Jakarta, Prohealth.id – Bencana banjir selain menenggelamkan permukiman dan merusak infrastruktur, juga memicu wabah penyakit serta penumpukan sampah. Pertanyaannya, mengapa banjir besar kembali melanda pada tahun 2025? Bukankah upaya mitigasi telah dilakukan?
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) membahas berbagai persoalan tersebut dengan komprehensif. Tim BRIN menekankan pentingnya sistem deteksi dini dalam menghadapi bencana di masa depan.
Reni Sulistyowati, Peneliti Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air (PRLSDA-BRIN) menyatakan ada beberapa faktor penyebab banjir besar.
“Selain curah hujan ekstrem, faktor lingkungan seperti topografi dan perubahan tutupan lahan turut memperparah dampak banjir,” ujarnya, Selasa (18/3/2025).
Pada kesempatan tersebut, Reni juga mengungkapkan faktor-faktor di balik banjir besar di Bekasi dan sekitarnya. Menurutnya, fenomena klimatologi global seperti El Niño-Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole (IOD), dan Madden-Julian Oscillation (MJO), turut memperbesar curah hujan ekstrem di kawasan Benua Maritim Indonesia.
Data satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) menunjukkan korelasi kuat antara curah hujan ekstrem dan peningkatan risiko banjir di sepanjang garis pantai Indonesia.
“Namun, banjir itu tidak bisa hanya dipengaruhi oleh curah hujan. Banyak faktor lain yang berperan dalam terjadinya limpasan (run-off). Contohnya; infiltrasi, evaporasi, aliran permukaan, air tanah, dan kondisi lingkungan sekitar,” jelas Reni.
Dalam pemaparan, Reni mengungkapkan hasil riset yang menunjukkan banjir 2025 lebih parah dibandingkan banjir tahun 2020 dan 2022. Data curah hujan Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP) mencatat intensitas hujan mencapai 21,37 mm/jam, dengan akumulasi harian 236,44 mm pada puncaknya 2–4 Maret 2025.
Simulasi hidrologi dengan model Rainfall-Runoff-Inundation (RRI) menunjukkan bahwa area terdampak dengan genangan lebih dari 50 cm mencapai 43 km², sedangkan genangan di atas 100 cm mencakup 24 km².
Sirkulasi angin darat-laut (sea breeze) juga memperburuk kondisi dengan memicu hujan deras di malam hari dan di daerah aliran sungai (DAS) Bekasi, Cikeas, dan Cileungsi.
“Kondisi DAS Kali Bekasi memerlukan perhatian serius. Infrastruktur yang ada belum memadai. Makin parah dengan rendahnya kesadaran lingkungan dan lambatnya respons pemerintah,” jelas Reni.
Sementara itu, dari hasil survei tahun 2022 terhadap warga terdampak banjir di Jatirasa dan Bojongkulur menunjukkan minimnya perhatian pemerintah dalam mitigasi jangka panjang.
Survei tersebut juga mengungkap bahwa komunitas lokal seperti KP2C yaitu Komunitas Peduli Cileungsi-Cikeas dan KOMPI atau Komunitas Pencinta Lingkungan, memegang peran penting dalam membantu penanganan banjir. Meski memiliki keterbatasan dana dan akses informasi, inisiatif mereka mampu membantu warga terdampak secara langsung.

Inovasi Teknologi untuk Mitigasi Bencana
Terkait dengan itu, Agustya Adi Martha, Ketua Kelompok Riset Teknologi Kebencanaan dan Energi Perairan Darat (TKEPD) BRIN, mengungkapkan bahwa BRIN tengah mengembangkan teknologi pemantauan bencana secara real-time. Ia mengklaim BRIN sedang mengembangkan berbagai instrumentasi hidrometeorologi untuk mendukung riset dan industri.
“Salah satu inovasi kami adalah sistem monitoring realtime yang mencakup pemantau kelembaban tanah dan alat deteksi longsor (AdeL),” jelasnya.
Agustya juga mengungkapkan bahwa BRIN telah mengembangkan perangkat Indonesian Structural Health Monitoring (INA-SHM). Perangkat ini untuk memantau dampak gempa dan kondisi kekuatan struktur pada bendungan atau waduk. Selain itu ada pengembangan Automatic Weather System (AWS) yang terintegrasi dengan Sistem Monitoring Elevasi Gelombang Laut (SEGARA). Keduanya untuk memantau ketinggian muka air laut secara real-time.
Agustya dan tim juga akan mengintegrasikan sistem monitoring terpadu sebagai sistem early warning system (EWS) bencana hidometeorologi. Para periset maupun BPBD serta lembaga terkait dapat mengakses data tersebut.
Modifikasi Cuaca sebagai Solusi Jangka Panjang
Dalam upaya mitigasi banjir, Heru Widodo, Perekayasa Ahli Utama sekaligus Ketua Kelompok Riset Teknologi Modifikasi Cuaca BRIN, menjelaskan perkembangan signifikan dalam teknologi modifikasi cuaca (TMC) di Indonesia. Awalnya TMC fokus untuk menambah curah hujan di waduk dan sektor pertanian. Kini justru mampu mengurangi intensitas curah hujan serta mengatasi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan.
“Kolaborasi antara BMKG dan BRIN ke depan memungkinkan penerapan TMC dapat berjalan secara cepat dan efektif. Ini dengan dukungan pengembangan teknologi modifikasi cuaca hasil riset BRIN,” ujarnya.
Heru menambahkan bahwa metode TMC untuk pengurangan curah hujan mencakup jumping process menggunakan pesawat terbang. Ada juga metode kompetisi uap air menggunakan Ground Particle Generator (GPG).
“GPG terbukti mampu mengurangi curah hujan lebih dari 20 persen di area pertambangan. Bahkan dapat beroperasi selama 24 jam, menggantikan pesawat yang hanya dapat beroperasi pada siang hari.” jelasnya
Sebagai langkah inovatif, Heru juga mengusulkan penggunaan roket TMC untuk operasi malam hari. China, misalnya, telah menggunakan 1.110 roket untuk mengendalikan cuaca selama Olimpiade 2008. Untuk itu, BRIN mendorong pengembangan teknologi serupa dengan dukungan peralatan, seperti Flying Laboratory for Atmospheric Research (FLARes), radar cuaca, dan alat survei lainnya.
“Kemandirian teknologi menjadi langkah penting bagi Indonesia dalam mitigasi bencana. Harapannya, teknologi ini dapat diintegrasikan dalam sistem mitigasi banjir yang lebih komprehensif,” pungkas Heru.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post