Pada 29 November 2022 lalu, Komnas Pengendalian Tembakau bersama jaringan pengendalian tembakau memperingati Hari Kesehatan Nasional (HKN) 2022. Tahun ini, tema yang diangkat adalah “Tambal-Sulam Sistem Kesehatan Kuratif menuju Preventif-Promotif dalam Pengendalian Tembakau”. Uniknya, salah satu panelis dalam kegiatan ini sempat membuat pernyataan yang menggelisahkan tentang Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, karena dianggap belum sukses menekan angka perokok anak.
Adapun Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Subandi Sardjoko yang menyatakan prevalensi perokok anak memang terus naik, yakni mencapai 9,1 persen berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018. Sementara, jumlah perokok dewasa dalam 10 tahun terakhir pun naik 8,8 juta berdasarkan temuan Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2021.
“Iklan rokok masih banyak, anak-anak masih merokok. PP 109 tidak terbukti mengendalikan [perokok anak] karena tidak ada penegakan [hukum],” ujar Subandi.
Dia menilai sudah saatnya PP 109 tahun 2012 direvisi agar lebih efektif menangani masalah perokok anak. Pemerintah belum juga menyelesaikan PP 109/2012 diharapkan dapat memperkuat perlindungan masyarakat terutama pada anak-anak dan keluarga miskin dari konsumsi rokok yang mengandung zat adiktif nikotin, baik produk rokok konvensional maupun rokok elektronik.
Penguatan perlindungan ini diharapkan melalui larangan iklan rokok di internet dan media luar ruang, larangan promosi dan sponsor rokok, perluasan peringatan kesehatan bergambar atau pictorial health warning (PHW), larangan penjualan ketengan, pengaturan rokok elektronik, serta penguatan sanksi dan pengawasan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Regulasi melalui revisi PP 109/2012 penting agar interferensi industri rokok tidak terlalu kuat dalam setiap proses penyusunan regulasi.
“Kita sudah biasa para pecinta dan penikmat uang hasil rokok berjuang di setiap UU yang mengatur rokok. Misalnya, kretek sempat diusulkan masuk sebagai budaya. Kan tidak bisa. Mereka [industri rokok] selalu berusaha lewat lini manapun,” ungkap Subandi.
Selain mengupayakan revisi PP 109/2012, Subandi menilai instrumen hukum lain juga diperlukan untuk menekan produksi rokok. Caranya dengan mendesak penyederhanaan skema dan kenaikan cukai rokok.
“Kami sudah koordinasikan dengan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, kita perlu bersinergi, kalau bukan kita, lantas siapa lagi,” sambung Subandi.
Senada dengan Bappenas, drg. Agus Suprapto, selaku Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menyampaikan bahwa pejabat sektor kesehatan dan aktivis kesehatan masyarakat seharusnya jangan ragu-ragu dan harus konsisten dalam memperjuangkan hasil uji publik revisi PP 109/2012 agar tidak berubah pada lima poin yang telah dibahas dan telah diteruskan oleh Kementerian Kesehatan.
Asal tahu saja, ada banyak bukti yang mendukung revisi PP 109/2012 maupun penyederhaan golongan tarif cukai rokok. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyatakan kebiasaan merokok ciptakan beban ekonomi kesehatan di Indonesia mencapai Rp17,9 hingga Rp27,7 triliun pada 2019 lalu. Studi ini berupaya mengidentifikasi biaya yang dikeluarkan penyakit-penyakit mematikan, namun bisa dicegah, yang disebabkan konsumsi rokok. CISDI menyebut mayoritas beban biaya ekonomi kesehatan berasal dari biaya rawat inap dan perawatan yang harus ditanggung BPJS Kesehatan. Angka Rp17,9 triliun hingga Rp27,7 triliun setara dengan 61,76 persen, hingga 91,8 persen total defisit JKN pada 2019 lalu.
Dalam sesi diskusi “Kebijakan Pengendalian Konsumsi Rokok dari Perspektif Ekonomi Kesehatan” dengan pemantik Dr. Adiatma Yudistira Manogar Siregar dari Indonesia Health Economic Association mengungkapkan konsumsi rokok melalui hitung-hitungan ekonomi kesehatan telah menimbulkan kerugian yang sangat besar di sisi ekonomi.
Adiatma menyebutkan bahwa di Indonesia, biaya ekonomi dari merokok pada tahun 2019 adalah Rp184.36 triliun sampai Rp410.76 triliun (Meilissa et al., 2022), berbeda sedikit dari hasil estimasi Kosen et al (2017) dengan nilai Rp438.5 triliun. Di dalamnya, biaya langsung dari merokok mencapai Rp17,9 triliun sampai Rp27,7 triliun. Dia mengestimasikan BPJS Kesehatan mengeluarkan sekitar Rp10,4 triliun sampai Rp15,6 triliun untuk biaya berobat untuk penyakit terkait dampak merokok, atau sekitar 61,2 sampai 91,8 persen dari total defisit.
