Jakarta, Prohealth.id – Lebih dari 2.4 juta orang di seluruh Asia Tenggara terkena tuberkulosis, berdasarkan Global TB Report 2024.
Indonesia, Myanmar, Filipina, Thailand, dan Vietnam, masuk daftar negara dengan beban TBC tertinggi di dunia versi World Health Organization (WHO). Indonesia juga memiliki beban TBC tertinggi kedua di dunia. Menurut Laporan Global Tuberkulosis WHO (2023), Indonesia menyumbang 10 persen dari kasus TBC global pada tahun 2022.
Pada tahun 2022, diestimasikan lebih dari 1 juta orang di Indonesia terkena TBC dengan angka kasus sebesar 385 per 100.000 penduduk. Lalu ada 134.000 kematian yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah kematian tertinggi kedua di dunia setelah India akibat TBC.
Pandemi Covid-19 telah memperburuk situasi dengan mengakibatkan penurunan pendanaan TBC di Indonesia sekitar 8,7 persen antara tahun 2019 dan 2020. Dampak lainnya ialah dapat memperluas kesenjangan pembiayaan TBC. Untuk itu perlu meningkatkan upaya dalam menanggulangi TBC di tengah tantangan yang ada.
Berkaca dari data itu, guna meningkatkan sistem kesehatan dan kesiapan melawan pandemi, serta mengatasi masalah infeksi pernafasan udara hadirlah Airborne Infection Defense Platform (AIDP). Peresmian AIDP berlangsung saat side event ASEAN Health Ministers Meeting (AHMM) ke-16.
H.E. Dr. Bounfeng Phoummalaysith selaku Menteri Kesehatan dari Republik Rakyat Laos memberikan sambutan pada peluncuran AIDP. Turut hadir dalam peluncuran AIDP, perwakilan Kementerian Republik Indonesia drs. Bayu Teja Muliawan, S.H., M.Pharm, M.M., Apt., dan Dr. Teodoro Javier Herbosa selaku ketua dewan Stop TB Partnership. Hadir pula sejumlah delegasi dari negara Asia Tenggara lainnya.
Momentum AHMM ini bertujuan memahami situasi tuberkulosis dan kesiapan penanganan pandemi di seluruh Asia Tenggara. Selain itu juga memperkuat kerja sama antara para pemangku kepentingan, dan memperkuat kapasitas negara untuk melawan penyakit yang ditularkan melalui udara.
AIDP mendapat dukungan United States Agency for International Development (USAID) dan Stop TB Partnership Geneva bersama Stop TB Partnership Indonesia (STPI) bertugas melakukan implementasinya. Keduanya adalah lembaga non-profit yang berfokus pada upaya eliminasi TBC. Platform AIDP juga telah mendapat persetujuan negara anggota ASEAN.
Dalam dialog kepemimpinan, Bayu Teja Muliawan, Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyatakan tahun pertama pandemi, pemerintah menghadapi tantangan besar dalam penanggulangan TBC. Tercermin dari pelaporan kasus TBC menurun. Namun, hal ini dapat pulih kembali pada tahun kedua pandemi. Tingkat pelaporan tahun 2022 berhasil mencapai 70 persen dan 80 persen pada tahun 2023. Alhasil, capaian ini menjadi yang tertinggi dalam sejarah Indonesia.
Ia menyebut, keberhasilan Indonesia untuk bangkit setelah pandemi adalah berkat monitoring yang intens setiap minggu dari Menteri Kesehatan. Kunci lain dari penanggulangan TBC adalah kemampuan dalam bekerja sama dengan para pemangku kepentingan multisektor dan donor, termasuk kementerian, entitas sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil.
“Kami juga mencari kolaborasi di seluruh ASEAN, untuk terus bekerja bersama dan memastikan bahwa kami dapat lebih kuat sebagai satu komunitas Asia,” ujarnya melalui siaran pers, Senin (12/8/2024).
