Denpasar, Prohealth.id – Selain ancaman yang terlihat seperti sampah yang menyumbat aliran air, ada banyak ancaman kesehatan yang tidak kasat mata tetapi luput dari perhatian. Misalnya saja pencemaran udara akibat asap rokok.
Paparan asap rokok sering dianggap sepele, padahal berkontribusi besar terhadap memburuknya kualitas lingkungan di ruang publik. Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) bersama Kolaborasi Bumi mengadakan diskusi publik bertajuk “Survei Kualitas Udara di Kawasan Tanpa Rokok: Ulasan Singkat Denpasar dan Gianyar”.
Gubernur Bali, I Wayan Koster selaku Gubernur Bali, diwakili oleh Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah, Provinsi Bali, Dr. Drh. Luh Ayu Aryani, M.P. Ia menegaskan bahwa Bali harus menjadi destinasi wisata dunia yang bukan hanya indah dan berbudaya, tetapi juga sehat.
Sejak 2011, Bali memiliki Perda Kawasan Tanpa Rokok. Aturan ini hadir untuk melindungi masyarakat, terutama anak-anak dan lansia, dari paparan asap rokok. Telah terbukti asap rokok meningkatkan risiko kanker paru, penyakit jantung, serta berbagai gangguan pernapasan.
“Implementasi perda ini juga sejalan dengan upaya menjaga generasi muda agar tidak menjadi perokok pemula. Termasuk dengan pengaturan ketat terhadap rokok elektronik di ruang publik,” ujarnya, Jumat (19/9/2025).
Ia menambahkan bahwa komitmen bersama menjadi kunci. Ia menyebut, keberhasilan KTR tidak boleh berhenti di atas kertas, melainkan harus ditegakkan melalui pengawasan dan konsistensi. Saat ini lebih dari 120 puskesmas di Bali telah menyediakan layanan berhenti merokok, tetapi tantangan terbesar adalah membangun kepatuhan bersama.
“Sebisa mungkin, implementasi KTR harus dijalankan lintas sektor, baik dari pendidikan, kesehatan, hingga pariwisata agar Bali benar-benar menjadi destinasi yang sehat, bersih, dan berbudaya,” lanjutnya.
Survei dari IYCTC menggunakan metode pemantauan kualitas udara selama tujuh hari penuh pada Juni-Juli 2025 di sembilan titik Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Misalnya; sekolah, perkantoran, rumah sakit, restoran, hotel. Hasilnya menunjukkan bahwa dari sembilan titik pemantauan, dua lokasi yang masuk kategori “baik”. Sementara tujuh lainnya berada di level “moderat” dengan lonjakan signifikan pada jam-jam tertentu. Hal ini terutama di restoran dan area publik semi-tertutup meski aturan KTR berlaku.
“Asap rokok terbukti meningkatkan konsentrasi PM2.5 hingga level beracun. Bahkan pada kadar rendah sekalipun, paparan asap rokok dapat meningkatkan risiko kanker paru-paru, penyakit jantung, hingga gangguan pernapasan,” kata Ni Made Shellasih, Program Manager IYCTC.
Kasus di sekolah menunjukkan lonjakan drastis akibat pekerja konstruksi yang merokok, sementara rumah sakit justru menunjukkan hasil baik karena aturan bebas rokok ditegakkan secara ketat. Artinya, kata Shella, keberhasilan KTR ditentukan oleh konsistensi pengawasan dan kepatuhan di lapangan.
Menanggapi temuan survei tersebut, Dr. Made Kerta Duana, SKM, MPH, Udayana CENTRAL menekankan pentingnya data ini sebagai bukti untuk kebijakan publik. Ia menjelaskan, kebijakan pengendalian rokok di Bali sudah cukup lama ada, tetapi survei ini memberi bukti konkret bagaimana implementasi KTR memengaruhi kualitas udara dalam ruang.
“Hasil ini bisa menjadi bahan evaluasi pemerintah sekaligus bahan advokasi untuk memastikan kebijakan tidak parsial,” ujarnya.
Tantangan berikutnya adalah rokok elektronik, yang perlu riset lebih lanjut agar tidak mencemari udara dengan wajah baru. Menruut Made, hal ini sekaligus menguatkan bahwa pariwisata berkelanjutan tidak mungkin tercapai tanpa udara yang sehat.
Dari perspektif pemerintah daerah, dr. I Gusti Ayu Raka Susanti, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan Provinsi Bali menegaskan kesehatan adalah lini terdepan pembangunan.
“Kami di Dinkes sudah melakukan monitoring, membentuk tim evaluasi, dan memastikan fasilitas kesehatan menjadi garda terdepan dalam penegakan KTR. Mengubah perilaku memang sulit, namun perlu dilakukan secara terus menerus.”
Ananda Priantara, Praktisi Kebijakan dan Akademisi FISIP Universitas Warmadewa mengungkapkan bahwa Bali sebenarnya bisa sejajar dalam hal sustainable tourism. Ia mengambil contoh, Barcelona dan Phuket berhasil menunjukkan bahwa pariwisata modern identik dengan udara bersih. Meskipun Bali sudah memiliki Perda KTR, tetapi tantangannya adalah dalam pengoptimalan. Seharusnya, pemerintah juga berani untuk mengambil langkah reward and punishment yang tegas.
“Contohnya, Singapura, pelanggaran terhadap KTR juga diberikan konsekuensi,” ucap Nanda.
Perwakilan generasi muda yakni, I.A.G Pradnyawidari Dharmika dan Dwi Ardini dari Save Our Surroundings (SOS) membagikan dan menekankan praktik baik dan juga tantangan orang muda dalam mendorong kebijakan pengendalian konsumsi rokok di Bali. Perlu kampanye kreatif untuk meningkatkan upaya berkelanjutan.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post