Olga (bukan nama sebenarnya), transpuan asal Kota Maumere, Kabupaten Sikka, Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur, sehari-hari bekerja mengelola salon di pusat kota. Keahlian ini bukanlah perjalanan sekali jadi. Olga yang pernah hijrah dari Maumere ke Jakarta sempat cemas ketika terciduk oleh pamannya pulang dari Taman Lawang dengan penampilan sebagai perempuan.
“Waktu itu aku kucing-kucingan sama keluarga. Pamanku yang di Cipinang [belakang rutan Cipinang, Jakarta Timur] kebingungan aku bisa kerja apa. Disuruh ikut derek, tapi seperti perempuan. Akhirnya disuruh bantu kerja-kerja ART [asisten rumah tangga] di rumah,” ujar Olga kepada Prohealth.id di sela-sela aktivitasnya di salon.
Modal nekat, itulah yang menginspirasi Olga pada tahun 1989 kabur dengan naik kapal laut dari Pelabuhan Maumere ke Surabaya. Cita-citanya satu, dia bebas dari diskriminasi dan intimidasi karena suka memakai baju perempuan.
Maklum saja, Olga yang lahir tahun 1977 ini mengaku sering mendapatkan diskriminasi dan kekerasan verbal dari anggota keluarga khususnya dari para kakaknya yang laki-laki. Dia sering dibentak karena suka memakai rok, dress, atau pakaian-pakaian perempuan. Stigma, diskriminasi, dan kekerasan ini membuatnya jengah dan berniat untuk keluar dari kota kelahirannya.
“Aku sudah mulai suka pakai baju perempuan sejak SD, kelas tiga atau empat. Belum puber, dan juga sudah merasa tertarik sama laki-laki seperti perempuan pada umumnya. Karena itu aku sampai digebuk sama kakak laki-laki,” sambung Olga.
Bertahan hidup selama tiga bulan di Surabaya sebagai pekerja rumah tangga (PRT), Olga akhirnya naik kereta menuju Stasiun Jatinegara untuk tinggal dengan salah satu paman di Jakarta.
Segala pekerjaan rumah tangga yang dia kerjakan dengan baik, membuat Olga diajak untuk pindah tinggal bersama mama besar (panggilan untuk perempuan tertua dalam keluarga untuk orang Maumere) di Halim Perdanakusumah. Bersama mama besar, Olga dipercaya untuk mengurus pekerjaan rumah.
Siapa sangka, mama besar tidak terlalu mempermasalahkan identitas gender Olga. Sayangnya, bapak besar dan beberapa paman masih melarang Olga untuk memakai baju perempuan. Di tengah ketegangan dalam internal keluarga, Olga memberanikan diri terjun lebih dalam dengan bergabung pada komunitas transpuan di Taman Lawang dan Jatinegara. Puncaknya, Olga bahkan bisa bergabung dengan Tata Dado show dan Silver Boy yang pernah ditayangkan pada salah satu stasiun televisi swasta.
“Meski begitu, aku tetap tak berani keluar dari rumah dengan pakaian perempuan. Biasanya dari rumah aku masih pakai baju laki-laki, nanti di taman besar dekat rumah mama besar, aku ganti pakai baju perempuan, pakai lipstick, make-up. Lalu naik bus ke Kuningan, lanjut ke Taman Lawang. Begitu pulang ke rumah juga sama, baju abis show aku lepas di jalan dan make-up aku bersihkan,” kata Olga.
Selain bekerja sebagai ART, show bersama transpuan, Olga juga pernah mencoba bekerja sebagai florist di bilangan Jakarta Selatan. Pengalaman ini membantu Olga membangun jaringan dan mengasah seni estetik dalam dekorasi bunga.
Berkelana sejak tahun 1989-2004 di Jakarta membuat Olga membangun jaringan yang cukup kuat di Jakarta. Bertepatan dengan Pemilu tahun 2004, Olga kembali ke Maumere dan mengantongi sumbangan usaha dari mama besar dan beberapa teman sehingga dia bisa berwirausaha salon di Kota Maumere.
