Seorang bocah lelaki berusia 3,5 tahun, Aldo, ngambek karena mainan mobil-mobilan miliknya direbut seorang teman. Sontak Aldo tantrum, merengek di pelukan sang ibu, Jemima (bukan nama sebenarnya).
“Aldo mau apa? Mau jajan, ini ada snack dan coklat,” ujar salah seorang anak perempuan tetangga yang usianya lebih tua 3 tahun dari Aldo. Dengan sikap lebih dewasa, ia coba membantu menenangkan Aldo.
Seperti tertulis dalam artikel Prohealth.id sebelumnya berjudul Ibu dan Anak, Mereka yang Tersingkir dan Terbenam dalam Kepulan Asap, Aldo punya beberapa makanan kesukaan. Terfavorit, ikan dan ayam goreng. Untuk konsumsi susu, dia hobi minum susu cokelat kemasan.
Keluarga Aldo biasa berbelanja ikan, ayam, sayuran, serta kebutuhan makanan lain di pasar Pulo Rida atau Pulo Kilo. Maklum, lahan sekitar rumah tidak terlalu produktif dimanfaatkan untuk menanam sayuran.
Waktu mulai menunjukkan sekitar pukul 16.30 WIB. Tampak seorang pria masuk ke dalam rumah dengan pakaian proyek. Ia masuk kamar dan mengganti baju dengan kaos oranye serta celana pendek. Lelaki itu adalah Adit (bukan nama sebenarnya), ayah Aldo yang menjadi buruh harian di proyek pembangunan. Ia lalu mengambil ember dan alat pancing.
“Ini mau pergi memancing dulu, lumayan buat disimpan, nanti bisa dimakan,” ujar Adit kepada Prohealth.id saat dijumpai di rumahnya, Senin (27/11/2023).
Adit menceritakan bahwa sebelum menjadi buruh proyek, ia biasa menjadi nelayan di Suralaya. Namun, karena ramainya pembangunan proyek PLTU, ia beralih profesi.
“Biasanya cuma mancing dapat 3-5 ekor, lumayan buat makan di rumah. Jenisnya ikan belanak,” kata Adit.
Selain Adit, ada juga Turnip (bukan nama sebenarnya) yang sudah menjadi nelayan sejak tahun 70-an. Sambil meneguk secangkir kopi di hutan kota binaan PT PLN Indonesia Power, ia menceritakan keramaian aktivitas masyarakat di pesisir Suralaya sebelum ada PLTU. Menurut Turnip masyarakat bukan hanya mencari ikan, melainkan sudah membangun kios-kios kecil di pesisir pantai untuk menjamu wisatawan yang datang ke pantai tersebut.
“Sampai dengan awal 1980-an, masih dapat banyak ikan. Sejak ada PLTU, jumlah ikan pun makin sedikit yang bisa kami tangkap,” tutur Turnip kepada Prohealth.id (27/11/2023).
Prohealth.id mencatat, PLTU Suralaya mulai resmi beroperasi pada 1985. Sejak itu, sampai hari ini telah ada unit 1-8 PLTU dengan total kapasitas 3.500 megawatt. Selama ini, PLTU Suralaya melayani kebutuhan listrik di Jawa dan Bali dengan kebutuhan batu bara sekitar 32.000 ton per hari. Saat ini sedang dibangun PLTU unit 9-10 dengan kapasitas 2×1000 megawatt.
Namun, sejak mulainya pembangunan unit 9-10, tepian pesisir yang tersisa untuk pelabuhan nelayan semakin tergusur. Drastis. Bahkan, Pantai Kelapa Tujuh yang biasa menjadi lokasi berwisata pun lenyap akibat pembangunan proyek tersebut.
“Sekarang sudah lain kondisinya. Karena ada batu bara, ikan tidak mau ke situ, ada sisa bahan kimia. Ada solar, ada batu bara. Ikan juga menjauh. Jadi pakai dayung juga melelahkan, maka orang mulai pakai mesin. Dari pagi jam 6 sampai jam 12 baru sampai target,” keluh Turnip.
