Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis
No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis
No Result
View All Result
Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis

Blunder, Menkeu Purbaya Berpotensi Menyesatkan Publik

Kebijakan publik bukan kebijakan dagang semata, Komnas Pengendalian Tembakau mengecak pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi membahayakan 270 juta rakyat Indonesia.

by Irsyan Hasyim
Thursday, 25 September 2025
A A
Blunder, Menkeu Purbaya Berpotensi Menyesatkan Publik

Menteri Keuangan RI, Purbaya Yudhi. (Sumber foto: BPMI Setpres/2025)

Jakarta, Prohealth.id – Menteri Keuangan Purbaya Sadewa baru saja menyatakan keterkejutannya tentang pengenaan cukai rokok yang disebutnya sebagai kebijakan “firaun”.

Pernyataannya yang beredar masif di media ini dianggap membahayakan 270 juta rakyat Indonesia. Melalui pernyataan resmi, Komnas Pengendalian Tembakau sangat menyayangkan pernyataan ini. Pernyataan ini seolah menarik mundur upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, tetapi juga pada kredibilitas penyelenggara negara dalam memperbaiki situasi terpuruknya ekonomi Indonesia. Padahal seharusnya menjadi perhatian utama seorang menteri keuangan.

BacaJuga

Fakta Panas Inovasi Produk Tembakau Alternatif

INDONESIA GELAP: Kematian Affan Kurniawan Picu Kemarahan Publik atas Ketidakadilan Ekonomi

Dalam pemberitaan yang beredar, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya memberi kesan bahwa cukai rokok sebesar 57 persen saat ini terlalu tinggi dan dianggap “firaun” atau jahat/dzalim. Ia juga mempertanyakan mengapa tarif cukai rokok turun, pendapatan malah naik, dan bagaimana dengan langkah mitigasi terhadap pengangguran akibat PHK di industri rokok.

Dalam pernyataannya tersebut, Purbaya seakan baru memahami bahwa utamanya cukai bertujuan untuk menekan konsumsi rokok. Menanggapi pernyataan-pernyataan tersebut, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau sekaligus pakar kesehatan publik dan ekonomi kesehatan, Prof. Hasbullah Thabrany, mengingatkan bahwa besaran cukai rokok 57 persen adalah ketetapan sesuai UU Cukai yang berlaku saat ini. Namun ia juga menegaskan, angka 57 persen itu seharusnya adalah persentase maksimum dan sangat rendah dibandingkan besaran cukai negara-negara lain. Sebut saja di Singapura dan Australia, sehingga konsumsi rokok di dua negara tersebut sangat terkendali. Terbukti, masing-masing prevalensi merokok usia dewasa sebesar 16,5 persen (WHO, 2024) dan 10,5 persen (Australian Institute of Health and Welfare, 2024).

Secara prinsip, tujuan utama cukai adalah sebagai instrumen fiskal dalam upaya pengendalian konsumsi rokok, termasuk rokok elektronik. Karena itu, cukai rokok harus ditetapkan setinggi mungkin untuk menekan keterjangkauan yang kemudian akan menurunkan prevalensi konsumsi dan pada akhirnya meningkatkan kesehatan masyarakat. Dengan masyarakat yang sehat, produktivitas meningkat, ekonomi pun terdampak.

Di negara-negara seperti Singapura, cukai rokoknya telah mencapai 67,5 persen dan Australia sebesar 72 persen, yang membuat harga rata-rata rokok di Singapura mencapai Rp170.000 dan di Australia Rp400.000 per bungkus. Jauh di atas harga eceran per bungkus rokok di Indonesia yang paling tinggi sekitar Rp40.000-an saja. Akibatnya, keterjangkauan pada rokok di Indonesia masih tinggi sehingga prevalensi perokok masih sebesar 27 persen (Survei Kesehatan Indonesia, 2023).

Hal ini membuktikan, cukai rokok di Indonesia belum berlaku efektif  menjalankan tujuan utamanya sebagai alat pengendali konsumsi. Cukai rokok maksimum sebesar 57 persen, dengan kenaikan rata-rata 10-11 persen per tahun masih belum mampu mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia. Sementara, Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan bobot cukai minimum 75 persen dari harga eceran produk tembakau. Akibatnya beberapa negara di Eropa dengan menerapkan cukai rokok di atas 80 persen.

Oleh karena itu, pernyataan Menkeu Purbaya yang menganggap cukai rokok 57 persen sangat tinggi adalah hal yang salah. Pernyataan ini berpotensi membahayakan seluruh rakyat Indonesia karena berpotensi mendorong Penyelenggara Negara Republik Indonesia untuk memutuskan tidak akan menaikkan cukai rokok. Hal paling parah adalah jika pemerintah bahkan menurunkan cukai rokok. Keputusan ini akan mengancam upaya pengendalian konsumsi rokok yang merupakan faktor risiko utama penyakit penyakit mematikan. Pada akhirnya juga turut mengancam kondisi ekonomi makro Indonesia.

“Cukai diperlukan agar anak-anak tidak kecanduan. Sebanyak dua ratus ribu lebih rakyat Indonesia meninggal karena rokok setiap tahunnya, sehingga perlu kita tekan dengan cukai yang tinggi,” ujarnya.

Prof. Hasbullah menegaskan cukai rokok harus naik, bukan justru menurun. Kebijakan publik bukan kebijakan dagang. Menurutnya, industri rokok di Indonesia dikuasai industri asing yang membawa keuntungan triliun rupiah keluar negeri dari hasil menjual produk adiksi. Sementara, industri hanya meninggalkan jejak penyakitnya di Indonesia. Sangat penting, menurutnya, untuk menekankan perspektif kebijakan untuk kepentingan publik, bukan kepentingan industri.

Sementara itu, mengenai masalah pekerja industri rokok, Prof Hasbullah menyebutkan bahwa tidak ada fakta cukai tinggi menyebabkan pekerja menganggur. Faktanya, pemutusan hubungan kerja (PHK) pada industri rokok disebabkan oleh mekanisasi atau penggantian pekerja tenags manusia dengan mesin.

“Perbaiki nasib pekerja yang dibayar sangat kecil oleh industri rokok dengan memberikan upah yang pantas, itu dulu yang dibereskan.”

Sebagai win-win solution, baik untuk kesehatan maupun ekonomi, cukai rokok justru bisa menjadi bagian dari upaya mitigasi. “Sebagian uang dari cukai hasil tembakau dapat dipakai untuk membuka lapangan kerja baru dan memberikan program pada petani untuk menanam hasil pertanian yang  lebih sehat,” tambahnya.

Purbaya juga diminta berhati-hati atas informasi dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan tertentu untuk menguntungkan industri. Perlu hati-hati dengan asumsi penurunan tarif cukai yang membuat pendapatan cukai meningkat. Hal ini karena peningkatan pendapatan cukai tersebut bisa jadi terjadi akibat meningkatnya konsumsi ketika harga rokok menjadi sangat terjangkau. Artinya, kebijakan cukai hasil tembakau masih gagal memenuhi tujuan utamanya. Alhasil, ini adalah kesalahan pola pikir para pemimpin yang mengambil keputusan.

 

 

Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi

Source: Purbaya Yudhi
Tags: cukai hasil tembakauCukai RokokKementerian KeuanganPurbaya YudhiTarif Cukai Hasil Tembakau
ShareTweetSend

Discussion about this post

https://www.youtube.com/watch?v=ZF-vfVos47A
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.