“Saya tidak pernah sedikit pun mengambil keuntungan pribadi dan bisnis yang dijalankan PT GSI,” kata Luhut dalam unggahan stories melalui akun Instagram-nya yang terverifikasi @luhut.pandjaitan, Kamis (4/11/2021) lalu.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ini memberi konfirmasi seperti dikutip dari Kompas.com dalam artikel, ‘Luhut: Saya Tidak Pernah Ambil Keuntungan Pribadi dari Tes PCR PT GSI’ yang terbit pada 4 November 2021 terkait PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang merupakan penyedia alat tes PCR, tes antigen dan sejumlah tes diagnosis Covid-19 lain terafilisasi dengan Toba Bumi Energi milik Luhut.
Luhut menjelaskan bahwa keterlibatan PT Toba Bumi Energi merupakan upaya bantuan yang diinisiasi oleh rekan-rekan dari Grup Indika, Adaro, Northstar dan sejumlah grup lain. “Yang sepakat membantu penyediaan fasilitas tes Covid-19 dengan kapasitas besar. Bantuan melalui perusahaan tersebut merupakan upaya keterbukaan yang dilakukan sejak awal,” kata Luhut. Pernyataan ini pun akhirnya menyeret beberapa nama lain dalam jajaran kabinet, salah satunya adalah Menteri BUMN Erick Thohir. Maklum, Yayasan Adaro Bangun Negeri berkaitan dengan PT Adaro Energy Tbk (ADRO), perusahaan yang dipimpin oleh Boy Thohir, saudara Erick Thohir.
“Kenapa saya tidak menggunakan nama yayasan? Karena memang bantuan yang tersedia berada dari perusahaan. Dan memang tidak ada yang saya sembunyikan di situ,” lanjutnya.
Berdasarkan catatan Prohealth.id, polemik PCR memang berkepanjangan selama pandemi. Tingginya harga menjadi salah satu alasan ramainya kritik masyarakat agar fasilitas kesehatan itu bisa dibuat dengan harga yang murah dan terjangkau.
Menanggapi kekisruhan informasi tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan yang terdiri dari; Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LaporCovid-19, dan Lokataru menjelaskan ketika Presiden Jokowi baru-baru ini menegaskan harga PCR harus turun jadi Rp300 ribu, sebenarnya penurunan harga jasa pelayanan pemeriksaan PCR oleh pemerintah tidak mencerminkan asas transparansi dan akuntabilitas. Kebijakan tersebut diduga hanya untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu yang memiliki bisnis alat kesehatan, khususnya ketika PCR dijadikan syarat untuk seluruh moda transportasi.
Melalui keterangan resminya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan mencatat, ketentuan mengenai harga pemeriksaan PCR setidaknya telah berubah sebanyak empat kali. Pada saat awal pandemi muncul, harga PCR belum dikontrol oleh Pemerintah sehingga harganya sangat tinggi, bahkan mencapai Rp2,5 juta.
Kemudian pada Oktober 2020 Pemerintah baru mengontrol harga tersebut PCR menjadi Rp900 ribu, hingga 10 bulan kemudian harga PCR kembali turun menjadi Rp495 ribu-Rp525 ribu akibat kritikan dari masyarakat yang membandingkan biaya di Indonesia dengan di India. Terakhir, 27 Oktober lalu Pemerintah menurunkan harga menjadi Rp 275 ribu -Rp 300 ribu.
“Perlu diingat ketika lonjakan angka positif Covid-19 pada Juli 2021, harga pemeriksaan PCR saat itu berada pada harga Rp900 ribu per tes yang mengakibatkan tidak seluruh masyarakat dapat mengakses pemeriksaan tersebut,” tulisnya.
Mewakili Kementerian Kesehatan, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Prof. dr. Abdul Kadir,Ph.D,Sp.THT-KL(K), MARS mengatakan penurunan harga tes PCR sudah berbasis evaluasi yang dilakukan melalui perhitungan biaya pengambilan dan pemeriksaan RT-PCR, terdiri dari komponen – komponen jasa pelayanan/SDM, komponen reagen dan bahan habis pakai (BHP), komponen biaya administrasi, overhead, dan komponen biaya lainnya yang kita sesuaikan dengan kondisi saat ini.
”Dari hasil evaluasi, kami sepakati bahwa batas tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR diturunkan menjadi Rp275 Ribu untuk pulau Jawa dan Bali, serta sebesar Rp300 ribu untuk luar pulau Jawa dan Bali,” katanya dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (27/10/2021) lalu.
Batasan tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR tersebut telah ditetapkan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan nomor HK.02.02/1/3843/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan RT-PCR, dan mulai berlaku hari ini, Rabu (27/10/2021).
Oleh karena itu, Kadir menekankan agar semua fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, laboratorium dan fasilitas pemeriksa lainnya yang telah ditetapkan oleh menteri kesehatan dapat mematuhi batasan tarif tertinggi RT-PCR tersebut. Dia juga memastrikan bahwa hasil pemeriksaan RT-PCR dengan menggunakan besaran tarif tertinggi tersebut dikeluarkan dengan durasi maksimal 124 jam dari pengambilan swab pada pemeriksaan RT-PCR.
Dinas Kesehatan Daerah Provinsi dan Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota harus melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemberlakuan pelaksanaan Batas Tarif Tertinggi untuk Pemeriksaan RT-PCR sesuai kewenangan masing-masing. Tak tanggung-tanggung dia menjamin, jika ada laboratorium yang memakai harga tidak mengikuti ketetapan pemerintah, maka akan dilakukan pembinaan melalui Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten. Apabila masih tidak mengikuti aturan yang ditetapkan maka sanksi terakhir adalah penutupan laboratium dan pencabutan izin operasional.
