Pada Juni 2022 lalu, The Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) mengapresiasi keputusan Mahkamah Agung Filipina yang melegitimasi kewenangan lembaga pengawas obat dan makanan dan Departemen Kesehatan untuk menyelenggarakan regulasi untuk semua produk yang memberi dampak negatif pada kesehatan, termasuk produk tembakau.
Keputusan ini terbilang visioner karena akan memberi tantangan baru bagi pemerintah Filipina sebagai regulator secara tegas untuk melindungi kesehatan masyarakat.
Asal tahu saja, pada 2011 lalu. Philippine Tobacco Institute (PTI), organisasi yang mewakili industri tembakau melayangkan gugatan untuk menolak pengendalian tembakau di tingkat wilayah berdasarkan aturan lembaga pengawas obat dan makanan yang keluar pada tahun 2008. Mereka juga menolak pengaturan pengendalian produk tembakau oleh kementerian kesehatan setempat. PTI berargumen, bahwa Inter-Agency Committee Tobacco (IAC-T) yang mana juga melibatkan departemen perdagangan dan perindustrian Filipina sebagai pengatur dalam produk tembakau.
Menanggapi hal tersebut, lembaga pengawas obat dan makanan bersama kementerian kesehatan mengatakan bahwa pengendalian produk merupakan urgensi dalam sektor kesehatan, dan secara khusus untuk meningkatkan konsistensi pada regulasi yang berdampak pada kesehatan termasuk produk tembakau.
Menurut Dr. Ulysses Dorotheo, selaku Direktur Eksekutif SEATCA butuh 11 tahun hingga akhirnya Mahkamah Agung berani untuk memperjuangkan kesehatan masyarakat Filipina. “Kita harus menjaga kewenangan dari sektor kesehatan terhadap produk tembakau serta menolak segala bentuk intervensi yang akan mendiskreditkan otoritas,” tuturnya.
Sekalipun menerima banyak penolakan atas regulasi tersebut, Mahkamah Agung tetap mempertimbangkan komitmen Filipina yang sudah tergabung dalam ratifikasi WHO Framework Convention on Tobacco
Control (FCTC) tahun 2005 lalu. Oleh karenanya itu, menjadi kontradiksi jika industri mengklaim bahwa aturan pengendalian tembakau melanggar hak pokok industri memproduksi tembakau. Para advokat kesehatan mempertimbangkan pula kondisi kesehatan masyarakat di Filipina.
Pia Cayetano, yang dikenal sebagai aktivis pengendalian tembakau melihat fenomena yang terjadi di Filipina sebagai sebuah kemenangan untuk mewujudkan kesehatan masyarakat yang baik dan pemerintahan yang kompeten. Momen ini menjadi langkah bagi Filipina untuk meningkatkan aturan pada produk rokok elektronik. Langkah ini perlu dipersiapkan dengan baik mengingatkan banyak konsumen rokok elektronik berada pada kisaran muda yaitu 18-21 tahun. Rata-rata bahkan banyak juga dikonsumsi anak dan remaja karena tergiur banyak rasa yang ditawarkan, serta dijual secara bebas melalui internet dan marketplace.
Bagaimana Indonesia?
Indonesia adalah pasar rokok terbesar ketiga di dunia dimana lebih dari sepertiga populasi dewasanya adalah perokok. Artinya, Indonesia adalah juaranya untuk konsumsi rokok di wilayah Asia Tenggara. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah kebiasaan kultural di Indonesia, yang memiliki nilai ekonomi besar namun memiliki dampak kesehatan yang mematikan, sebut saja misalnya; kanker paru, stroke, dan jantung koroner. Penyakit terkait rokok ini muncul puluhan tahun setelah perilaku merokok dimulai. Dengan kata lain, kebiasaan merokok yang memicu penyakit menyebabkan epidemi terkait tembakau dan kematian yang akan terus meningkat di masa depan. Berbeda dengan Filipina, sampai sekarang Indonesia belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Berdasarkan riset yang dikeluarkan oleh Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), regulasi pengendalian tembakau di Indonesia sangat lemah. Sebut saja; harga rokok adalah terjangkau, kebebasan iklan yang permisif, distribusi penjualan yang masif serta rendahnya penegakan kawasan bebas asap rokok.
Susenas pada Maret 2021 menemukan jumlah perokok Indonesia mencapai 59,3 juta orang, setara tingkat prevalensi 21,9 persen. Kondisi ini masih diperparah dengan temuan bahwa 92 persen perokok ini masuk dalam kategori berat alias merokok tiap hari. Data juga menunjukkan lebih dari 80 persen perokok berdomisili di Jawa dan Sumatra dengan konsumsi rokok tertinggi didominasi di Pulau Jawa, yaitu 130,5 miliar batang rokok per tahun dengan 34,9 juta perokok, diikuti Sumatera 64,7 miliar batang dengan 12,8 juta perokok.