Minimnya Hasil Tangkapan Ikan
Ketika meninjau Pelabuhan Nelayan Suralaya secara langsung, Prohealth.id menemukan lokasi pelabuhan memang berada persis di antara proyek PLTU unit 9-10 dan kantor polisi. Tak hanya itu, jalan masuk ke pelabuhan pun sangat sempit karena hanya bisa dilalui satu mobil saja. Sesampainya di dalam pelabuhan, lokasi daratan menjadi parkiran motor para buruh proyek PLTU. Selain itu terdapat deretan rumah makan untuk tempat istirahat dan makan siang buruh proyek. Hanya terparkir kapal nelayan tak lebih dari 30 unit tanpa aktivitas apapun.
“Cari ikan di sini sudah susah, karena tidak ada orang mau mancing. Kalau mau beli di Pulo Kilo atau Pulo Rida,” ujar Turnip.
Dari tinjauan satelit Trend Asia pada Juli 2023, terlihat lanskap Suralaya berubah signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Luasan pelabuhan nelayan tergerus, secara otomatis mengakibatkan turunnya aktivitas melaut.
Menurut Juru Kampanye Energi Trend Asia, Novita Indri selama mendampingi warga Suralaya ia mengaku mendapatkan banyak keluhan terkait tangkapan ikan yang makin menurun. Kondisi tersebut terjadi karena wilayah pantai telah tiada utamanya setelah unit 9 dan 10 mulai dibangun.
“Kini nelayan tersisa, mereka hanya dapat 1-3 kg per hari untuk konsumsi pribadi, belum tentu untuk jual ke warga,” ujar Novita.
Pernyataan Novita terbukti. Selaras dengan pengakuan Turnip, rerata ikan yang dijual di Pulo Kilo berasal dari Pesisir Salira yang terbentang di jalur Merak-Serdang. Sebagian lagi ikan datang dari Labuan bahkan dari luar wilayah Cilegon.
Dua nelayan lain yang Prohealth.id temui membenarkan adanya penurunan hasil tangkapan ikan. Rahmani (60) dan adiknya Robidin (50) mengaku masih mencoba melaut dari pelabuhan Suralaya dengan pancingan biasa. Kedua nelayan yang sudah lanjut usia ini masih mengandalkan perahu kayu yang telah mereka gunakan selama lebih dari 20 tahun terakhir.
“Sekarang pun cari ikan di sini ya tidak pakai jala, hanya pakai kail pancing biasa,” tutur Rahmani.
Rahmani mengakui, kerja keras sebagai nelayan memang tidak lagi menguntungkan jika dibandingkan biaya operasional yang harus dikeluarkan. Sekali melaut merogoh isi kantong minimal Rp100.000 untuk biaya bensin kapal. Sementara hasil tangkapan bisa kurang dari 10 ekor. Kalaupun ikan dijual kembali, harga ikan tak lebih dari Rp10.000 yang artinya tetap tidak bisa menutup biaya operasional yang sudah dikeluarkan. Kondisi ini yang membuat makin banyak nelayan muda di Suralaya memilih menjadi buruh proyek.
“Kalau kami ini karena sudah tua, tidak mungkin bisa juga kerja di proyek [unit 9 dan 10],” ujar Rahmani sambil tertawa.
Jenis ikan yang biasa didapatkan adalah ikan teri dan ikan belanak. Ikan belanak mudah didapatkan karena berenang 100 meter sampai 1 kilometer dari bibir pantai. Jika berhasil mendapatkan ikan tersebut biasanya tidak untuk dijual lagi tetapi untuk konsumsi pribadi nelayan dan keluarganya.
Selain di pelabuhan, rerata nelayan di wilayah Suralaya juga mencoba mencari ikan dari Tanjung Pujut, tempat mancing ayahnya Aldo. Lokasi Tanjung Pujut berada tepat di belakang PLTU Suralaya unit 3-5. Dalam peninjauan menuju Tanjung Pujut, akses masuk ke lokasi harus melalui kompleks PLTU. Bagian kiri jalan dari pintu masuk PLTU menuju Tanjung Pujut ada sungai dengan aliran deras air sisa pengolahan batu bara alias air bahang menuju laut lepas. Ketika akan memasuki arena Tanjung Pujut, jalan makin sempit sehingga hanya bisa dilalui dengan motor atau jalan kaki.
