Jakarta, Prohealth.id – Upaya pemerintah menangani krisis ekonomi masyarakat melalui bantuan sosial dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan baru jika tak dikelola dengan tepat salah satunya adalah pemanfaat dana untuk beli rokok atau pulsa.
Sekretaris Jenderal Forum Warga Kota Indonesia (FAKTA), Ari Subagio Wibowo mengatakan bantuan sosial merupakan salah satu program yang diselenggarakan pemerintah dalam rangka peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Program ini juga merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk membantu warga negara memenuhi kebutuhan utama atau pokok.
Sayangnya, pengelolaan dari hulu hingga hilir kerap mendapatkan masalah yang tidak sedikit. Apalagi kini pemerintah telah mengeluarkan banyak sekali upaya untuk membantu warganya menghadapi krisis ekonomi dan krisis kebutuhan pangan ditengah pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak tahun 2020 lalu.
Adapun pada tahun 2020, pemerintah mengeluarkan bantuan dalam bentuk bahan pangan yang jenis dari paketnya berbeda-beda, hingga akhirnya dilakukan perubahan oleh kementerian sosial dengan jenis program bantuan sosial langsung dengan uang tunai atau dana langsung
Alhasil program ini seakan menjadi pedang bermata dua karena masih banyaknya penyalahgunaan dana langsung ini. Pemberian dana ini dalam pelaksanaannya, program bantuan sosial masih mengalami beberapa hambatan, salah satunya adalah perilaku merokok keluarga penerima manfaat (KPM) yang mengakibatkan program bantuan sosial menjadi kurang efektif.
“Dalam temuan survei advokasi yang dilakukan pada warga dampingan FAKTA Indonesia di DKI Jakarta, kami menemukan beberapa penyalahgunaan dana yang seharusnya diberikan bahan pokok untuk memenuhi kebutuhan hari-hari tetapi digunakan untuk membeli rokok,” kata Ari melalui Youtube FAKTA, Selasa (24/8/2021).
Ari menjelaskan, survei dilaksanakan tanggal 3 sampai 10 Februari 2021 di Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat. Respondennya ada 79 orang dipilih secara acak yang mana 99 persen respondennya merupakan penerima bansos dan 92 persen pendapatan respondennya terpengaruh akibat pandemi Covid-19.
Survei ini menemukan informasi tentang bansos oleh responden diperoleh paling besar berasal dari RT/RW sebesar 96 persen, dan paling kecil dari media sebesar sosial 0 persen. Informasi lainnya seperti dari TV atau radio sebesar 3 persen, dan terakhir dari kelurahan sebesar 1 persen. Tak hanya itu, terdapat 53 orang dari responden yang memperoleh bansos dari pemerintah daerah dan 57 responden dari pemerintah pusat.
Temuan menarik dari survei FAKTA adalah, terdapat 52 persen dari responden yang mengatakan bahwa ada orang atau keluarga yang layak mendapat bansos tetapi tidak menerima bansos tersebut.
Oleh karena itu, Ari merekomendasikan beberapa hal. Pertama, perlu adanya pemutahiran data penerima dan/atau masyarakat kategori miskin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terbaru.
Kedua, pemerintah harus memperluas jangkauan bantuan untuk masyarakat yang terdampak Covid-19 yang membutuhkan bantuan secara nyata dari pemerintah pusat maupun daerah.
Ketiga, pemerintah harus melakukan monitoring dan evaluasi untuk mengidentifikasi hambatan dan tantangan bantuan sosial kepada masyarakat.
Kondisi bansos yang tak merata tersebut akhirnya membuat sebanyak 60 orang respon mengaku perlu ada perbaikan pada data penerima bansos, dan 33 orang mengatakan perlu perbaikan dalam bentuk bansosnya.
RAGAM PELANGGARAN BANSOS
Tak hanya penerimaan yang tak adil, FAKTA menemukan adanya penyalahgunaan dana Bantuan Sosial Tunai (BST) yang kurang tepat seperti untuk belanja pulsa dan rokok. Secara lebih rinci dari 79 responden, ada 16 responden yang menggunakan bansos untuk membeli pulsa atau rokok.
“Oleh karena itu pemerintah harus mampu memberikan gambaran pemahaman terkait penggunaan dana BST yang diberikan pemerintah,” ujar Ari.
Ari pun mendorong perlu penyusunan standar pengganggaran yang tepat agar mencipatakan transparansi dan efektivitas penggunaan dana dari negara.
Dalam survei ini juga ditemukan terjadinya pelanggaran atas penerimaan bansos berupa uang Rp5000 – Rp50.000 atau potongan barang bansos. Pasalnya, ada sebesar 8 persen dari responden yang menyebutkan bahwa ada pemotongan dalam bentuk uang ataupun barang atas penerimaan bansos yang seharusnya tidak ada pemotongan bansos dalam bentuk apapun.
Oleh karena itu selain monitoring, Ari menyebut perlu ada penyusunan standar pengganggaran yang tepat agar mencipatakan transparansi dan efektivitas penggunaan dana dari negara.
Pelanggaran lain adalah, ditemukannya ada yang menjual kembali bansos, yang berbentuk barang, untuk mendapatkan uang. Pasalnya, sebesar 12 persen dari responden mengatakan pernah menjual bansos, yang berbentuk barang, untuk mendapatkan uang. Ari menyebut FAKTA memberikan rekomendasi agar pemerintah lokal dan masyarakat harus mampu mendapat gambaran pemahaman terkait penggunaan dana bansos yang diberikan pemerintah.
Dari survei ini FAKTA menemukan hanya 58 persen saja responden yang sudah puas dengan bansos. Sisanya, ada 25 persen yang secara tegas mengatakan tidak puas dengan bansos.
Ari menambahkan, untuk memudahkan distribusi dan efektivitas bansos sebesar 50 persen responden memilih penyalur bansos bisa memanfatkan bank pemerintah, ada sebanyak 44 persen memillih penyaluran melalui RT/RW, sebesar 5 persen memilih kantor pos, dan sebanyak 1 persen saja yang memilih penyaluran melalui kelurahan.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post