Untuk memperkuat kolaborasi dalam melawan penyakit menular melalui udara, AIDP bekerja sama dengan negara-negara ASEAN dan organisasi-organisasi global untuk menyusun kebijakan dan metodologi. Kolaborasi saling bertukar pengetahuan, fasilitas, teknologi, dan sumber daya manusia. Tujuannya meningkatkan kapasitas melawan TBC dan memperkuat kesiapsiagaan terhadap pandemi.
Prof Tjandra Yoga Aditama MD, Senior Advisor Stop TB Partnership Indonesia & Project Lead Airborne Infection Defense Platform (AIDP) menambahkan, tingginya angka kematian akibat pandemi Covid-19 menunjukan bahwa dunia belum siap untuk memerangi penyakit yang menular melalui udara. Selain menelan banyak nyawa, Covid-19 juga berdampak serius pada program pencegahan, akses, dan pengobatan TBC. Situasi TBC di ASEAN sangat memprihatinkan, dengan banyak negara di kawasan ini masih menghadapi tantangan besar dalam mengendalikan dan menangani TBC.
“Hal ini menunjukan pentingnya kerja sama dengan ASEAN guna memperkuat sistem penanggulangan TBC. Tidak hanya untuk meningkatkan kapasitas melawan TBC, tapi juga untuk memperkuat kesiapsiagaan terhadap pandemi,” ujarnya.
AIDP akan berfokus pada penguatan respon TBC di setiap negara ASEAN, termasuk di tingkat komunitas dan pelayanan primer. Hal ini bertujuan meningkatkan infrastruktur layanan kesehatan yang ada untuk meningkatkan deteksi, pengobatan, dan pencegahan. Upaya ini juga mencakup pemanfaatan platform teknologi yang semakin berkembang sejak pandemi Covid-1. Termasuk X-ray digital portabel yang memungkinkan pelaksanaan tes TBC di daerah tanpa berpergian ke rumah sakit atau klinik. Ada teknologi diagnostik molekuler cepat, dan alat pengawasan berbasis real-time. Berbagai langkah kesiapsiagaan TBC ini akan bermanfaat dalam menghadapi pandemi di masa depan, yang kemungkinan besar adalah penyakit menular melalui udara.
Dr. Suvanand Sahu, Deputi Eksekutif Direktur Stop TB Partnership mengatakan fase pertama mulai dengan pengumpulan data di 10 negara ASEAN. Data akan memberikan gambaran pada kapasitas setiap negara dalam menanggulangi TBC dan pandemi. Pengumpulan data juga membantu merekomendasikan tindakan untuk mencapai kesiapsiagaan melawan pandemi yang lebih baik.
Selanjutnya, fase kedua akan berupa dukungan kepada komunitas dan pelayanan kesehatan primer serta inisiatif-inisiatif untuk memperkuat kapasitas penanggulangan TBC di seluruh ASEAN agar dapat menangani airborne respiratory infections atau pandemi. Ia mengucapkan terima kasih kepada USAID atas komitmennya dalam upaya mengeliminasi TBC di seluruh dunia, terutama di kawasan ASEAN, yang telah membantu mewujudkan AIDP.
“Tidak lupa kami memberikan apresiasi kepada Pemerintah Lao PDR atas kepemimpinan mereka dalam menyelenggarakan pertemuan pertama AIDP.”
Ketua Dewan Stop TB Partnership, Dr. Teodoro Herbosa membenarkan bahwa sistem yang kuat dalam menanggulangi TBC menjadi kunci menangani penyakit yang menular melalui udara.
TBC memiliki tingkat kematian yang tinggi, mendekati 15 persen, sedangkan Covid-19 memiliki persentase 3.5 persen. Penelitian oleh Hogan, dkk (2020) menunjukan bahwa pencegahan dan pengobatan TBC berpengaruh secara signifikan selama pandemi Covid-19. Tercermin dari penemuan kasus TBC menurun. Selain itu, penularannya dalam rumah tangga meningkat, tingkat vaksinasi BCG menurun. Sementara akses terhadap obat dan tes TBC juga turut menurun.
“Berinvestasi untuk mengatasi TBC merupakan investasi untuk mengatasi semua infeksi yang ditularkan melalui udara,” kata Dr. Teodoro.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post