Sebelum masuk ke Tanjung Pujut, terlihat papan peringatan tepat di lokasi pembuangan air bahang ‘dilarang memancing di sini.’ Namun, sesampainya di lokasi terdapat beberapa kapal nelayan yang sedang bersandar serta bangunan kecil bertuliskan ‘Sekretariat Nelayan Tanjung Pujut’. Bahkan sekitar 1 kilometer dari Tanjung Pujut, terlihat sebuah kapal nelayan yang sedang memancing di tengah pantai.
Dengan begitu, saat ini hanya ada tiga lokasi untuk memancing ikan, yakni pesisir Pelabuhan Nelayan, Tanjung Pujut, dan pesisir Desa Salira yang hasilnya nanti akan dijual di Pasar Pulo Kilo.
Pengujian ikan-ikan di sekitar wilayah PLTU
Kebiasaan masyarakat untuk memancing di beberapa lokasi ini membuat tim Prohealth.id ingin mencari tahu kandungan logam berat dalam ikan-ikan hasil tangkapan yang dikonsumsi warga. Prohealth.id mencoba menguji air laut dari Tanjung Pujut, dan dua jenis ikan di laboratorium Institut Pertanian Bogor (IPB).
Pengambilan sampel dilakukan pada 28 November 2023. Sampel pertama yang diambil berupa satu liter setengah air laut yang diduga memiliki kandungan timbal dan merkuri. Sementara ikan yang dijadikan sampel adalah ikan teri dan ikan belanak. Ikan teri didapatkan dari pesisir Salira yang dijual di Pasar Pulo Kilo, sementara ikan belanak didapatkan dari Pelabuhan Nelayan Suralaya. Ketiga sampel ini dikemas dengan kotak plastik bening berisi es batu dan ditaruh di lemari pendingin.
Hasil lab menunjukkan, air laut yang diuji mengandung timbal (Pb) sebesar 0.011 mg/L dan merkuri (raksa) sebesar 0.0002 mg/L.
Kandungan timbal dan raksa yang terdeteksi tidak melebihi ambang batas sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut dan juga Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Meski demikian, hasil uji lab menunjukkan temuan berbeda pada ikan belanak dan ikan teri. Menurut Kepmen LHK, PP Nomor 22/2021, dan BPOM, kandungan timbal dan merkuri di ikan belanak dan ikan teri telah melampaui ambang batas.
Ekotoksikologis Prof. Dr. Ir. Etty Riani dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) menyatakan dari jenis ikan yang menjadi sampel yakni belanak dan teri sebenarnya memiliki daya renang yang tidak terlalu jauh.
Oleh karena itu, Prof. Etty menilai untuk mengukur tingginya kadar timbal dan raksa juga perlu melihat juga dari dinamika gelombang laut, besar arus, dan juga bentuk perairan tempat pengambilan ikan tersebut.
“Jika teluk setengah terbuka, apalagi perairan tertutup, banyak pencemar susah keluar sehingga di lokasi tersebut akan tinggi [kadar logam berat],” tutur Etty saat dihubungi Prohealth.id, 29 Januari 2024 lalu.
Dampak Kesehatan Ibu dan Anak
Dokter Spesialis Anak dr. Ari Prayogo Sp.A menjelaskan, cemaran timbal pada anak bisa bersumber dari mana saja. Kandungan bisa berasal dari sumber alam terdekat seperti air dan tanah. Apalagi selama proses pertumbuhan usia 1-3 tahun, anak cenderung aktif mencoba segala sesuatu. Sehingga tanpa sadar anak memasukkan cemaran ke dalam mulutnya.
Masalah kesehatan yang mengintai anak-anak dan dewasa yang terkena pajanan timbal adalah anemia. Penyakit anemia artinya tubuh kekurangan hemoglobin (sel darah merah) sehingga akan memengaruhi kerja seluruh organ tubuh.
