Dalam konferensi pers awal Agustus 2023, Komnas Pengendalian Tembakau meluncurkan hasil diseminasi alias hasil survei nasional persepsi publik terhadap calon presiden terkait isu kesehatan.
Seperti yang diketahui, saat ini, tiga nama bakal calon Presiden yang sudah dideklarasikan para partai politik pendukung adalah Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan.
Program Manager Komnas Pengendalian Tembakau, Nina Samidi menyatakan bahwa hasil survei ini menunjukkan bahwa bakal capres dan cawapres yang mulai mencuat di media massa, seharusnya mulai memberikan perhatian pada masalah kesehatan, karena pemilih akan memilih capres yang memiliki perhatian pada masalah kesehatan termasuk pengendalian konsumsi rokok yang dianggap pemilih adalah salah satu masalah Indonesia yang sudah mengkhawatirkan.
“Pemahaman pemimpin negara tentang pentingnya kesehatan menjadi hal yang sangat mendasar dan menjadi salah satu yang harus menjadi faktor dipilihnya seorang pemimpin negara,” ujar Nina Samidi.
Di Indonesia sendiri, belum ada pemimpin negara yang benar-benar menjadikan kesehatan sebagai salah satu fokus cita-cita politiknya karena isu ini bukan isu yang populer dan mampu menaikkan elektabilitasnya.
Dalam pidato Presiden Jokowi yang meminta jajarannya untuk melakukan reformasi fundamental di sektor kesehatan pada pidato kenegaraan Jumat (14/8/2020) sampai saat ini pun belum terasa dampaknya, karena reformasi yang diharapkan ternyata lebih fokus pada pembangunan infrastruktur fisik untuk mendukung kesehatan seperti pembangunan fasilitas kesehatan dan penambahan tenaga kesehatan.
Begitu pula dengan lahirnya UU Kesehatan omnibus law yang baru disahkan, menurut Nina Samidi, produk hukum tersebut dipandang masih belum bisa menjadi pedoman reformasi kesehatan yang diharapkan dan terlalu berpihak pada private sector, bukan pada kesehatan masyarakat. Adapun hasil riset penelitian ini menggali bagaimana pendapat publik tentang perhatian para bakal calon presiden akan masalah kesehatan.
Survei ini diambil dari 800 orang sampel yang mewakili penduduk Indonesia yang memiliki hak pilih. Penggunaan stratified random sampling menghasilkan data survei dengan sampling error 3,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Dr. Eriyanto dan Dr. Hendriyani, tim peneliti dari FISIP Universitas Indonesia (UI) menjelaskan, hasil survei menunjukkan bahwa isu kesehatan, termasuk soal rokok, belum diangkat oleh para bakal calon presiden. Padahal, di mata publik ini isu yang dianggap penting. Mayoritas publik menilai bahwa konsumsi rokok menjadi masalah yang mengkhawatirkan.
Sebagian besar publik menyatakan ingin memilih calon presiden yang mempunyai kebijakan untuk mengurangi konsumsi rokok. Ini menjadi kesempatan bagi bakal calon presiden untuk lebih banyak mendiskusikan isu kesehatan dan pengendalian konsumsi rokok dalam debat publik.
Menurut Dr. Hendriyani, media harus lebih banyak menggali pendapat dan posisi calon presiden pada masalah kesehatan dan isu pengendalian jumlah konsumsi rokok, supaya publik mendapatkan gambaran yang jelas mengenai bagaimana posisi dan solusi program masing-masing calon.
“Ini akan menjadi bahan pertimbangan penting pemilih dalam menentukan pilihan,” tambah Dr. Hendriyani. Namun sayangnya masih jarang sekali calon presiden yang berkenan menanggapi isu pengendalian tembakau.
Pakar komunikasi politik dari UGM, Nyarwi Ahmad, mengatakan, sektor industri tembakau yang sangat besar tidak hanya berkontribusi melalui cukai, namun juga berpotensi menjadi sumber dana kampanye baik secara terbuka maupun tertutup, resmi maupun tidak resmi.
“Di beberapa negara hal ini sudah sangat transparan, di mana masyarakat bisa melihat calon mana saja yang mendapatkan aliran dana dari industri dan berapa persen yang mereka terima, yang pada akhirnya dapat dikaitkan dengan sikap mereka pada pengendalian tembakau. Namun hal ini yang belum terlihat di Indonesia.”
Pandemi Covid-19 memberi pelajaran yang berharga bagi negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, mengenai betapa pentingnya kesehatan. Ketahanan kesehatan nasional adalah hal yang fundamental ketika pandemi menghantam sebuah negara. Seberapa kuat sistem kesehatan di negara tersebut pun menjadi faktor bagaimana penanganan pandemi bisa diatasi dengan cepat dan meminimalisir jatuhnya korban serta dampak turunan yang diakibatkan, termasuk dari sisi ekonomi.
Ketua harian Yayasan Lembaga Konsumen bapak Tulus Abadi berpendapat, bahwa para presiden, termasuk para capres terdahulu sejatinya sangat concern dengan masalah kesehatan. Namun sangat sulit untuk mengulik concern mereka terkait pengendalian tembakau. Mereka justru menghindar, yang diduga karena pundi-pundi dari industri (mengalir) banyak sekali, namun membongkar endorsement, dana, ataupun kampanye juga sulit.
“Hal yang terpenting adalah bagaimana masyarakat bisa mengulik apakah capres ini memperhatikan aspek promotif dan preventif di bidang kesehata, yang sangat fundamental dan seharusnya diutamakan bagi kesehatan masyarakat, bukan hanya aspek kuratif,” katanya.
Nyarwi Ahmad menambahkan bahwa regulasi pengendalian tembakau sangat kompleks dan capres-cawapres seharusnya memberikan tawaran solusi dari hulu ke hilir, yang melihat industri tembakau tidak hanya dari potensi ekonominya saja, namun juga masalah kesehatan publik.
“Kita perlu melihat orientasi kebijakan pemerintah yang akan dipimpin capres-cawapres sekarang, apakah ke arah perspektif ekonomi atau kesehatan publik, termasuk potensi mereka memperoleh donasi dari industri,” ungkap Nyarwi.
Dengan adanya survei ini, diharapkan isu kesehatan dapat inklusif ke dalam diskursus politik di masa mendekati pemilu, sehingga isu kesehatan, termasuk pengendalian konsumsi rokok dapat menjadi perhatian capres-cawapres yang akan ‘bertarung’ dalam pemilu yang akan datang, serta mendorong publik agar semakin bijak dalam memilih capres-cawapres yang benar-benar memiliki kebijakan nyata untuk kesehatan dan pengendalian konsumsi rokok.
Discussion about this post