Jakarta, Prohealth.id – Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal Sektoral Titik Anas mengakui dalam beberapa tahun terakhir, cukai hasil tembakau di dalam APBN nilainya naik terus.
“Di 2019 ketika pemerintah tidak menaikkan cukai, penerimaannya juga naik,” katanya dalam lokakarya daring Aliansi Jurnalis Independen Jakarta.
Pada tahun 2022, penerimaan cukai diproyeksikan mencapai Rp203,9 triliun didukung dengan perluasan basis cukai, seperti cukai produk plastik. Selain itu, penerimaan cukai konsisten meningkat, meskipun melambat di tahun 2020 – 2021 akibat pandemi.
Cukai hasil tembakau merupakan satu instrumen untuk pengendalian konsumsi. Pasalnya, pemerintah ingin agar konsumsi rokok bagi anak prevalensinya turun menjadi 8,7 pemerintah di tahun 2024.
“Jika melihat data 2019, angka prevalensinya masih tinggi, yakni 9,1 persen. Ini menunjukkan bahwa prevalensi yang akan diturunkan cukup banyak,” katanya.
Sepanjang 2013 – 2021, Titik mengatakan, harga rokok semakin mahal sesuai affordability index yang juga meningkat. Semakin lama rokok semakin tidak affordable. Hal ini bisa dilihat dari Relative Income Price (RIP) yang selalu naik, khususnya penjualan miliar batang di dua tahun terakhir.
Pada tahun 2021, penjualan rokok diperkirakan sebesar 13,4 miliar batang. Namun jika dilihat produksinya, kecenderungannya menurun dalam kurun 8 tahun terakhir.
“Di tahun 2020, penjualan rokok mengalami penurunan hingga 322 miliar batang, turun -9,7 persen dari tahun 2019. Penjualan rokok mengalami pertumbuhan negatif,” ungkap Titik.
Berdasarkan estimasi, kenaikan tarif pada 2021 akan meningkatkan harga rokok. Namun jika dilihat dari sisi harga, rokok di Indonesia masih lebih rendah dari Singapura dan Malaysia, namun lebih tinggi dari Thailand, Philipina dan Vietnam.
CUKAI ROKOK
Cukai rokok di Indonesia merupakan mekanisme pengendalian, karena industri hasil tembakau merupakan industri yang regulated. Salah satu instrumen pengendaliannya melalui cukai.
“Dari cukai, pemerintah mendapatkan revenue. Revenue terbesar cukai masih berasal dari produk tembakau,” ujar Titik.
Dalam short dan medium term, Titik menegaskan akan ada bahan tambahan cukai, termasuk diantaranya adalah plastik yang sudah disetujui oleh DPR. Hal itu diperlukan untuk pembangunan yang lebih hjau.
“Dalam pengenaan cukai, pemerintah selalu mendapatkan izin dari DPR. Termasuk juga item-item baru dalam cukai,” terangnya.
Selama itu, peran penerimaan cukai terhadap penerimaan negara dari perpajakan telah mencapai 10 persen -11 persen. Penerimaan dominan berasal dari cukai hasil tembakau, rata-rata proporsinya mencapai 96 persen.
PRODUK HASIL TEMBAKAU
Pada tahun 2018, produksi hasil tembakau tujuan dalam negeri telah mencapai 332,38 miliar batang. Angkanya meningkat menjadi 356.54 miliar batang pada 2019 dan di tahun 2020, produksinya turun menjadi 321.99 miliar batang.
Adapun kenaikan tarif cukai hasil tembakau pada 2018 sebesar 10,04 persen dan pada 2019 menjadi 0 persen karena pemilu. Pada 2020, kenaikan cukai mencapai 23 persen, dan pada 2021 menjadi 12,50 persen.
“Ada satu lagi yang menarik, ketika rokok di ekspor. Jika memang ada produksi di dalam negeri, maka di dukung untuk diekspor,” katanya.
ROKOK ILEGAL
Titik Anas menjelaskan bahwa ada gap harga rokok legal dan Ilegal. Kesenjangan itu ditemukan berdasarkan survei yang dilakukan oleh Dirjen bea cukai bersama UGM pada tahun 2020. Servei tersebut menunjukkan rokok ilegal memang eksis.
“Misalnya makin mahal suatu barang, maka potensi menjadi ilegal atau black market sangat mungkin terjadi. Hal tersebut juga terjadi pada rokok,” ujarnya.
Secara umum, rokok ilegal dikategorikan berdasarkan berbagai hal, yakni; bekas, palsu, polos, salson dan saltuk. “Diketahui disparitas dari harga tertinggi mencapai 140 persen,” katanya.
Sementara rokok legal meliputi rokok golongan 1, golongan 2 dan golongan 3. Pada tahun 2020, keberadaan rokok ilegal masih beririsan dengan harga rokok golongan 2 dan 3.
“Secara agregat, konsumsi rokok di Indonesia terdiri dari rokok legal dan rokok ilegal,” terang Titik.
Untuk meminimalisir peredaran rokok ilegal, salah satu caranya melalui kenaikan tarif cukai. Selain itu, legal enforcement juga harus ditegakkan.
“Dirjen Bea Cukai telah terlibat dalam pemantauan dan penindakan terhadap rokok ilegal. Sejak tahun 2013 hingga 2019 penegakan rokok ilegal semakin baik,” paparnya.
