Jakarta, Prohealth.id – Sejumlah petani dalam diskusi publik mengenai “Mewujudkan Kesejahteraan Petani Tembakau melalui Alokasi DBH CHT yang Tepat Sasaran” mengakui belum mengakses apalagi memanfaatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.
Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Kementerian Pertanian, Hendratmojo Bagus Hudoro menyebut dalam proses pemerataan DBHCHT, petugas pendamping/dinas kabupaten/provinsi berperan sebagai pembina petani tembakau. Terutama untuk melakukan sosialisasi DBH CHT, penyusunan rencana pemanfaatan, pemberdayaan petani beserta kelembagaannya, pembinaan/pengawalan, monitoring-evaluasi, dan pelaporan.
Dia menjelaskan, lokasi anggaran ini mengalir ke pemerintah daerah, oleh Biro Keuangan Daerah baru kemudian didistribusi sesuai dengan porsi yang ada. Hendratmojo berpendapat hal ini tampaknya belum ada sinergi antara dinas-dinas pembina teknis dari alokasi 15 persen yang ada.
“Kemudian juga belum terjalin arus yang betul bagaimana komunikasi yang berjalan antara petani sebagai penerima dan pengelola anggaran yang mempunyai kewenangan dalam merealisasikan anggaran,” tegasnya.
Padahal, rincian penggunaan DBH CHT sudah diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Perkebunan Nomor 13/LB.030/E/01/2021 per tanggal 11 Januari 2021 menyebutkan para petani bisa mengajukan proposal untuk proses pengembangan hasil panen.
Tohjaya selaku Kepala Seksi Alokasi Dana Bagi Hasil Pajak, Kementerian Keuangan menambahkan berdasarkan laporan yang diterima Kementerian Keuangan pada tahun 2020, ada beberapa hasil dari penggunaan DBH CHT. Misalnya saja di Kabupaten Kendal ada penerapan inovasi teknis di 0,5 hektare kemudian pengadaan alat kesehatan dan lain sebagainya.
Kemudian di Kabupaten Lombok Tengah digunakan untuk bantuan pupuk sebesar 9,3 ton, lalu dukungan sarpras usaha tani sebanyak 257 unit, dan sebagainya. Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Pamekasan.
“Jadi DBH CHT itu fokusnya untuk tiga bidang dimana porsi terbesar adalah untuk kesejahteraan masyarakat untuk membantu petani maupun buruh tani tembakau,” terang Tohjaya.
Dia menganalogikan, DBH CHT merupakan sebuah menu yang bisa digunakan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah. Oleh sebab itu, harus ada komunikasi yang baik antara masyarakat, pemangku kebijakan, dan pemerintah daerah supaya bisa memenuhi kebutuhannya,” jelasnya.
Sementara itu Siti Mukaromah, Komisi VI DPR RI menambahkan income dari kebijakan tentang DBHCHT menjadi bagian dari peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu harus diukur agar persentase dana tersebut secara tepat sesuai dengan yang harapan masyarakat.
Terkait diversifikasi pertanian, dia menganggap hal itu hanya sebagai jalan alternatif, tidak hanya sebatas alih tanam, namun juga alih fungsi. Misalnya saja, tembakau bisa menjadi bagian dari komoditi yang bisa didiversifikasi ke fungsi lainnya.
“Ketika bicara alih tanam, banyak yang harus dipikirkan secara panjang, kita bisa menyesuaikan misalnya kondisi tanahnya, pangsa pasarnya, persaingannya siap atau tidak, termasuk pasar digital. DBH CHT perlu difokuskan kepada penguatan petani tembakau dan harus fokus untuk petani memiliki bargaining position yang kuat di tengah pasar ekonomi yang bebas,” Siti.
Abdillah Ahsan selaku Direktur Sumber Daya Manusia Universitas Indonesia menambahkan, kenaikan cukai rokok yang baru saja diumumkan oleh Kementerian Keuangan bisa menjadi win-win solution.
Dia menyebut ada empat win atau kemenangan yang bisa dirayakan. Pertama, prevalensi perokok akan turun sehingga bagus untuk kesehatan dan perekonomian.
Kedua, meningkatnya penerimaan negara. Hal ini mengingat tren penerimaan negara dari cukai terus meningkat.
Ketiga, penerimaan daerah akan meningkat dari pajak rokok dan DBH CHT. Adapun DBH CHT kisarannya 2 persen dari total penerimaan negara dari cukai. “Jadi kalau penerimaan dari cukai meningkat, dana DBH CHT pun akan meningkat dan itu semua masuk ke kas daerah,” jelasnya.
Kemudian mengenai pajak rokok tarifnya 10 persen dari tarif cukai, maka kalau tarif cukai naik, penerimaan daerah dari pajak rokok akan meningkat.
Keempat, DBH CHT dan pajak rokok daerah bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani tembakau terutama untuk DBH CHT, dimana paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa penggunaan DBH CHT saat ini akan lebih banyak persentasenya untuk kesejahteraan masyarakat sebesar 50 persen, untuk kesehatan sebesar 25 persen, dan untuk penegakan hukum sebesar 25 persen.
“Yang 50 persen ini sebagian besar bisa digunakan untuk kesejahteraan petani dan buruh rokok. Ini sebagai mitigasi nanti pada saat konsumsi rokok turun, para buruh tani dan buruh kerja rokok akan dibantu dengan DBH CHT yang programnya sudah disiapkan oleh Kementerian Pertanian dan lain-lain,” tutur Abdillah.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post