Jakarta, Prohealth.id – Orang yang pernah terinfeksi Covid-19 akan memiliki daya tahan lebih kuat dalam menghadapi virus corona karena sistem imun seseorang yang pernah terpapar Covid-19 telah mengenali karakter virus tersebut sehingga lebih siap menghadapinya ketika terpapar kembali.
Menurut dr. Yoga Fitria Kusuma, Sp.PD, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Primaya Evasari Hospital, walaupun telah terinfeksi Covid-19, tetap ada kemungkinan orang tersebut mengalami infeksi lagi setelah dinyatakan sembuh. Kondisi ini dinamai reinfeksi Covid-19.
“Reinfeksi Covid-19 terjadi ketika seseorang yang sudah sembuh dari infeksi virus corona terinfeksi lagi oleh struktur virus corona yang berbeda dengan infeksi virus corona sebelumnya,” ujar dr. Yoga melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Selasa (27/7/2021).
Dia menambahkan bahwa reinfeksi berbeda dengan repositif atau reaktivasi virus yakni kondisi ketika virus corona yang masih tersisa di tubuh menginfeksi orang itu lagi atau artinya infeksi disebabkan oleh virus dengan struktur yang sama.
Untuk membedakan antara reinfeksi dan repositif/reaktivasi, harus ada pengambilan sampel untuk mengurutkan genome (informasi genetik) virus. Sampel berasal dari tes pada kasus positif yang pertama dan kedua. Peneliti mengurutkan kedua sampel itu dan membandingkannya untuk mengetahui apakah ada kesamaan struktur atau varian. Bila berbeda, berarti pasien mengalami reinfeksi Covid-19.
Namun, pengurutan genome virus bukanlah pekerjaan ringan. Harus ada tenaga terlatih serta perlengkapan dan laboratorium dengan standar tertentu untuk melakukannya. Pengurutan genome juga membutuhkan waktu lama.
Di Indonesia, belum ada panduan khusus untuk menangani kasus reinfeksi dan repositif.
“Pasien yang positif Covid-19 untuk kedua kalinya ditangani dengan cara sama ketika pertama kali positif,” terangnya.
Dalam sebuah penelitian di Nuffield Department of Medicine di University of Oxford, Amerika Serikat, menemukan banyak kasus reinfeksi Covid-19 kemungkinan besar adalah repositif. Oleh sebab, virus corona bisa menyebabkan infeksi dalam waktu lama dan struktur genome-nya membuat virus mampu bertahan di dalam tubuh. Virus ini pun bisa tak terdeteksi dalam tes dan siap untuk menyerang sekali lagi.
Namun, pada dasarnya reinfeksi Covid-19 jarang terjadi. Menurut penelitian di Public Health England Colindale di Inggris dan Statens Serum Institut di Denmark, orang yang pernah terinfeksi virus corona mendapat perlindungan hingga 80 persen dari infeksi kedua.
Adapun dari penelitian di Denmark, perlindungan terhadap warga lanjut usia (di atas 65 tahun) hanya 47 persen. Dengan demikian, mengacu pada hasil penelitian tersebut, kalangan lansia tergolong lebih berisiko mengalami reinfeksi.
Analisis dari riset tersebut menunjukkan di antara orang yang positif pada gelombang Covid-19 pertama, sebanyak 0,65 persen positif kembali pada gelombang wabah kedua. Orang yang memiliki penyakit penyerta (komorbid) juga lebih mungkin terkena infeksi kedua.
Hal ini mengafirmasi bahwa meski tubuh sudah mengembangkan sistem imun untuk melawan Covid-19, masih ada kemungkinan seseorang dapat reinfeksi. Apalagi, Covid-19 pun bisa berkembang atau bermutasi sehingga memiliki banyak varian dengan karakternya masing-masing. Menurut sejumlah penelitian, beberapa varian mampu melawan sistem imun manusia.
“Maka dari itu, orang yang pernah terinfeksi Covid-19 tetap harus menerapkan protokol kesehatan. Sama halnya seperti orang yang sudah mendapat vaksin. Walaupun vaksin memberikan perlindungan terhadap serangan virus, orang yang telah divaksin masih bisa terinfeksi jika terpapar virus Corona penyebab Covid-19,” tuturnya.
Hingga saat ini, berbagai penelitian belum sampai pada satu kesimpulan apakah gejala reinfeksi pasti lebih parah dibanding sebelumnya atau tidak. Dokter di Gulhane Training and Research Hospital di Turki menyebutkan terdapat pasien yang pada infeksi pertama tak mengalami gejala, namun saat reinfeksi mengalami gejala ringan. Sedangkan, bila pada infeksi pertama harus dirawat di rumah sakit, pasien memerlukan perawatan intensif saat reinfeksi, terutama kalangan lansia yang memiliki penyakit penyerta.
Namun beberapa penelitian lain menemukan tidak ada perbedaan gejala antara infeksi pertama dan kedua. Malah ada pasien yang gejalanya lebih ringan ketika terkena reinfeksi Covid-19.
“Salah satu faktor yang diduga berpengaruh adalah sistem imun. Jika imun yang terbentuk dari infeksi pertama masih kuat dan bisa melawan virus corona, maka gejalanya akan ringan atau bahkan tidak ada gejala. Sedangkan, bila imun sudah lemah atau tidak dapat menemukan virus corona yang menyerang tubuh seseorang, maka gejalanya bisa lebih berat,” tegasnya.
Virus corona penyebab Covid-19 tergolong jenis baru sehingga belum ada penelitian yang bisa memastikan berapa lama antibodi dapat bertahan, baik antibodi yang terbentuk alami akibat infeksi Covid-19 maupun yang berasal dari vaksinasi.
Dari sejumlah kasus reinfeksi Covid-19 juga belum bisa ditarik kesimpulan karena jarak antara infeksi pertama dan kedua yang dilaporkan bervariasi. Ada yang baru dua bulan negatif ternyata terinfeksi lagi. Ada juga reinfeksi yang terjadi setelah setahun sembuh. Penelitian masih berlangsung untuk memahaminya lebih lanjut.
Dia menjelaskan sistem imun yang terbentuk dari infeksi pertama akan mengingat karakter virus yang menyerang di kemudian hari. Namun, ada kemungkinan sistem antibodi itu lupa atau tak mengenali bila bertemu virus dengan varian berbeda.
Kemudian, apakah seseorang bisa terinfeksi Covid-19 jika sudah divaksin? Menurut dr. Yoga Fitria, vaksin bukanlah jaminan orang tidak akan terinfeksi Covid-19. Vaksin hanya sarana untuk membentuk antibodi guna memberikan perlindungan terhadap serangan virus. Proses pembentukan antibodi pun tidak berlangsung sekejap. Oleh karena itulah sebagian besar vaksin membutuhkan hingga dosis dua kali untuk memberikan perlindungan maksimal.
“Dengan demikian, orang yang sudah divaksin masih bisa terinfeksi Covid-19. Namun, risiko infeksi itu lebih kecil daripada orang yang belum mendapat antibodi dari vaksin. Jikapun terinfeksi, besar kemungkinan gejalanya hanya ringan atau tanpa gejala sehingga risiko sakit parah hingga perlu dirawat di rumah sakit lebih kecil,” tuturnya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post