Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Penggerak
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Jurnalisme Warga
  • Infografis
No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Penggerak
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Jurnalisme Warga
  • Infografis
No Result
View All Result
Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Penggerak
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Jurnalisme Warga
  • Infografis

Baru 22 Pemda Sahkan Perda KTR, Sisanya?

by Admin
Sunday, 1 August 2021
A A
Baru 22 Pemda Sahkan Perda KTR, Sisanya?

Ketua MTCC Unimma Retno Rusdjijati dalam FGD bertema “Percepatan Implementasi Regulasi Kawasan Tanpa Rokok dalam Upaya Melindungi Masayarakat dari Bahaya Rokok dan Pandemi Covid-19” pada Sabtu, (31/7/2021). Sumber Foto: Jekson Simanjuntak/Prohealth.id

Magelang, Prohealth.id — Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMMA menggelar FGD bertema “Percepatan Implementasi Regulasi Kawasan Tanpa Rokok dalam Upaya Melindungi Masayarakat dari Bahaya Rokok dan Pandemi Covid-19” pada Sabtu, (31/7/2021).

Ketua MTCC Unimma Retno Rusdjijati mengatakan kegiatan tersebut merupakan bagian dari program kerja MTCC UNIMMA untuk membantu masing-masing daerah di Jawa Tengah dalam penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

BacaJuga

Kekerasan terhadap Jurnalis Masif di Era Prabowo

Potret Makan Bergizi ‘Tragis’

“Harapannya, ada penetapan KTR  yang berupa peraturan bupati, peraturan Wali kota maupun peraturan daerah,” kata Retno dalam sambutannya.

Sejauh ini, baru 22 kabupaten/kota yang memiliki Perda KTR. Kebanyakan merupakan dampingan dari MTCC, sementara yang belum ada regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sebanyak 9 daerah. Padahal regulasi penetapan KTR merupakan amanat UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam rangka menurunkan angka kesakitan, dan/ atau angka kematian akibat asap rokok dengan cara mengubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat.

“Sehingga bisa meningkatkan produktivitas kerja yang optimal dan mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih, bebas dari asap rokok,” ungkapnya.

Oleh karena itu, Retno berharap FGD ini dapat dimanfaatkan oleh para peserta untuk berbagi pengalaman dalam proses penetapan regulasi kawasan tanpa rokok, sehingga bisa mengatasi kendala yang selama ini muncul di daerah yang belum memiliki Perda KTR.

“Peserta yang hadir dalam kegiatan FGD ini terdiri dari Bappeda, bagian hukum dan dinas kesehatan dari 22 kab/kota dampingan MTCC Unimma dan jaringan pengendalian tembakau seluruh Indonesia dan awak media,” sambungnya.

Ketua Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia (ADINKES) M. Subuh sepakat dengan pendapat yang menyatakan Indonesia tengah menghadapi pandemi Covid-19 yang juga berhubungan dengan konsumsi rokok. Data terakhir menyebutkan selama pandemi ada peningkatan jumlah perokok.

Permasalahan rokok, menurut Subuh telah memunculkan mulitiple burden atau beban ganda di Indonesia. Masalah tersebut terkait dengan kesehatan, perekonomian, sosial, politik, keamanan hingga masalah sosial lainnya.

“Di sektor kesehatan sendiri, kita merasakan apa yang disebut dengan multiple morbidity. Disini masih ada Covid-19, TV, HIV, malaria, NTD, PTM, Stunting, dan itu semua program prioritas,” katanya.

Multiple morbidity jika tidak dilakukan penanganan secara baik akan menimbulkan kronisitas atau kasus-kasus kronis akibat pemakaian tembakau. Akhirnya berpengaruh terhadap mortalitas.

“Tentu saja kronisitas dan mortalitas menjadi beban pemerintah daerah dan akhirnya menjadi beban masyarakat, baik secara individu maupun secara kekeluargaan,” terangnya.

Sebagai contoh, Subuh mengajak untuk melihat salah satu standar dari pelayanan minimal yang ada di kab/ kota terkait TBC. “Jadi artinya, ketika bisa melakukan kendali terhadap rokok, justru kita melakukan kendali juga terhadap program penyakit tersebut, yakni tuberkulosis,” katanya.