“Sel darah merah itu fungsinya sebagai truk yang membawa, mendistribusikan nutrisi, oksigen, ke semua sel-sel dalam tubuh,” tutur dr. Ari.
Jika anak terpapar timbal, maka oksigen dan nutrisi menjadi sulit didistribusikan ke seluruh tubuh. Kondisi lainnya adalah perkembangan anak otomatis terganggu karena sel-sel otak sulit berkembang karena keterbatasan sel darah merah.
Sebagai langkah preventif, penting segera mengidentifikasi gejala anemia pada anak. Biasanya, anak tampak lebih pucat. Tanda pucat yang mudah teridentifikasi pada bagian telapak tangan dan mata bagian dalam.
“Anak dengan anemia biasanya karena darahnya rendah, lebih cepat mengantuk, tidak bersemangat. Kok perkembangannya beda ya? Ini 1.5 tahun kok masih duduk aja, lebih lambat,” ujarnya.
Pendiri Medicuss Foundation yang fokus pada cemaran logam berat pada kesehatan, dr. Jossep Frederick William, membenarkan bahwa cemaran logam dari aktivitas industri akan menghambat pengikatan protein dalam tubuh. Hal itu akan menyebabkan kerusakan organ dimulai dari usus halus yang berperan dalam metabolisme anak.
Gangguan penyerapan nutrisi oleh usus halus inilah yang akhirnya memengaruhi tumbuh kembang anak. Sehingga anak mengalami stunting maupun wasting, dan akhirnya memengaruhi kualitas intelektual anak.
“Perlu diingat masalah tumbuh-kembang anak ini biasanya terlihat di atas usia 5 tahun. Awalnya mungkin hanya ISPA saja, stunting dan wasting belum terlihat,” ujar dr. Jossep.
Menurut Peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr. Dewi Yunia, SpOK, ibu hamil sangat rentan sakit akibat cemaran timbal. Secara umum penyakit yang dialami ibu hamil terkena pajanan timbal adalah kerentanan mengalami anemia.
“Jika cemaran masuk ke darah dan janin, maka akan memengaruhi perkembangan janinnya,” ujar dr. Dewi.
Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Cilegon tahun 2022, terjadi peningkatan pemberian tablet penambah darah bagi ibu hamil. Pada 2020, cakupan pemberian tablet zat besi hanya 91,20 persen. Namun, pada 2021 mengalami kenaikan menjadi 95,71 persen. Cakupan pemberian tablet penambah darah tertinggi adalah di Kecamatan Pulomerak.
Sebenarnya Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah mengeluarkan rekomendasi tata laksana keracunan timbal pada darah. Adapun terapi yang ditawarkan adalah klasi/pengikatan. Tata laksana ini menyebut jikalau kadar timbalnya tinggi sekali, maka dibutuhkan penanganan dengan cairan obat melalui intravena untuk mengikat darah. Sebaliknya, jikalau kadarnya tidak tinggi, dan tanpa ada gejala klinis maka sel darah merah bisa diikat dengan obat oral.
“Intinya pencegahan dilakukan agar timbal tidak tersimpan dalam organ padat tubuh misalnya saraf, ginjal, atau tulang.”
Kata dr. Dewi, jika pajanan timbal bertahan sampai 30 tahun lebih, maka potensi penyakit kritis lebih besar yakni; masalah ginjal, hipertensi, bahkan bisa memengaruhi saraf pusat. Ini mengakibatkan gangguan prefrontal cortex otak besar depan, hippocampus, dan cerebellum. Kondisi tersebut bisa menyebabkan gangguan perilaku, memori, gangguan keseimbangan.
Bidan UPTD Puskesmas Pulomerak Indah mengatakan, masalah kesehatan yang paling banyak ditangani di Pulomerak adalah anemia. Beberapa penyebab anemia menurut Bidan Indah adalah karena rendahnya kesadaran untuk pemenuhan gizi, maupun masalah pernikahan dini yang membuat kesehatan ibu belum optimal.