Koalisi ini menilai, meskipun sebulan setelahnya turun akibat desakan masyarakat dan perbandingan biaya pemeriksaan dengan India, sudah jelas pemerintah tidak menggunakan prinsip kedaruratan kesehatan masyarakat dan mementingkan kepentingan kelompok bisnis tertentu. Terlebih penurunan terakhir (27/10/2021) terkesan hanya untuk menggenjot mobilitas masyarakat.
“Kami melihat bahwa penurunan harga ini seharusnya dapat dilakukan ketika gelombang kedua melanda, sehingga warga tidak kesulitan mendapatkan hak atas kesehatannya. Penurunan harga PCR untuk kebutuhan mobilitas juga mencerminkan bahwa kebijakan ini tidak dilandasi asas kesehatan masyarakat, namun pemulihan ekonomi,” tegas kelompok peduli kesehatan masyarakat ini.
SINYAL OGAH TURUNKAN HARGA PCR
Jika kembali menelisik ke belakang, proses penetapan turunnya harga PCR menjadi Rp275 ribu juga sempat menyeret nama Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikan. Kementerian Kesehatan diduga tidak sepenuhnya sepakat terhadap keputusan Presiden Jokowi.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat drg. Widyawati, MKM pun mengatakan bahwa dugaan yang menyatakan Menteri Kesehatan menolak harga PCR maksimal Rp300 ribu tidaklah benar.
”Pemberitaan itu tidak benar. Justru sudah kita tindaklanjuti dengan dikeluarkannya surat Edaran Direktur jenderal pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/I/3843/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan RT- PCR yang berlaku sejak Rabu (27/10),” tegas drg. Widyawati.
Lebih lanjut dia menjelaskan, batas tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR diturunkan menjadi Rp275 Ribu untuk pulau Jawa dan Bali, serta sebesar Rp300 ribu untuk luar pulau Jawa dan Bali. “Penurunan tarif ini merupakan tindak lanjut dari Instruksi Presiden,” tambahnya.
Dia menerangkan, evaluasi telah dilakukan bersama dengan BPKP melalui perhitungan biaya pengambilan dan pemeriksaan RT-PCR, terdiri dari komponen jasa pelayanan/SDM, komponen reagen dan bahan habis pakai, komponen biaya administrasi, overhead, dan komponen biaya lainnya yang disesuaikan dengan kondisi saat ini. Dengan demikian harga PCR yang berlaku saat ini, Indonesia termasuk negara dengan harga PCR paling murah di ASEAN, dan tidak lagi semahal jika dibandingkan India.
Dari seluruh rangkaian proses perubahan tarif pemeriksaan PCR yang dramatis sejak awal hingga akhir, Koalisi mencatat setidaknya ada lebih dari Rp23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut. Total potensi keuntungan yang didapatkan adalah sekitar Rp10 triliun lebih. Ketika ada ketentuan yang mensyaratkan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang dan potensi keuntungan yang didapatkan tentu akan meningkat tajam. Kondisi tersebut menunjukan bahwa pemerintah gagal dalam memberikan jaminan keselamatan bagi warga.
Berdasarkan anggaran penanganan Covid-19 sektor kesehatan tahun 2020, diketahui bahwa realisasi penggunaan anggaran untuk bidang kesehatan hanya 63,6 persen dari Rp99,5 triliun. Kondisi keuangan tahun 2021 pun demikian. Per 15 Oktober diketahui bahwa dari Rp193,9 triliun alokasi anggaran penanganan Covid-19 untuk sektor kesehatan, baru terserap 53,9 persen. Dari kondisi tersebut sebenarnya pemerintah masih memiliki sumber daya untuk memberikan akses layanan pemeriksaan PCR secara gratis kepada masyarakat.
Terdapat 2 (dua) permasalahan dari kondisi di atas. Pertama, Koalisi menduga penurunan harga PCR karena sejumlah barang yang telah dibeli, baik oleh pemerintah/perusahaan, akan memasuki masa kadaluarsa. Dengan dikeluarkannya ketentuan tersebut diduga pemerintah sedang membantu penyedia jasa untuk menghabiskan reagen PCR. Sebab, kondisi tersebut pernah ditemukan oleh ICW saat melakukan investigasi bersama dengan Klub Jurnalis Investigasi.
Kedua, ketertutupan informasi mengenai komponen biaya pembentuk harga pemeriksaan PCR. Dalam sejumlah pemberitaan, BPKP dan Kementerian Kesehatan tidak pernah menyampaikan informasi apapun perihal jenis komponen dan besarannya.
Berdasarkan informasi yang dimiliki oleh Koalisi, sejak Oktober 2020 lalu, harga reagen PCR hanya sebesar Rp180 ribu. Ketika Pemerintah menetapkan harga Rp 900 ribu, maka komponen harga reagen PCR hanya 20 persen, selain itu komponen harga lainnya tidak dibuka secara transparan sehingga penurunan harga menjadi Rp 900 ribu juga tidak memiliki landasan yang jelas Begitu pula dengan penurunan harga PCR menjadi Rp 350 ribu juga tidak dilandaskan keterbukaan informasi, sehingga keputusan kebijakan dapat diambil berdasarkan kepentingan kelompok tertentu. Artinya sejak Oktober 2020 Pemerintah diduga mengakomodir sejumlah kepentingan kelompok tertentu.
“Kami, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan mendesak agar pemerintah menghentikan segala upaya untuk mengakomodir kepentingan bisnis tertentu melalui kebijakan. Kementerian Kesehatan harus membuka informasi mengenai komponen pembentuk tarif pemeriksaan PCR beserta dengan besaran persentasenya. Pemerintah harus menggratiskan pemeriksaan PCR bagi seluruh masyarakat,” tuturnya lagi.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post