Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) bersama Komnas Pengendalian Tembakau mengadakan diseminasi hasil penelitian “Studi Perbandingan Kebijakan Pengendalian Minuman Beralkohol dan Produk Tembakau”.
Studi ini bertepatan dengan momentum Hari Anak Nasional 2023, pada 23 Juli lalu. Untuk itu, studi tersebut diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan referensi bagi Pemerintah dalam melihat produk zat adiktif yang harus secara ketat diatur tanpa pandang bulu.
Dalam forum tersebut, dr. Adhi Wibowo Nurhidayat, Sp.KJ. MPH selaku praktisi Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), saat ini berbagai bahaya produk tembakau yang mengintai anak, mulai dari ketagihan, peningkatan dosis, hingga keterpaparan anak pada narkotika. Menurut dr. Adhi, proses pematangan otak masih berlangsung hingga 20 tahun sehingga bila anak sudah mengkonsumsi rokok yang mengandung zat adiktif nikotin sebelum mencapai usia tersebut, maka mereka akan terus teradiksi.
Gina Sabrina dan Fazal Akmal selaku perwakilan tim peneliti dari PBHI memaparkan hasil studi yang berfokus pada perbandingan izin produksi, peredaran, iklan dan promosi, produk tradisional, cukai serta implementasi kebijakan terhadap 2 (dua) produk tersebut. Berdasarkan hasil perbandingan beberapa aspek tersebut, ditemukan bahwa terdapat diskriminasi terhadap upaya pengendalian tembakau. Hal ini berbanding terbalik dengan pengaturan ketat yang telah diberlakukan terhadap minuman beralkohol.
“Padahal, hukum dapat menjadi alat rekayasa sosial demi mengendalikan produk tembakau agar tidak dapat dijangkau oleh anak-anak dan remaja sama seperti minuman beralkohol. Hal ini penting, mengingat bahwa negara memiliki kewajiban atas pemenuhan kesehatan dengan standar tertinggi kepada setiap orang,” ujar Gina.
Penelitian tersebut melahirkan beberapa rekomendasi terkait upaya pengendalian tembakau demi menjaga generasi bangsa yang berkualitas.
Pertama, pemerintah beserta jajaran kementerian dan lembaga terkait perlu menyamakan perlakuannya terhadap produk tembakau sebagaimana yang telah dilakukan dalam mengatur produk minol. Dengan begitu, tidak ada standar ganda dalam meregulasi produk yang sama-sama mengandung zat adiktif.
Pemerintah juga perlu menekankan pentingnya aspek kesehatan, alih-alih sekedar mempertimbangkan aspek ekonomi dari konsumsi produk tembakau. Hal-hal tersebut pada akhirnya dapat direalisasikan dengan memprioritaskan pembuatan Rancangan Undang-Undang Pengendalian Produk Tembakau dan memperketat implementasi kebijakannya di lapangan.
Respon pemerintah dan beban ganda anak
Menanggapi hasil penelitian, perwakilan pemerintah menyampaikan pandangannya. Anggin Nuzula Rahma, Plt. Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengungkapkan kekhawatirannya atas kondisi pengendalian tembakau saat ini, di antaranya tentang keterpaparan anak terhadap iklan rokok dan regulasi industri produk tembakau di ranah privat serta stigma terhadap anak yang merokok.
“Dalam pasal 59 UU No.23 Tahun 2002, terdapat 15 kategori anak yang wajib diberikan perlindungan khusus oleh negara, salah satunya adalah anak yang terpapar rokok. Tugas tersebut bukan hanya tugas Kemen PPPA, namun merupakan tugas bersama antar instansi pemerintahan,” terang Anggin.
Sementara itu, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau, P2PTM, Kemenkes, Benget Saragih menyampaikan dukungannya terhadap hasil studi yang disampaikan.
“Kami sangat setuju jika minol (minuman beralkohol) dan rokok diatur dengan sama tanpa kesenjangan.”
Menurutnya, selain masyarakat, kementerian dan lembaga terkait dan juga harus mendukung kebijakan pengendalian produk tembakau demi mendorong perbaikan generasi ke depannya.
“Kewenangan Pemerintah Daerah terhadap produksi minuman beralkohol sangatlah kuat karena pengaturan dari pemerintah pusat sudahlah kuat,” ujarnya membandingkan aturan minol dengan rokok.
Moga Simatupang, Plt. Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan menyampaikan bahwa kementeriannya telah melakukan proses komparasi dengan lembaga pengendalian tembakau di Singapura. Ia juga mengatakan bahwa Kementerian Perdagangan telah berusaha melakukan koordinasi dengan kementerian dan lembaga lain terkait dengan peraturan turunan dan revisi dari PP 109 Tahun 2012 yang menurutnya akan menguatkan pengawasan pendistribusian dan peredaran produk tembakau.”
Sementara itu Edy Sutopo selaku Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar (Mintemgar) Kementerian Perindustrian menyatakan perlunya upaya edukasi yang melibatkan tokoh masyarakat, tokoh keagamaan, serta orang tua. Namun, Edy juga menekankan perlunya memperhatikan kondisi industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia yang menurutnya semakin menyusut, berbanding terbalik dengan peningkatan prevalensi perokok yang ada.
Selain para penanggap, kegiatan diseminasi tersebut juga turut dihadiri oleh berbagai perwakilan dari institusi pemerintahan, mulai dari KPAI, BPOM, Kemenko PMK, BAPPENAS, Kementerian Sosial, BNN, Kemensos, Setkab, serta organisasi-organisasi masyarakat sipil yang memiliki perhatian pada isu pengendalian konsumsi rokok.
Komnas Pengendalian Tembakau berharap, melalui diseminasi penelitian ini, pemerintah akhirnya dapat lebih memantapkan sinerginya dan membangun komitmen yang serius dalam mengatur peredaran tembakau dan mengawasi implementasinya demi menjamin hak kesehatan masyarakat, khususnya anak sebagai generasi penerus bangsa ke depannya, dan tidak lagi menerapkan standar ganda dalam pengaturan produk-produk yang mengandung zat adiktif.
Discussion about this post