Awal buka salon juga tidak terlalu ramai. Keterbatasan uang untuk operasional membuat Olga hanya menyediakan jasa untuk gunting rambut. Perlahan jasa berkembang dengan banyaknya konsumen di Kota Maumere yang ingin meluruskan rambut (bonding).
Mendadak, nama Salon Olga mulai populer di Kota Maumere, apalagi dengan iming-iming ‘si banci dari Jakarta’. Secara drastis penghasilan Olga dari kerja salon meningkat yakni sekitar Rp8 juta per bulan. Bahkan, Olga bisa mendapatkan penghasilan sampai Rp10 juta jika mendapat banyak tawaran kerja untuk rias wajah pada hari raya atau hari besar seperti sambut komuni pertama, pernikahan, dan acara adat lainnya.
Penghasilan ini tentu jauh dari pendapatan selama show di Jakarta atau berkomunitas di Taman Lawang. Misalnya saja, sekali show dengan Tata Dado cs dan Silver Boy, dia bisa mengantongi Rp200 ribu-Rp300 ribu. Dalam sebulan, dia bisa meraup Rp3-4 juta. “Itu tapi cepat habis dengan biaya belanja perlengkapan rias di Jakarta. Uang tiba-tiba langsung habis,” keluhnya.
Selama tinggal di ibu kota sekitar tahun 90-an, Olga tidak banyak sakit. Dia lebih banyak menderita sakit sekitar pencernaan seperti diare hingga ambeien. Dia mengaku tidak pernah sakit akibat pernapasan dan polusi udara. Terlebih di Maumere, Olga sangat jarang sakit karena tidak banyak indikator pemicu penyakit di Kabupaten Sikka yang punya indeks kualitas udara yang bagus menurut IQ Air dengan label identifikasi warna hijau.
Olga mengakui, tinggal di Maumere sebagai transpuan sebenarnya jauh lebih riskan ketimbang di Jakarta. Terpaan diskriminasi yang dialami di Jakarta tidak separah yang dialami di Maumere.
“Di Maumere ini lebih besar risikonya. Banyak lelaki yang punya jabatan, dengan pakaian dinas, memakai kami semena-mena. Apalagi mereka sering mabuk dan kami [transpuan] dipaksa melayani. Saya saja pernah sampai rumah diteror dan dilempar batu,” kenang Olga.
Di Jakarta, Olga merasa ancaman lebih banyak bersumber dari pengguna jasa yang tidak sopan, maupun ancaman dari Satpol PP. Selama di Jakarta, dia belum pernah mengalami kekerasan fisik yang membuatnya sampai tak sadarkan diri. Dia menilai kerentanan di ibu kota cenderung lebih kecil karena juga banyaknya support system sesama transpuan yang cukup kuat di Jakarta pada masa itu.
“Mungkin karena dikenal pernah merantau ke Jakarta, saya akhirnya dipercaya menjadi Ketua Perwakas [Persatuan Waria Kabupaten Sikka] selama dua periode dari 2006 sampai 2018,” ungkap Olga. Kepercayaan ini pun menjadi salah satu alasan Olga untuk menetap di Maumere. Dengan kelimpahan rezeki, Olga melanjutkan hidupnya dan membiayai sekolah beberapa keponakan hingga selesai studi strata 1. Dia pun mengikuti panggilan jiwa sebagai seorang ibu dengan mengasuh dua orang anak angkat perempuan yaitu Ersa dan Gisela (bukan nama sebenarnya) yang kini duduk di bangku sekolah dasar.
Untuk memberdayakan komunitas transpuan di Kabupaten Sikka dengan lebih baik dan menciptakan ruang aman; selama didampuk menjadi ketua Perwakas, Olga menggelar program kesehatan, olah raga bersama, mendampingi dan merawat transpuan yang lansia dan sakit-sakitan, mengunjungi transpuan di rutan, dan kegiatan sosial di panti jompo.
