Jakarta, Prohealth.id– Sampah plastik menjadi ancaman serius terhadap lingkungan, khususnya yang dibuang ke sungai dan lautan. Tak hanya mengancam kelangsungan biota di ekosistem perairan, limbah plastik tersebut, khususnya mikroplastik, dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
Konsumsi ikan yang hidup di aliran air beracun yang sudah terkontaminasi limbah plastik berisiko membuat warga terkena penyakit yang membahayakan nyawa. Seperti yang mengancam warga sekitar Kali Angke, Jakarta.
Salah satunya Didik (50). Warga yang Kampung Gusti, Teluk Gong, Penjaringan, Jakarta Utara tersebut tampak asyik memancing di bantaran Sungai Angke saat Prohealth.id berkunjung ke kawasan tersebut. Air sungai tampak berwarna hijau pekat akibat polusi, termasuk dari pabrik pengepul sampah plastik yang terletak tak jauh dari situ.
Beberapa kali Didik mengangkat kailnya, tetapi bukan ikan lele atau gabus yang didapat, tetapi sampah plastik. Dia tak tampak kecewa, justru berseloroh menganggap itu biasa.
“Kebanyakan dapat plastik daripada ikannya. Di sini ikan sudah jarang ada. Sekali mancing, dari pagi sampai siang gini, (hanya) dapat 4 ekor,” ujarnya, Sabtu (10/2/2024).
Didik mengatakan, ikan lele yang ditangkapnya adalah hasil orang-orang Tionghoa ‘buang sial’ saat Imlek lalu. ”Saya iseng aja, tahu dari tetangga ada orang orang Tionghoa yang buang ikan ke kali usai Imlek,” katanya.
Didik tahu sungai tempatnya memancing itu berbau dan banyak sampah plastik. Akan tetapi pengetahuan itu tidak mencegahnya untuk mengonsumsi ikan-ikan tersebut. ”Saya masih konsumsi ikan yang saya tangkap sendiri. Termasuk hari ini memancing ikan untuk saya bawa ke rumah buat lauk makan. Soal aman atau tidak, saya nggak paham,” kata dia.
Arka (6) mengaku kerap bermain di Sungai Teluk Gong menangkap ikan lele untuk dimakan.”Kalau sudah ditangkap, dikasih ke mama terus nanti digoreng. Enak, rasanya kriuk,” katanya sambil asyik bermain.
Walau Didik dan Arka seperti tak peduli dengan asal muasal penganan yang mereka konsumsi, tidak demikian dengan Endang (49).
Pemilik warung makan di bantaran Teluk Gong itu mengaku bahkan tak berani menggunakan air tanah sejak 5 tahun lalu. Perempuan asal Lampung yang sudah lama bermukim di bantaran Sungai Angke itu mengaku kerap mengalami masalah pencernaan saat pertama tinggal di situ.
“Tidak berani minum air tanah. Biasanya kami beli air galon untuk makanan yang kami jual. Terakhir kami menggunakan air tanah 5 tahun lalu,” ucap Endang.
Mayoritas sungai di Jakarta sudah tercemar
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FKIP) IPB University dan pakar ekotoksikologi Prof Etty Riani menyayangkan masih ada warga yang mengonsumsi ikan di Kali Angke, sebab sungai menuju utara Jakarta itu sudah tercemar.
”Sebagian besar sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta rata-rata sudah tercemar berat hingga sangat berat. Di hulunya lebih ringan, ke arah tengah mulai tercemar sedang, kemudian ke arah Jakarta tercemar berat. Semakin mendekati Teluk Jakarta tercemar sudah sangat berat,” katanya kepada Prohealth.id.
Di dalam Teluk Jakarta, kata Prof Etty, pencemarnya bukan hanya zat yang mudah terurai saja, tetapi juga bahan yang sulit terurai, yaitu plastik.”Terutama persistent organic pollutants (POPs) dan juga bahan-bahan pencemar B3 yang tidak termasuk persistent organic pollutant, seperti logam berat. Di dalam sungai di Jakarta banyak sekali bahan tercemar,” ujar dia.
Prof Etty menyebut, ikan yang hidup di sungai yang tercemar juga memakan zat yang terkandung dalam air dan makanan di sungai tersebut. Meski demikian, lanjutnya, tidak semua ikan otomatis menyerap zat berbahaya dalam sungai yang tercemar.
”Ada beberapa ikan yang boleh dikonsumsi, namun tidak boleh dimakan terus dalam jangka waktu yang lama,” tuturnya.
