Jakarta, Prohealth.id – Semangat memulihkan ekonomi menjadi salah satu prioritas pemerintah. Oleh sebab itu narasi pemulihan ekonomi menjadi isu yang paling banyak berkembang dari pemerintah kepada masyarakat selama masa pandemi Covid-19 ini.
Sayangnya kondisi tersebut belum berbanding lurus dengan sejumlah kebijakan pemerintah yang tak efektif terhadap distribusi anggaran dan upaya pemulihan ekonomi nasional. Misalnya saja, pemerintah belum berhasil melakukan penyerapan anggaran yang optimal pada sektor kesehatan.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo memaparkan, sampai dengan 21 Mei 2021 saja, pagu Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk kesehatan tercatat baru terserap 18% saja. Kondisi ini menggambarkan sulitnya proses implementasi penanggulangan masalah kesehatan dalam situasis pandemi.
Tak hanya masalah PEN Covid-19 sektor kesehatan juga masih dihantui oleh masalah lain. Berdasarkan laporan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) yang dikutip dari SUSENAS, Senin (14/6/2021), prevalensi perokok usia 10 sampai 18 tahun masih tumbuh dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen pada 2018.
Pada 2019, skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah mencapai Rp17 triliun, dengan defisit yang mencapai Rp51 triliun. CISDI pun menemukan kebiasaan merokok ini telah menyebabkan beban ekonomi sistem kesehatan di Indonesia mencapai Rp27,7 triliun pada 2019. Angka ini mengalami kenaikan dari 2017 yang awalnya adalah sebesar Rp13,7 triliun.
Yurdhina Meilissa, Chief Strategist CISDI menjelaskan studi ini mengidentifikasi biaya yang dikeluarkan untuk mengobati penyakit mematikan namun dapat dicegah ini umumnya memang disebabkan dari konsumsi rokok. Biaya rawat inap dan perawatan rujukan menjadi komponen pembiayaan tertinggi dengan cakupan mencapai 86,3 persen dan 87,6 persen dari keseluruhan beban biaya yang harus ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Akibatnya, BPJS Kesehatan pun harus mengalokasikan setidaknya Rp10,5 triliun hingga Rp15,5 triliun untuk menambal biaya kesehatan tersebut.
“Maka itu, apabila BPJS Kesehatan mencantumkan data kebiasaan merokok pada data kepesertaan BPJS dan Badan Pusat Statistik (BPS), lalu Kementerian Kesehatan melengkapi data survei nasional dengan variable terkait kebiasaan merokok individu, merek rokok, harga rokok, dan jumlah konsumsi harian, maka para periset dan pemerintah tentu akan lebih mudah menghasilkan analisis dan riset yang tepat sasaran,” ujar Yurdhina.
MENGUJI DALIH PENDAPATAN NEGARA
Dalam diskusi bersama Visi Integritas, kinerja sektor kesehatan yang rendah ini juga masih dibebani oleh pendapatan negara yang belum optimal selama pandemi. Kenaikan pajak hingga pengampunan pajak direncanakan. Sementara, sumber-sumber pemasukan lain masih dalam proses kajian.
Slamet Widodo dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, mengatakan dalam membaca tantangan kesehatan publik, pemerintah memang perlu melakukan akselerasi pemasukan lain. Namun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan cukai sebenarnya bukan penyumbang terbesar penerimaan negara. Penerimaan negara terbesar dan utama adalah pajak.
Uniknya, tren peningkatan negara dari cukai lebih tinggi dibandingkan penerimaan pajak pada 2020 lalu. Misalnya saja, penerimaan cukai hasil tembakau telah menyumbang 10,4 persen bagi pendapatan negara. Angka ini diakui Slamet sebagai yang tertinggi sepanjang sejarah. Alhasil pemerintah memiliki opsi jalan pintas yang cepat untuk mengakselerasi penerimaan negara dengan menaikkan cukai.
Ekonom Senior Faisal Basri menambahkan, realisasi penerimaan cukai hasil tembakau tahun 2020 mencapai 103,21 persen dari target serta penerimaan cukai hasil tembakau naik 3,26 persen dari 2019 memang memberi angin segar bagi pemasukan negara sekaligus meningkatkan kualitas kesehatan publik.
Bayangkan saja, penerimaan cukai hasil tembakau menyumbang 10,4 persen bagi pendapatan negara. Jika angka ini merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah, apalagi jika ditambah dengan PPh dan PPN perusahaan rokok, sumbangannya jauh lebih besar.
“Penerimaan cukai hasil tembakau mencapai 96,55 persen dari total penerimaan cukai,” terang Faisal.
Berdasarkan kondisi ini ada peluang pemulihan ekonomi dan mendorong jaminan kesehatan jangka Panjang bisa dilakukan oleh pemerintah secara bersamaan. Faisal menyebut hal ini penting karena pemerintah bertugas membangun masyarakat yang sehat sebagai pondasi bagi kualitas SDM yang Tangguh.
“Pengaturan cukai rokok ini menjadi masalah krusial dalam narasi ini. Sehingga kita semua harus berani mendorong kebijakan penaikan tarif dan penyederhanaan skema tarif cukai rokok. Ini sebuah kompromi yang tidak mematikan industri rokok, namun juga tidak menyerahkan ekonomi Indonesia kepada industri rokok yang merusak kesehatan,” tegas Faisal.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post