda terdepan sebenarnya. Karena tidak semua penderita mau melaporkan kasusnya. Melaporkan kasus secara umum saja belum tentu apalagi proses hukum.
Nanti kalau pendamping itu sudah ada kemudian bisa mengondisikan keinginan para penderita yang menjadi korban tersebut. Apa yang mereka butuhkan adalah layanan kesehatannya atau kemudian proses hukum dalam upaya menegakkan keadilan bagi tindakan diskriminatif atau stigma yang mereka derita?
Dalam beberapa kasus kami merasa penting pendamping itu karena tadi mereka belum tentu mau melapor sendiri. Sedikit sekali yang memiliki keberanian dan pemahaman bahwa itu bisa menjadi laporan kepada aparat penegak hukum. Karena ketidaktahuan dan lain sebagainya. Nah pendamping di sinilah berfungsi untuk mengarahkan.
Kalau kemudian penderita atau yang jadi korban itu ingin melaporkan secara hukum, bisa melaporkan. Tetapi ruang-ruang ini belum optimal saat ini karena perspektif pasien yang menjadi korban itu belum semuanya memiliki keberanian untuk itu. Jadi tergantung pendampingnya ini untuk kasus-kasus seperti itu apa mereka mau menindaklanjuti ke proses hukum atau tidak?
Karena pada saat mereka melaporkan ini ke dalam proses hukum maka mekanisme pelaporan itu ‘kan berproses ya? Mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai kemudian pengadilan terkait ancaman yang mereka alami karena stigma atau diskriminasi atau ancaman kekerasan lainnya. Itu butuh proses panjang sehingga memastikan para pasien yang menjadi korban diskriminasi atau stigma tersebut atau perlakuan kekerasan tersebut harus didorong dan diberi semangat untuk terus-menerus ikut dalam proses hukum tersebut.
Nah, ini yang menjadi tantangan sebenarnya untuk melakukan hal tersebut. Apalagi kita tahu Masyarakat itu belum teredukasi dengan baik terkait tidak boleh menstigma, tidak boleh melakukan kekerasan, dan lain sebagainya. Itu bukan menjadi praktek yang zero tolerance di masyarakat. Karena masih banyak masyarakat melakukan itu. Artinya praktik-praktik kekerasan itu dianggap sebagai jalan paling cepat untuk penyelesaian masalah di masyarakat. Kira-kira masih seperti itu. Ini yang kemudian harus kita antisipasi.
Tadi ada highlight penting dari banyak kasus terutama berkaca pada kasus penyakit menular tentang lemahnya proses pencegahan, preventif.
Saya jadi teringat tahun lalu itu sempat ramai kelompok rentan bersuara dalam proses omnibus law Undang-Undang Kesehatan dan akhirnya ‘kan sudah sah juga.
Yang menjadi keresahan berikutnya adalah pasca Undang-Undang itu perlu ada RPP Kesehatan.
Sejauh pengamatan, RPP kesehatan itu berlangsung lama juga prosesnya.
Dalam hal ini bagaimana penilaian Komnas HAM atau kondisi yang dicemaskan nanti kalau ada yang dirugikan ketika turunan undang-undang itu tidak sesuai untuk mengakomodasi kelompok-kelompok rentan?
Berkaitan dengan pendidikan dan penyuluhan, pasti paham sekali masalah-masalah tentang kenaikan kasus penyakit pada anak akibat merokok sejak dini. Baik itu dalam bentuk rokok konvensional atau rokok elektronik.
Bagaimana dengan hal tersebut karena undang-undangnya pun prosesnya sudah heboh begitu tetapi RPP-nya juga belum keluar?
Iya. Memang ketiadaan RPP ini menjadi tidak optimalnya pelaksanaan di tataran teknis. Karena peraturan pemerintah itu, rancangan peraturan pemerintah itu, kalau kita bicara undang-undang turunannya RPP.
Peraturan pemerintah itu nantinya akan menjadi acuan bagaimana menangani. Misalnya kita lihat di Omnibus Law, RPP saja yang terkait spesifik dengan hak atas kesehatan.
Nah, pada saat RPP tidak ada maka kementerian terkait itu ‘kan agak gamang untuk menjalankan undang-undang secara langsung. Aturan teknisnya bagaimana? Peraturan pemerintah terkait misalnya pengaturan, pembatasan akses layanan kesehatan bagi penyakit-penyakit tertentu.
Nah, pengaturan yang lebih teknis itu melalui peraturan pemerintah maupun melalui peraturan menteri. Kalau tidak ada maka pelaksanaannya akan tidak seragam.
RPP atau peraturan pemerintah itu menjelaskan kementerian mana yang memiliki tugas dan tanggung-jawab untuk isu tertentu. Kalau kita bicara pencegahan, kementerian mana saja yang memiliki tanggungjawab untuk melakukan pencegahan? Kementerian mana yang memiliki tanggung-jawab untuk kuratif dan lain sebagainya? Bila ada misalnya terkait proses hukum, kementerian mana yang harus kemudian turun untuk dalam penyelesaiannya?