Bahaya B3 bagi manusia
Beberapa jenis bahan berbahaya dan beracun, seperti logam berat, menurut Prof. Etty, menjadi sumber banyak penyakit yang berkaitan dengan organ tubuh manusia.
”Jika air sungai mengandung logam berat, maka bisa saja mengakibatkan infertilitas, gangguannya bisa pada saat pembuahan dan bisa saat pematangan sel reproduksinya,” katanya.
Begitu pula sampah plastik. Kandungan plastik seperti zat aditif, ftalat, nonyl phenol, juga pewarna yang mengandung logam berat, menurut Prof. Etty, selain mencemari lingkungan, juga berbahaya bagi kesehatan manusia.
“Sebetulnya kalau B3 yang kita gunakan ini jumlahnya sedikit, itu aman-aman saja. Karena lingkungan mempunyai homeostatis, atau kapasitasi asimilatif, atau daya dukung, terhadap beban pencemaran. Tetapi ketika kita menggunakannya terus-menerus dalam frekuensi yang sering dan jumlah yang banyak, maka lama-kelamaan lingkungan tidak mampu lagi, dan terjadilah pencemaran,” papar dia.
Dampak B3 bagi manusia dapat berupa penyakit seperti kanker dan penyakit degeneratif non kanker seperti penyakit ginjal.
“Contoh lainnya adalah kandungan merkuri pada produk make-up tertentu yang bisa merusak kulit dan memicu kanker kulit. Ada juga limbah timbal dari tinta pulpen pada pabrik kertas yang menggunakan kertas bekas. Jika mengkontaminasi air di lingkungan sekitar, maka bisa memicu kelenjar gondok, “ kata Prof Etty.
Bahaya impor sampah plastik
Tak hanya di Jakarta, sampah plastik juga telah merusak banyak daerah lain di Indonesia. Apalagi kegiatan impor sampah plastik, baik legal maupun ilegal, masih terjadi di Indonesia.
Ecological Observation and Wet Conservation (Ecoton), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu sampah plastik dan bermarkas di Jawa Timur, menemukan masih banyak perusahaan, yang mengimpor plastik lalu membuang sampahnya sembarangan.
Ecoton meminta pemerintah untuk menindak tegas perusahaan yang mengimpor sampah plastik. Pasalnya, sampah itu mengandung senyawa dioksin yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
Deputi Eksternal dan Kemitraan Ecoton Aziz menyebut hasil penelitian kolaborasi IPEN (International Pollutant Elimination Network) –Ecoton, Nexus 3 dan Arnika– menemukan fakta mengejutkan terkait impor sampah yang membanjiri Indonesia.
“Dalam 1 kontainer bahan baku kertas yang diimpor oleh perusahaan kertas di Indonesia terdapat kontaminasi plastik dan bahan B3 yang diselundupkan sebesar 40% dan sisanya berupa kertas bekas sebesar 60%,” ungkapnya kepada Prohealth.id, Jumat (15/2/2024).
Indonesia, kata Aziz, memiliki 55 industri kertas — 22 berada di jawa Timur. Semua perusahaan kertas itu mengunakan 80% bahan baku kertas bekas yang diimpor dari luar negeri. Dua desa di Kabupaten Sidoarjo, Gedangrowo dan Wirobiting disebutkan Aziz, dijadikan dumpsite (tempat pembuangan) sampah impor tersebut.
Dua desa tersebut berpotensi mengalami apa yang terjadi di Desa Tropodo, juga di Sidoarjo. Dalam penelitian pada tahun 2019, Ecoton menemukan kandungan dioksin di telur ayam kampung di Desa Tropodo menjadi nomor tinggi kedua di dunia.
”Sebuah penelitian menunjukkan bahwa telur ayam di wilayah terkait mengandung racun dari sampah plastik. Penelitian tersebut mengindikasikan adanya 16 jenis racun dalam telur yang diteliti, salah satunya adalah dioksin,” ungkap dia.
Jika hal ini dibiarkan, kata Aziz, akan berbahaya bukan hanya pada lingkungan akan tetapi berbahaya pada kesehatan. “Terlebih, apabila sampah atau limbah tidak dapat didaur ulang. Lebih bahayanya lagi terkontaminasi oleh bahan berbahaya, beracun atau B3 yang berbahaya bagi Masyarakat,” ucap dia.
Lemahnya pengawasan
Peneliti Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Politik, Fajar Ajie Setiawan, menyatakan Indonesia melarang memasukkan atau mengimpor sampah (Pasal 29 UU 18/2008) dan limbah (UU Ciptaker Pasal 22 angka 1 yang mengubah Pasal 1 angka 20 UU 32/2009).