Selama pandemi Covid-19 menerpa Indonesia, angka perokok sama sekali tidak mengalami penurunan. Krisis kesehatan yang terjadi tidak mampu menghentikan para perokok, bahkan jumlah perokok meningkat selama pandemi. Riset IDEAS menemukan sepanjang 2019 -2021, jumlah perokok bertambah hingga 2,1 juta orang. Dengan lonjakan jumlah perokok, pengeluaran masyarakat untuk rokok meningkat dari Rp344,4 triliun pada 2019 menjadi Rp365,7 triliun pada 2021. Meski begitu, kendala anggaran yang lebih terbatas masa pandemi, perokok berusaha mencari keseimbangan baru. Pasalnya, konsumsi rata-rata rokok per hari menurun tipis dari 11,8 batang pada 2019 menjadi 11,5 batang 2021.
“Menjadi miskin di masa pandemi tidak selalu berimplikasi turunnya konsumsi rokok, terlebih berhenti merokok. Berpindah ke rokok murah menjadi strategi umum yang mengizinkan perokok mempertahankan kuantitas konsumsi-nya dengan pengeluaran yang lebih rendah atau meningkatkan kuantitas konsumsi-nya dengan pengeluaran yang sama. Bahkan, hubungan interpersonal, terutama keluarga dan pertemanan, mengizinkan seseorang dapat terus merokok tanpa penghasilan sama sekali, yaitu mengharapkan rokok pemberian dari orang lain,” tulis IDEAS dalam riset yang rilis Mei 2022 lalu.
IDEAS mencatat, perilaku merokok sangat berkelindan dengan kemiskinan. Jika Filipina berupaya menyelamatkan kesehatan masyarakat, di Indonesia, tidak hanya kesehatan namun efek kemiskinan juga banyak diakibatkan oleh rokok. Pasalnya, wilayah dengan jumlah penduduk miskin terbesar juga adalah wilayah dengan jumlah perokok tertinggi.
Dikutip dari laporan IDEAS, kantong perokok nasional pada 2021 tercatat adalah wilayah padat penduduk Jawa, yakni Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur. Daerah-daerah ini tercatat juga merupakan kantong kemiskinan nasional.
Terbukti bahwa produk adiktif ini berperan signifikan dalam menurunkan tingkat kesehatan, produktivitas dan penghasilan sebagian besar penduduk. Pengeluaran rumah tangga untuk rokok adalah signifikan. Sepanjang 2021, 1,4 juta perokok Kabupaten Bogor menghabiskan Rp5,9 triliun untuk membeli rokok, diikuti 885 ribu perokok Kabupaten Tangerang menghabiskan Rp4,7 triliun, dan 1 juta perokok Kabupaten Bandung menggelontorkan Rp4,0 triliun.
“Model epidemi rokok terlihat bersesuaian dengan kasus Indonesia. Estimasi kami menunjukkan bahwa prevalensi merokok meningkat seiring kelas ekonomi,” seperti dikutip dalam dokumen policy brief dari IDEAS.
Angka yang cukup mencengangkan, prevalensi merokok dari 31,9 persen penduduk yang berada di kelas ekonomi bawah, dengan pengeluaran per kapita dibawah 1,6 kali garis kemiskinan, adalah 19,4 persen. Sedangkan prevalensi merokok dari 52,2 persen penduduk yang berada di kelas menengah, dengan pengeluaran per kapita antara 1,6 – 4,0 kali garis kemiskinan, adalah 23,2 persen.
Sedangkan prevalensi 15,8 persen penduduk di kelas atas, dengan pengeluaran per kapita diatas 4,0 kali garis kemiskinan, adalah 22,6 persen. “Hump-shaped pattern terlihat jelas, seiring kenaikan kesejahteraan, prevalensi merokok meningkat dari 19,4 persen menjadi 23,2 persen untuk kemudian menurun menjadi 22,6 persen,” lanjut isi dokumen tersebut.
Hump-shaped pattern menunjukkan penghasilan dan daya beli perokok serta harga dan ketersediaan rokok adalah faktor utama yang memfasilitasi (enabling factors) konsumsi rokok individu. Pada sisi lain, adanya pengaruh interpersonal, seperti keluarga, teman sebaya, lalu pengaruh lingkungan, seperti guru, tokoh masyarakat dan iklan rokok, sebagai determinan sosial terpenting dari merokok, cenderung kondusif di Indonesia, terutama laki-laki.
Kondisi tersebut diperburuk dengan rendahnya pemahaman individu miskin tentang rokok dan ketiadaan motivasi untuk berhenti merokok, membuat merokok menjadi kebiasaan kultural yang melekat kuat.
Kekosongan aturan yang ketat terhadap produk termbakau berimplasi pada prevalensi malnutrisi yang kuat diduga tinggi dalam keluarga perokok.
“Dengan demikian, setiap upaya ketahanan pangan dan penanggulangan kemiskinan yang kredibel harus mengikutsertakan penanggulangan perilaku merokok. Hal ini juga mengindikasikan bahwa menanggulangi rokok dengan hanya mengandalkan instrumen fiskal tidak akan memadai.”
Aturan pengendalian tembakau melalui kenaikan cukai dan harga rokok seperti yang selama ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia memang memiliki potensi menurunkan konsumsi rokok, terutama bagi perokok miskin, perokok tidak tetap dan perokok pemula. Namun di sisi lain, potensi konsumsi rokok tidak turun adalah besar sebagai konsekuensi dari produk adiktif.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post