Pada tahun 2014, ditemukan rokok ilegal sebanyak 901 kasus. Di tahun 2015 ada 12232 kasus, meningkat 2374 kasus di tahun 2016. Peningkatan juga terjadi di tahun 2017 menjadi 3369 kasus. Di tahun 2018 meningkat lagi menjadi 5436 kasus dan 2019 ada 6327 kasus.
“Berdasarkan survei DBC dengan UGM menunjukkan bahwa presentase rokok ilegal pada 2013 – 2020 sangat beragam,” katanya.
Sementara itu, prevalensi rokok ilegal pada 2010 besarnya 6,1 persen, lalu di tahun 2012 naik 8 persen. Di tahun 2014 meningkat lagi menjadi 11,7 persen dan di tahun 2016 mencapai 12,1 persen.
“Di tahun 2017 naik terus 10,9 persen, lalu turun 7 persen di 2018 dan 2019 menjadi 3 persen,” ujar Titik.
Meskipun kenaikan tarif cukai berpotensi meningkatkan rokok ilegal, namun peningkatan penegakan hukum dan anggaran terbukti ampuh menekan peredaran rokok ilegal.
KEBIJAKAN DBHCHT
Pemerintah telah menetapkan alokasi penggunaan pajak rokok, untuk beberapa keperluan, seperti pelayanan kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan tersebut meliputi: pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan smoking area, kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok.
Alokasi lainnya terkait penegakan hukum. Menurut Titik, sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah yang dapat dikerjasamakan dengan pihak/instansi lain, maka pemberantasan peredaran rokok ilegal dan aturan mengenai larangan merokok di Kawasan Tanpa Rokok (KTR) harus ditegakkan.
Khusus alokasi dana bagi hasil tembakau dapat digunakan untuk dua hal, yakni terkait kesehatan dan kesejahteraan petani/ buruh tani tembakau dan buruh rokok.
Alokasi untuk kesehatan dapat digunakan untuk sejumlah hal, seperti: bantuan iuran JKN, peningkatan kesehatan masyarakat melalui kegiatan promotif/ preventif maupun kuratif/ rehabilitatif, mendukung penurunan prevalensi stunting dan upaya penanganan pandemi Covid-19.
“Juga pengadaan/pemeliharaan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan dan layanan kesehatan,” katanya.
Sementara untuk kesejahteraan masyarakat, khususnya petani/ buruh tani tembakau dan buruh rokok, DBH CHT meliputi dukungan melalui program peningkatan kualitas bahan baku, seperti: bantuan bibit/benih/pupuk, sarana produksi kepada petani tembakau (diversifikasi tanaman), pelatihan peningkatan kualitas tembakau dan kemitraan antara petani tembakau dengan perusahaan mitra
Dukungan lainnya melalui program pembinaan lingkungan sosial, berupa: BLT bagi buruh tani tembakau dan buruh rokok dan pelatihan profesi serta bantuan modal usaha.
Selain itu, DBH CHT juga digunakan untuk penegakan hukum (Low Enforcement). Hal itu meliputi; pembentukan kawasan/lingkungan/sentra industri hasil tembakau dan operasi bersama pemberantasan BKC ilegal dan sosialisasi ketentuan di bidang cukai.
REFORMASI KEBIJAKAN CUKAI
Titik mengatakan Indonesia telah mencentang hampir seluruh WHO tobacco taxes reform checklist. Terbukti di tahun 1995 – 2007 Indonesia menggunakan sistem cukai advalorem. Lalu sejak tahun 2007 – 2008 sistem cukai telah berubah menjadi hybrid, dan sejak 2009 hingga sekarang menggunakan sistem spesifik.
Terkait struktur cukai, Indonesia pernah mencapai 19 layer di tahun 2009 dan tahun 2019 berkurang menjadi 10 layer. “Ini merupakan bentuk simplifikasi struktur tarif cukai. Jadi sekarang jadi lebih sedikit layernya,” katanya.
Dari sisi tarif, pemerintah telah menaikkan tarif cukai secara reguler setiap tahunnya. Kenaikannya bahkan melebihi angka inflasi dan pertumbuhan.
“Pada tahun 2020, tarif cukai naik sebesar 23 persen, lalu turun menjadi 12,5 persen di tahun 2021,” terang Titik.
Saat ada pertanyaan, apakah tarif yang tinggi mampu mencegah perokok anak? Titik mengatakan, “Melihat layer dan struktur industri, maka kita punya industri skala kecil yang tarifnya jauh lebih kecil ketimbang industri besar (SKM).”
Dari sisi penegakan hukum, sejumlah hal telah dilakukan, diantaranya: meningkatkan penindakan terhadap rokok ilegal. “Akibatnya rokok ilegal turun dari 7 persen tahun 2018 menjadi 3 persen tahun 2019,” ujarnya.
Dari sisi harga, pemerintah telah melakukan beberapa langkah taktis, seperti: mengatur harga minimum banderol dan harga transaksi pasar. Pemerintah juga memonitor pasar. Tak hanya itu, pemerintah juga menggunakan tools kebijakan untuk mengestimasi dampak kebijakan cukai pada harga rokok, konsumsi dan penerimaan negara.
“Semua itu merupakan reformasi kebijakan cukai,” terang Titik.
Namun diluar itu, berdasarkan demand site, faktor pendidikan menjadi sangat penting. “Bahwa merokok itu tidak baik untuk kesehatan, itu perlu ditanamkan dari sejak anak-anak di sekolah. Kita harus sampai menuju kesana,” katanya.
Selanjutnya, jika si anak telah dewasa, maka ia bisa memutuskan mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk dirinya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post