Diskriminasi dan kekerasan terhadap transpuan memang tinggi di wilayah Indonesia Timur karena kultur patriarki yang kental. Hal serupa juga diakui oleh Wahida Kamang, transpuan senior yang tinggal di pesisir pantai Utara Kota Maumere, Desa Wuring, Kelurahan Wolomarang.
Wahida mengenang, sebelum tahun 1992, penerimaan masyarakat terhadap realita kehadiran transpuan di Flores dan sekitarnya memang sangat rendah. Penolakan hingga kekerasan menjadi makanan sehari-hari transpuan yang kerap dipanggil ‘banci kobek’ oleh masyarakat.
“Puncaknya, itu masyarakat mulai menerima transpuan setelah gempabumi dan tsunami besar tahun 1992. Kami para transpuan ini mulai bangun dapur umum untuk korban tsunami,” kata Wahida yang pernah menjadi koordinator dapur umum saat itu.
Pembukaan dapur umum itu mendapat sumbangan dari Yayasan Pelita Swadaya yang dikelola oleh alm. Frans Seda yang saat itu menjadi pejabat publik di Jakarta.
“Akhirnya kami pun bilang ke warga, kalian itu hina-hina kami banci kobek, waria gila uang, kami diskriminasi dan dikerasi, sekarang kalian makan dari masakan kami,” ujar Wahida.
Sejak itu, secara perlahan kelompok transpuan di Kabupaten Sikka banyak dilibatkan untuk kegiatan sebagai kader Posyandu, kader kesehatan seksual dan reproduksi, sekaligus kader kesehatan keluarga.

\Wahida sendiri sudah menjadi kader Posyandu sejak tahun 1989. Sejak memasuki masa lansia, Wahida kini lebih sering menjadi kader penyuluhan HIV/AIDS khususnya bagi kelompok transpuan.
Penyebab diskriminasi di Indonesia Timur
Pengajar Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, Pater Marselinus Vande Raring, SVD, menjelaskan realita diskriminasi sampai kekerasan yang dialami kelompok transpuan adalah akibat dari sistem patriarki. Selain itu, ada faktor doktrin keagamaan yang ekstrim dan maskulin terhadap kelompok transpuan. Akibatnya, kelompok transpuan pun kehilangan hak dasar, hak sosial, politik, aktivitas beragama, dan budaya di tengah masyarakat.
“Eksistensi transpuan itu suatu keniscayaan yang harus diterima, dihargai, dihormati, dan diakui karena keadaan ini sudah ada, melekat, sejak mereka dilahirkan,” kata Pater Vande kepada Prohealth.id.
Oleh karenanya, rohaniwan Katolik ini menyarankan, pentingnya kegiatan sosialisasi yang dibuat dengan inklusif melibatkan semua kelompok masyarakat. Dengan begitu, cita-cita menjadikan Kabupaten Sikka sebagai kota inklusif tidak menjadi pemanis janji politik lima tahunan saja.
“Para transpuan ini punya peran positif. Banyak usaha salon, punya kemampuan merias untuk pesta, untuk memasak bersama dalam hajatan besar, mereka pun punya kemampuan dalam memberdayakan tenun ikat khas Sikka. Apabila potensi ini diberdayakan dengan baik, maka kehidupan sosial tercipta dengan harmonis,” sambungnya.
Berkaitan dengan sebagian wilayah Kabupaten Sikka yang masih terisolir, Pater Vande berharap agar pemerintah segera berupaya memenuhi semua kebutuhan dasar warga. Dengan begitu, kelompok transpuan tidak hanya menjadi kuda tunggangan untuk melayani kebutuhan keluarga sehari-hari di wilayah terpecil. “Mereka pun bisa hidup secara otonom dan bebas seperti masyarakat lainnya.”
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post