Samanah, Kepala Seksi Perekonomian dan Pemberdayaan Masyarakat Kecamatan Pulomerak menyebut saat ini Kota Cilegon sangat gencar untuk mewujudkan zero stunting. Begitu pun upaya untuk meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan anak.
Berdasarkan data yang diterima Prohealth.id, dari Kecamatan Pulomerak, Kelurahan Lebak Gede memang masih mencatatkan angka stunting yang tinggi. Itu sebabnya muncul inisiatif program orang tua asuh dan pemberian makanan tambahan untuk membantu pemenuhan suplai makanan bergizi bagi anak-anak di wilayah tersebut.
Menanggapi hal itu, Samanah menyebut bahwa pihak kecamatan hanya mendata informasi yang diberikan dari kelurahan. Ia pun menyebut data di Kelurahan Suralaya sangat dipengaruhi dengan jumlah penduduknya yang lebih sedikit ketimbang kelurahan lain.
“Di Suralaya tidak menjawab yang stunting. Jadi sampai saat ini ya, aman. Secara data, aman,” katanya.
Tim Prohealth.id menemukan fakta berbeda di lapangan. Dari hasil pengamatan saat berbincang dengan warga setempat, beberapa anak terlihat mengalami stunting atau wasting.
Menanti Jaminan Hukum untuk Pencemaran
PT PLN Indonesia Power sebagai perusahaan yang melakukan aktivitas industri terbesar wilayah Suralaya mengklaim bahwa masalah pencemaran udara sama sekali tidak disebabkan oleh operasi PLTU.
Meski demikian, Indonesia Power belum memberikan tanggapan terkait hasil uji laboratorium yang menemukan adanya pencemaran logam berat dalam tubuh ikan yang ditangkap di sekitar wilayah PLTU Suralaya. Sampai dengan 7 Februari 2024, pihak Indonesia Power tidak merespons permintaan wawancara dari Prohealth.id melalui WhatsApp, telepon langsung, juga melalui email.
Secara terpisah, Marlistya Citraningrum selaku Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan pihaknya memang sudah melakukan riset kesehatan masyarakat di wilayah Suralaya pada 2023.
Riset IESR bersama Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) itu menemukan, polusi udara dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara berpotensi menyebabkan 1.470 kematian setiap tahun.
Citra menyarankan, PLTU 1-2 Suralaya segera dipensiunkan untuk meminimalisasi dampak kesehatan karena polusi dan cemaran dari aktivitas PLTU.
Selain itu, dalam rangka menjamin transisi energi berkelanjutan tidak mengabaikan kesehatan ibu dan anak, penting untuk menerapkan standar kesetaraan gender, disabilitas dan inklusi sosial (GEDSI).
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhillah juga menambahkan ada beberapa penyebab sebuah perusahaan mangkir dari tanggung jawab terhadap pengendalian dampak lingkungan hidup.
Pasalnya, insentif untuk menghemat biaya yang menjadi alasan perusahaan tidak menaati kewajiban untuk patuh pada aturan ambang batas atau baku mutu lingkungan hidup. Padahal perusahaan harus mengeluarkan biaya untuk mengelola limbah atau emisi dari kegiatannya
“Apabila kemungkinan pelanggaran ambang batas itu tidak terdeteksi, tentu perusahaan akan memilih untuk tidak taat,” kata Fajri saat dihubungi Prohealth.id pada 7 Februari 2024.
Ia menyebut ada konsekuensi yang tetap menanti perusahaan ketika abai terhadap tanggung jawabnya. Adapun ketentuan penjatuhan sanksi administrasi untuk pelanggaran baku mutu lingkungan hidup masih ada dalam aturan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pasca perubahan Undang-Undang Cipta Kerja.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Infografis: Abdus Somad
Editor: Marina Nasution
Liputan ini hasil program fellowship Peliputan Berbasis Sains yang diselenggarakan ISN Lab by Society of Indonesian Science Journalists (SISJ) dan didukung Google News Initiative (GNI).
Discussion about this post