Nah, itu diatur dalam peraturan pemerintah sehingga peraturan pemerintah itu mengatur di mana program itu ditempatkan. Siapa yang menjalankan program dan anggarannya harus tersedia di situ.
Untuk menjawab Undang-Undang makanya secara teknis kalau belum ada RPP, belum ada turunan RPP, Peraturan Menteri maka ini kita anggap para pelaku atau penyelenggara hak atas kesehatan bisa saja lempar-lemparan.
Ini bukan wilayah saya. Ini bukan tanggungjawab saya. Karena tidak ada yang mengatur secara spesifik untuk bidang-bidang tertentu dalam menjalankan mandat undang-undang tersebut. Begitu kira-kira.
Berarti teknisnya yang tadi justru bisa mencederai proses atau niat preventif karena saling lempar kewenangan?
Betul. Saling lempar tanggungjawab dan kewenangan misalnya.
Oke. Jadi paham urgensinya kalau tidak ada RPP. Mestinya ‘kan aturannya satu tahun setelahnya?
Harusnya.
Kalau misalkan itu lewat bagaimana? Karena kita ‘kan lagi dalam suasana politik. Itu kira-kira seperti apa?
Ya memang fokus. ‘Kan ini sudah diundangkan. Artinya tanggungjawab negara, dalam hal ini legislator, itu sudah selesai. Tinggal kemudian tanggungjawab pemerintah atau eksekutif untuk melahirkan PP tersebut. Nah sekarang kita tunggu keseriusannya.
Karena nanti khawatirnya tanpa peraturan pemerintah yang jelas ya tadi bisa jadi tumpeng tindih. Bisa jadi saling lempar tanggungjawab dan lain sebagainya.
Apa ada saran dan pesan dari Komnas HAM terkait situasi kesehatan di Indonesia hari ini?
Iya. Kalau kita bicara hak atas kesehatan itu merupakan pencerminan Pasal 25 Deklarasi Universitas dari Hak Asasi Manusia. Hak kesehatan itu juga diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Diatur juga dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia.
Kalau kemudian kita melihat angka-angka yang menempatkan posisi Indonesia memiliki kriteria yang tidak cukup membahagiakan atau angka atau skor yang tidak membahagiakan dalam kasus penyakit-penyakit tertentu, ini menunjukkan negara harus berbenah.
Apa sudah ada skema jaminan kesehatan nasional yang mumpuni? Artinya kalau bicara mumpuni maka itu harus komprehensif. Mulai dari pendataan terhadap masyarakat yang berhak atas jaminan kesehatan. Artinya no one left behind.
Nah yang terjadi pada banyak kasus di mana secara administratif mereka tidak memiliki jaminan kesehatan karena tidak punya KTP, KTP hilang, KK hilang. Mereka akhirnya luput dari pencatatan orang-orang yang berhak atas jaminan kesehatan tersebut. Nah itu komprehensif dalam sistem jaminan kesehatan.
Yang kedua komprehensif dalam proses layanan. Kalau sudah ada Standar Pelayanan Minimal yang ditetapkan maka itu kemudian harus menjadi tolak ukur guna memberikan layanan tersebut. Penyediaan akses-akses layanan kesehatan harus ada mulai dari level pemerintahan yang paling rendah. ‘Kan begitu?
Rujukan-rujukan itu juga harus juga tepat sasaran. Misalnya penderita dengan Tuberkulosis tidak harus kemudian menyeberang kampung, menyeberang desa, atau pindah kecamatan untuk mendapatkan layanan kesehatan karena aksesnya jauh.
Kemudian hadirnya mekanisme pembiayaan yang juga komprehensif. Kalau di beberapa negara maju itu hak kesehatan sudah gratis tanpa dilihat lagi KTP, status miskin atau kaya. Hal-hal seperti itu, layanan tanpa diskriminatif perlu dilakukan oleh negara.
Selanjutnya adalah memastikan bahwa program-program pemerintahan untuk kesehatan itu dilakukan dengan transparansi, dengan keadilan, kesetaraan, dan non diskriminatif. Prinsip itu tidak bisa ditawar. Karena kalau itu ditawar maka akan mencederai atau memunculkan pelanggaran HAM yang baru.
Jadi ini pesan yang menjadi perlu menjadi perhatian. Yaitu program jaminan kesehatan nasional yang komprehensif, akses terhadap pelayanan kesehatan yang optimal, hadirnya pendamping perlu juga. Lalu kemudian berlakunya prinsip-prinsip kesetaraan, non diskriminasi, serta upaya penegakan hukum bila terjadi pelanggaran.
Tentu saja upaya penegakan hukum tersebut tidak lepas dari peran masing-masing pihak untuk serius dalam upaya pencegahan dan agar terjadi efek jera untuk kasus-kasus serupa tidak terulang kembali.
Pendampingan itu perlu bagi para pasien yang menjadi korban sehingga mereka mendapatkan kesempatan kembali hak atas kesehatan, hak atas hidup yang layak, hak atas pekerjaan yang layak, sehingga ini tidak menjadi beban ganda bagi negara karena ketidakhadiran hak asasi manusia bagi para penyandang atau penderita penyakit-penyakit tertentu.
Pewawancara: Ignatius Dwiana & Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post