Pada lain sisi, Indonesia memiliki berbagai permasalahan yang belum terselesaikan seperti halnya pajak yang diterapkan untuk rokok belum memenuhi standar World Health Organization (WHO) dan permasalahan implementasi regulasi yang perlu diperketat sehingga pengendalian konsumsi rokok di Indonesia dapat menjadi lebih baik.
“Oleh karena itu, jika pemerintah Indonesia masih fokus pada pembangunan ekonomi, terlebih menghadapi resesi yang akan datang, hendaknya pemerintah juga fokus pada penanganan konsumsi rokok demi menyelamatkan rupiah yang tertelan akibat konsumsi rokok yang sangat tinggi di Indonesia,” ungkap Adiatma.
Menanggapi hal itu, Febri Pangestu, selaku Analis Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyampaikan bahwa sejatinya kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau ini mempertimbangkan beberapa pilar diantaranya untuk mengendalikan konsumsi produk hasil tembakau dan mendukung untuk penurunan prevalensi perokok anak seperti yang ditargetkan pada RPJMN 2024.
“Selanjutnya, juga aspek ketenagakerjaan, aspek keberlangsungan industri, penerimaan negara dan rokok ilegal. Melalui kenaikan cukai ini, tentunya kebijakan fiskal harus diiringi kebijakan non fiskal lainnya untuk mengendalikan konsumsi rokok,” terang Febri.
Utamakan upaya preventif dan promotif
Berkaca dari dinamika pelik tersebut, Ketua Harian Komnas Pengendalian Tembakau Mia Hanafiah menyebutkan bahwa pemerintah, hendaknya mulai melepaskan pola pikir dari sisi kuratif dalam penanganan masalah kesehatan masyarakat. Program “Transformasi Kesehatan” yang dirancang Kementerian Kesehatan diharapkan akan mengubah sistem kesehatan di Indonesia yang lebih fokus pada upaya-upaya preventif-promotif sehingga dibutuhkan kebijakan yang mengubah penanganan kesehatan dengan melihat faktor penyebab kesakitan yang dialami masyarakat, dan bukan sebaliknya.
Untuk menangani penanganan masalah konsumsi rokok salah satunya, Mia menilai itu belum juga dipandang menjadi salah satu faktor penyebab banyak masalah kesehatan di tengah masyarakat, baik dari sisi hilangnya produktivitas karena kesakitan sampai beban biaya kesehatan.
Sebagai bentuk upaya preventif, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan, drg. Widyawati MKM menyampaikan bahwa Kementerian Kesehatan telah melakukan banyak upaya seperti kampanye gerakan masyarakat sehat. “Sekarang kami menyasar ke pelosok sejak 2000-an dengan campaign Pola Hidup Bersih dan Sehat, salah satunya tidak merokok dan akan terus mengupayakan untuk mengendalikan konsumsi rokok,” tuturnya.
Sementara itu, untuk menjamin upaya preventif yang tertuang dalam revisi PP 109/2012 sudah terakomodasi, Asisten Deputi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) dr. Nancy Dian Anggraeni, M.Epid., menyampaikan bahwa hasil uji publik revisi PP 109/2012 telah disampaikan oleh Menko PMK kepada Menkes, bahkan uji prakarsa akan dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Kini tinggal menunggu proses lanjut dan keseriusan pimpinan dalam meresmikan revisi PP tersebut.
Untuk menjamin aksi preventif bisa diselenggarakan dengan optimal, Prof. Emil Salim, Guru Besar sekaligus Ketua Dewan Pembina Komnas Pengendalian Tembakau dalam Orasi Kebangsaan untuk Kesehatan mengingatkan bahwa sekalipun para pegiat kesehatan masyarakat tidak memiliki uang sebanyak yang dimiliki oleh pendukung nikotin, bahkan tidak memiliki kekuatan politik seperti mereka, tetapi harus ingat bahwa Indonesia memiliki anak muda yang bisa membawa negara ini lepas landas dengan paripurna pada 2045.
“Karena masa depan bangsa Indonesia ada di tangan mereka [generasi muda]. Kita harus terus fokus berjuang secara total dalam mengurangi konsumsi rokok dan melawan adiksi demi melindungi generasi muda dalam memajukan bangsa serta mewujudkan cita-cita emas kita pada 2045,” tegas Emil.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post