Ketika perokok usia 10-18 tahun jumlahnya mencapai 7,2 persen menurut Riskesdas, hal itu menjadi perhatian serius, terutama untuk mengendalikan rokok yang seharusnya pemerintah daerah mengambil peran lebih tegas disitu.

Pasalnya, pemerintah daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Sebut saja, PP 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Lalu ada SKB Menteri Kesehatan dan Mendagri No.108/ Menkes/Pb/2011 No.7 tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa rokok. Masih ada pula Surat Edaran Kemendagri pada tahun 2018 dan 2019.

“Dan jika kembali ke UU, justru UU no.36/2009 tentang Kesehatan jelas disebutkan disitu bahwa kendali atau kontrol terhadap rokok harus benar-benar dilakukan,” kata Subuh.

 

PENTINGNYA PERAN DINAS KESEHATAN

Subuh menekankan tentang urusan kesehatan yang diberikan ke masing-masing daerah. Sejauh ini ada empat urusan yang diserahkan,, yakni upaya kesehatan, sumberdaya manusia kesehatan, sediaan farmasi, alkes dan makanan minuman serta pemberdayaan masyarakat.

Dari keempat urusan itu, Dinas Kesehatan diharapkan perannya untuk mampu mengupayakan kebijakan dasar terkait pelaksanaan urusan kesehatan (termasuk yang tematik) seperti yang ada di dalam UU Kesehatan, peraturan pemerintah terkait pembentukan KTR.

“Dan ini harus dilaksanakan bersama-sama secara lintas sektoral,” katanya.

Subuh menambahkan, jika melihat kinerja pemerintahan yang baik, misalnya dalam upaya pengendalian TBC melalui kontrol rokok, maka yang dibutuhkan adalah leadership dan manajemen.

“Kita bangga sekali, misalnya ada Bupati Klungkung, Bupati Banjarnegara sebagai pimpinan daerah yang bisa melakukan upaya-upaya ini, termasuk inovasi dengan upaya kebijakan, koordinasi dan mobilisasi seluruh komponen yang ada di masyarakat,” paparnya.

“Saya kira ini salah satu upaya yang paling efektif, jika ingin melakukan kontrol yang baik,” ujar Subuh kemudian.

Selanjutnya, dibutuhkan strategi dalam pengendalian konsumsi rokok. Yang pertama, pemerintah harus memiliki komitmen politis, leadership yang kuat, termasuk memiliki regulasi, serta implementasi regulasi yang konsisten. “Regulasi saja tidak cukup, harus ada implementasi yang konsisten,” katanya.

Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) yang adekuat, dalam hal ini bagaimana meningkatkan risk communication ke seluruh lapisan dan semua stake holder dan masyarakat juga perlu diperhatikan

“Termasuk dukungan semua stake holder sehingga mampu menggerakkan mereka, termasuk dengan pemanfaatan IT untuk pengawasan,” ujarnya

Sementara di masyarakat, mereka diharapkan mengikuti semua petunjuk dan arahan dari pemerintah. Selain itu juga harus disiplin, tidak ada hoaks, saling mendukung sesama komponen masyarakat.

“Dua kekuatan ini yang jika dijalankan secara efektif, yakni menjalankan mesin birokrasi dan menggerakkan mesin sosial akan menjadi upaya paling efektif dalam mengendalikan rokok di Indonesia,” kata Subuh.

Selanjutnya, pola koordinasi hingga mobilisasi oleh Dinkes dalam melakukan kontrol rokok perlu didukung, baik melalui kampanye, edukasi promosi kesehatan (promkes) di segala lini, sehingga pesannya masuk ke pikiran dari kelompok sasaran utama.

Juga perlu mengevaluasi dan memperjelas lokasi-lokasi KTR dengan larangan. “Yang jelas terbaca, eye catching sehingga benar-benar bisa dilihat oleh seluruh masyarakat,” ucapnya.

Kemudian perlu dipikirkan soal monitoring dan evaluasi yang dikaitkan dengan pengawasan. Misalnya, secara rutin razia untuk mencabut iklan rokok di semua titik penjualan rokok (point of sale).

