Jakarta, Prohealth.id – Formulasi data sangat penting terutama jika berkaitan dengan disabilitas.
Untuk menyikapi informasi yang bertautan dengan disabilitas seperti layanan kesehatan yang aksesibel, transportasi, hingga pendidikan tidak bisa hanya melihat dari sisi angka.
Panel Ahli Program Gerakan Optimalisasi Organisasi Difabel (GOOD) Cucu Saidah menyebutkan ada dua jenis data. Pertama adalah mengukur secara kuantitatif dengan angka dan kedua adalah kualitatif yang berbentuk deskriptif atau gambaran.
“Jika untuk membuat kebijakan itu melihat ada berapa dulu persentasenya, berbasis di angka saja, apa kemudian informasi terkait kebutuhan disabilitas bisa dijamin muncul?” tanya dia dalam webinar bertema “Pendataan Disabilitas di Indonesia: Antara Cita dan Realita” pada Kamis, 25 Januari 2024 lalu.
Dia melanjutkan, bahwa jika berbicara soal angka saja sudah pasti angkanya sedikit sekali. Bahkan hanya nol koma sekian persen. Namun ketika berbicara soal data kualitatif maka perlu informasi tentang kondisi yang menghambat aksesibilitas untuk penyandang disabilitas.
“Apa saja akses yang ada? Apa yang sudah ada?” ungkapnya lebih jauh.
Data Disabilitas
Soal data tentang disabilitas ini setidaknya ada sejumlah aspek. Yakni situasi individu, lingkungan, dan tingkat partisipasi di masyarakat.
Situasi individu ini misalnya demografi atau wilayah sebaran penyandang disabilitas, kapasitasnya, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya.
Lalu yang berkaitan dengan lingkungan misalnya pengalaman disabilitas mengalami hambatan dalam keseharian hidupnya. Di samping itu yang berkaitan dengan lingkungan dan sangat penting misalnya dukungan yang memampukan disabilitas.
Berikutnya, adalah tentang bagaimana tingkat partisipasi disabilitas. Lalu, apakah disabilitas mendapatkan akses atau inklusi yang bisa terwujud secara mandiri.
“Jadi, penting bahwa kebijakan publik itu tidak dipisah hanya serta merta berdasarkan asumsi. Di dalam penyusunan kebijakan publik, kita mendorong partisipasi. Jangan malah beresiko mengeksklusifkan,” papar Cucu.
Data disabilitas tertuang dalam Konvensi Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas (CRPD). Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi CRPD pada 2011 dan di dalamnya mengatur tentang pentingnya pengumpulan data serta kewajiban negara atas pengumpulan data ini.
“Kewajiban negara sudah diatur dalam pasal 31 bahwa negara harus melakukan pendataan apapun bentuknya untuk digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan,” ucapnya.
Prinsip pengumpulan data juga mencakup perlindungan, kerahasiaan, menghargai privasi penyandang disabilitas, serta menghargai prinsip hak dan etik. Sedangkan masih adanya stigma dan diskriminasi sebenarnya menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip etik dan dalam hal ini terkait dengan data.
Membangun Sistem Informasi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengamanatkan atau memandatkan negara agar melakukan pendataan. Hal tersebut termasuk menggali karakteristik pokok dan terperinci.
Demi mendorong upaya tersebut maka Perkumpulan Penyandang Disabilitas Klaten (PPDK) dalam tiga tahun ini membangun sistem informasi data disabilitas di tingkat Kabupaten berbasis web. Penyandang disabilitas mengambil langkah tersebut mengingat mereka masih belum sepenuhnya terakomodir dalam rancangan dan implementasi pembangunan inklusif.
Wakil Ketua PPDK Qoriek Asmarawati menilai efektivitas pengumpulan data yang ada saat ini sangat beragam karena tergantung penyelenggaraan dan tujuan survei. Selain itu informasi tentang disabilitas sangat lemah. Hal ini karena penyajian data hanya secara kuantitatif tanpa ada informasi lebih jauh sehingga data disabilitas tidak terdistribusi pada setiap stakeholder pembangunan.
Temuan persoalan ini kemudian mendorong PPDK menginisiasi studi bersama Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait proses pendataan, pengelolaan, dan pengembangan data menggunakan instrumen Washington Group Question (WGQ) sekaligus memperkenalkannya kepada para pengambil kebijakan.
Penggunaan WGQ dalam survei dan upaya pengumpulan data berguna untuk memahami keterbatasan fungsional sesuai pengalaman disabilitas. Di samping tidak meninggalkan ragam disabilitas menurut undang-undang.
Qoriek mengatakan, jika bicara desain tata kelola data penyandang disabilitas, pihaknya perlu memetakan gambaran potensi serta masalah individu dan keluarga. Alasannya, karena angka tidak akan bisa digunakan untuk melakukan intervensi kegiatan.
“Maka kami mencoba menggali persoalan data diri, informasi pendidikan, kesehatan, ekonomi, keluarga dan sebagainya,” ujar Qoriek.
“Ada banyak sektor. Bahkan di isu kebencanaan kemudian itu masuk. Ini hanya gambaran saja,” tutup dia.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post