“Dalam konteks B3, larangan impor sampah B3 ada di bawah kategori sampah spesifik (Pasal 2 ayat (4) UU 18/2008), dan larangan impor limbah B3 ada di Pasal 22 angka 24 UU Ciptaker,” ucapnya.
Tipe-tipe limbah B3 , kata Ajie, diatur melalui PP No. 101 Tahun 2014. Ia melanjutkan, dari beberapa dokumen hukum ini (ditambah Permendag 20/2021), hanya limbah non-B3 yang akan digunakan sebagai bahan baku industri yang diperbolehkan.
“Hal ini sesuai dengan Artikel 9 di Konvensi Basel tentang Pengendalian Perpindahan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangannya yang sudah Indonesia ratifikasi. Di tingkat ASEAN, menurut saya, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki aturan pelarangan impor limbah berbahaya yang cukup lengkap dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya,” kata dia.
Dalam realitanya, lanjut Ajie, memang masih ditemukan impor sampah ilegal yang secara sengaja memasukkan/mengimpor sampah dan limbah B3 utuh ke Indonesia, atau impor yang terkontaminasi zat-zat limbah berbahaya.
“Hal ini juga terkait masih lemahnya pengawasan importasi limbah berbahaya karena berbagai faktor, seperti SDM maupun geografis (terkait luasnya wilayah vis-a-vis jumlah SDM, misalnya),” kata dia.
Selain faktor eksternal, kata Ajie, Indonesia juga dihadapkan pada faktor internal dimana tata kelola sampah dan limbah hasil dari masyarakat yang belum maksimal, serta pengawasan dan penegakan hukum terkait tata kelola limbah produksi industri.
Dia memberi contoh warga yang masih terbiasa membakar sampah yang dapat menghasilkan racun, seperti plastik. Selain itu, tata kelola pembuangan liar sampah B3 dan impor limbah plastik juga belum diatur secara spesifik.
“Kalau melihat ke Konvensi Basel, ada amandemen baru tahun 2021 yang mewajibkan peraturan lebih spesifik mengenai impor limbah plastik, derajat kontaminasi, dan pemilahan,” kata Ajie.
Strategi pemerintah
Direktur Pengurangan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Vinda Damayanti Ansjar menyebut dampak sampah terhadap kesehatan pada dasarnya sama, baik dari sampah lokal maupun sampah impor.
“Yang membedakan adalah tergantung pada jenis sampah dan kandungan bahan kimia yang membentuknya, misalnya sampah plastik yang bahannya mengandung klorida atau stiren yang menurut penelitian bersifat karsinogen (penyebab kanker) jika tertelan atau terhirup asap pembakarannya. Atau sampah elektronik yang mengandung logam berat seperti kadmium, merkuri atau timbal dimana zat-zat tersebut juga beresiko terhadap kesehatan jika tertelan atau terhirup asap pembakarannya,” tutur dia kepada Prohealth.id, Minggu (18/2/2024).
Beberapa zat pencemar lingkungan begitu beragam, Vinda menyebut banyak dan beragam yang paling populer seperti merkuri, kadmium, timbal, stiren, klorida, dan bispenol.
KLHK, kata Vinda, melakukan strategi untuk mengurangi volume sampah plastik domestik agar tidak merusak kesehatan masyarakat.
Pertama, membatasi penggunaan plastik sekali pakai yang setelah jadi sampah tidak memiliki nilai ekonomi sama sekali. Kedua, memastikan bahwa sampah plastik tidak dibuang sembarangan dan tidak dibakar.
Ketiga, memastikan sampah plastik yang punya nilai ekonomi guna ulang dapat dipilah dan dikumpulkan untuk diguna ulang; serta memastikan sampah plastik yang tidak punya/rendah nilai ekonominya (residu) diolah di fasilitas RDF atau insinerator menjadi sumber energi atau ditimbun di tempat pemrosesan akhir (TPA) yang dioperasikan tidak dengan cara open dumping.
Sesuai ketentuan peraturan perundangan, kata Vinda, proses pengelolaan sampah harus memenuhi ketentuan dan persyaratan teknis tertentu sehingga tidak menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan.
“Pemerintah mengeluarkan norma dalam bentuk peraturan, standar, prosedur, dan kriteria untuk memastikan strategi yang sudah disampaikan di atas dapat terlaksana dengan baik. Selain itu, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk menjalankan strategi tersebut,” ucap dia.
Editor: Irsyan Hasyim
Liputan ini merupakan bagian dari “Story Grant Bencana Akibat Kerusakan Ekologis” yang diadakan The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) dan Ekuatorial. Terbit pertama kali di Prohealth.id pada 21 Februari 2024.
Discussion about this post