“Ini harus menjadi suatu keharusan dan dilakukan penegakan aturan secara konsisten,” katanya.

Menurut Subuh, Permendagri No.40 Tahun 2020 telah memberikan target pembangunan nasional yang jelas, sehingga pemerintah daerah tinggal melaksanakan kebijakan kawasan tanpa rokok.

Berbagai ide dan contoh pelaksanaan KTR telah ada di beberapa kabupaten/ kota. Contoh itu itu perlu direplikasi dengan peningkatan kapasitas dinas kesehatan setempat untuk bersama-sama melaksanakannya.

“Kapasitas koordinasi dan mobilisasi dibutuhkan dari Dinkes,”  pungkas Subuh.

 

WASPADA! PEROKOK MUDA MENINGKAT!

Pejabat Universitas Muhammadiyah Magelang, Lilik Andriyani memaparkan fakta bahwa di masa pandemi Covid-19 masih banyak warga yang mengkonsumsi rokok. Bahkan kaum muda dan remaja merupakan populasi terbanyak merokok, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

“Akibatnya muncul penyakit dari rokok dan rokok menjadi masalah nasional yang terus menerus diupayakan bagaimana cara untuk menanggulanginya,” kata Lilik

Lilik mengatakan, jumlah perokok muda berdasarkan hasil survei di 25 provinsi, adalah perokok aktif berusia 15-24 tahun yang ternyata jumlahnya mencapai 35 persen. “Ini sangat luat biasa. Cukup tinggi,” ujarnya.

Jumlah perokok usia muda ternyata lebih besar jika dibandingkan yang perokok masa aktif yaitu usia 25-34 tahun, yang jumlahnya 24 persen. Sementara usia 35-44 tahun mencapai 21 persen dan sebanyak 20 persen adalah mereka dengan usia diatas 45 tahun.

“Karena mungkin telah berdampak dari perokok sebelumnya, timbulnya penyakit yang luar biasa,” kata Lilik.

Lilik juga mengingatkan bahwa sangat berbahaya menjadi perokok pasif, karena dapat terkena penyakit, dan kematian yang tidak ada batas aman bagi mereka yang terpapar asap rokok dari perokok lain.

 

PERCEPAT PERDA KTR

Saat ini, beragam negara dan banyak kota di seluruh dunia telah menetapkan undang undang bebas asap rokok dan kebanyakan berhasil. Masyarakat juga berangsur-angsur merasakan dampak dari aturan tersebut.

“Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa lingkungan bebas rokok yang di Indonesia disebut KTR harus berbentuk perda yang mengikat secara hukum dan bukan kebijakan yang bersifat sukarela,” terang Lilik

Selain itu, produk hukumnya harus sederhana, jelas dan tidak menimbulkan salah tafsir. “Kita tahu di lingkungan kita semua tidak menimbulkan salah tafsir, tapi sengaja disalahkan tafsirnya,” katanya.

Sehingga kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah melalui amanat UU no.36/2009 bahkan PP tahun 2009 dan Permendagri tahun 2020 seharusnya menjadi aturan yang harus dipatuhi semua orang.

Hal ini karena tujuan penetapan kawasan tanpa rokok sebagai upaya untuk menurunkan angka kesakitan dan/atau angka kematian akibat asap rokok dengan cara mengubah perilaku masyarakat, kembali untuk hidup sehat, meningkatkan produktivitas kerja dan mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih. “Bebas dari asap rokok,” katanya.

Sayangnya undang-undang dan PP tersebut belum sepenuhnya bisa diimplementasikan oleh seluruh kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. “Harusnya aturan tersebut, paling tidak dilakukan secara konsisten oleh pemimpin daerahnya,” tandasnya.

 

Penulis: Jekson Simanjuntak

Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi

Bagikan:
Tags: Ancaman RokokBahaya Laten RokokEfek RokokMTCCMTCC UNIMMAmuhammadiyahPerdaPerda KTRPerokok AnakRokok Anak

Discussion about this post

https://www.youtube.com/watch?v=ZF-vfVos47A
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.

No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Penggerak
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Jurnalisme Warga
  • Infografis

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.