Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Ini saya percayai betul. Tetapi, tidak semua bisa mengakses ke pelayanan kesehatan jiwa. Saat ini, banyak yang masih ragu ke psikolog atau psikiater, entah karena malu, belum ada biaya atau bukan prioritas. Padahal, BPJS menyediakan pelayanan kesehatan jiwa, tidak seperti kebanyakan asuransi lainnya.
Kisah ini bukan layanan iklan untuk BPJS, melainkan semata-mata berbagi pengalaman atas upaya saya mendapatkan hak kesehatan.
Tahun 2017, pertama kali saya konseling psikologi karena merasa “berat” dengan pekerjaan dan rutinitas sehari-hari. Mungkin saat itu saya orang pertama yang terbuka kalau ke psikolog kepada teman-teman terdekat saya. Diagnosis awal saya masih “normal bermasalah”.
Setelah kondisi agak baikan, saya pun kembali melanjutkan hidup.
Saya balik lagi [ke psikolog] tahun 2019 karena “kelelahan” (fatigue) mengurusi orang tua yang bolak balik rawat inap di rumah sakit. Menjadi caregiver keluarga dan harus memenuhi nafkah hidup akhirnya membuat saya kelelahan fisik dan psikis. Saya suka bercanda dengan mengatakan seperti “ketiban setan” karena seluruh badan kaku dan pegal-pegal. Bahkan, untuk tersenyum, mulut terasa kaku.
Berbeda sebelumnya, saya konsultasi ke Puskesmas Mampang Prapatan karena psikolog saya kebetulan berpraktik di sini. Karena berbeda fasilitas kesehatan, saya harus membayar Rp5000 dengan menggunakan BPJS.
Tetapi, akhir tahun 2019, saya memutuskan ke psikolog yang berbeda karena “butuh cepat” sementara jadwal di puskesmas masih sebulan lagi. Akhirnya, saya ke klinik swasta di Jakarta Selatan. Biaya konsultasi cukup tinggi dan ini keluar dari kantong sendiri karena asuransi kantor tidak cover kesehatan jiwa.
Sayangnya, belum kelar urusan, pandemi sudah melanda pada tahun 2020. Menjelang akhir tahun 2020, saya pun harus menghadapi salah satu tantangan kerja terbesar dalam hidup. Setidaknya sampai titik ini.
Di tengah-tengah pandemi, saya harus memperjuangkan kontrak di tempat kerja terdahulu. Intinya, saya “diminta” untuk mengundurkan diri karena dianggap memiliki performa yang jelek dan hanya dibayar 2 bulan saja dari sisa 9 bulan kontrak. Saya menolak mengundurkan diri dan meminta jalur penghentian kerja dari pihak pemberi kerja serta membayar lunas sisa kontrak.
Tentu saja hal ini tidak mudah. Saya harus tetap bekerja dengan orang yang sudah tidak mau bekerja sama tetapi tidak mau bayar sesuai kontrak.
Selama berproses, saya pun kembali konseling. Namun karena masih pandemi, saya harus puas dengan chat. Diagnosis saat itu antara lain psikosomatis (karena mual-mual, tidak bisa makan, dan menggigil kedinginan kalau malam, padahal cuaca cukup hangat), burnout, kecemasan (anxiety) hingga depresi.
Singkat kata, atasan saya akhirnya mengakui kesalahan dalam penanganan kontrak dan saya mendapatkan hak saya hingga akhir kontrak.
Sayangnya, meski sudah selesai kontrak, kesehatan mental saya memburuk.
Beberapa bulan lalu, saya kembali konseling dan mendapatkan diagnosis post traumatic stress disorder (PTSD) dan depressive episode. Namun karena sudah berlarut-larut dan cukup lama, psikolog saya akhirnya menyarankan untuk konsultasi ke psikiater.
Awalnya, saya takut ke psikiater karena khawatir dengan kecanduan obat atau bertambah parah. Akan tetapi, saat itu, kondisi saya sudah memburuk. Saya tidak bisa bekerja, jarang tidur atau selalu tidur, hingga akhirnya terkena asam lambung. Kalau tidak ada penanganan, saya merasa saya tidak akan selamat.
Saya mengecek psikiater yang ada tetapi biayanya cukup mahal. Kalau saya harus konsumsi obat, saya tidak tahu apakah kondisi keuangan saya mencukupi karena saya juga harus mengurusi kebutuhan obat orang tua.
Akhirnya, saya memutuskan untuk mencoba dengan BPJS. Tetapi, ini artinya saya harus “mengulang” terapi saya yang sudah bertahun-tahun dengan kedua psikolog sebelumnya.
Sama seperti dokter umum, kita tentu merasa “cocok-cocokan” dengan dokter atau rumah sakit tertentu. Berhubung kondisi saya sudah darurat, akhirnya saya memberanikan diri untuk mencoba konseling psikologi via BPJS.
Prosedur ke spesialis jiwa tidak berbeda dengan dokter spesialis lainnya. Saya harus ke fasilitas kesehatan tingkat pertama, di kelurahan. Lalu, dokter di kelurahan akan memberikan surat rujukan ke fasilitas (rumah sakit) tingkat kecamatan yang memiliki layanan kesehatan jiwa.
Saya cukup ragu ke puskesmas karena khawatir akan cap “gila” atau “tidak waras”. Ternyata, ini tidak terbukti sama sekali. Dokter umum di tempat saya, untungnya, sangat informatif dan bertanya dengan ramah. Ia bahkan membantu mendaftarkan untuk konseling psikologi.
Sudah menjadi aturan umum bahwa pasien kesehatan jiwa harus dirujuk ke psikolog terlebih dahulu sebelum ke psikiater. Psikolog tidak berhak memberikan resep, sementara psikiater sama seperti dokter spesialis yang akan memberikan terapi obat-obatan (psikoterapi). Untuk sembuh, tentu saja, butuh kedua-duanya, selain upaya sendiri.
Setelah mendapatkan surat rujukan, saya ke konseling psikolog di rumah sakit kecamatan. Di sini, saya menceritakan uneg-uneg kepada psikolog.
Ruang konseling, tidak seperti kebanyakan orang berpikir, biasanya cukup dengan meja dan kursi. Jadi, bukan hipnotis atau harus tiduran seperti film-film di Barat. Bukan juga sekedar “ngobrol” biasa seperti di kantin.
Dengan modal tekad saya ingin sembuh, sama seperti sakit ke dokter umum, saya harus jujur mengatakan apa yang menjadi “keluhan”. Psikolog ini pun ramah dan informatif. Saya cukup beruntung dengan psikolog yang saya temui, mereka tidak pernah memberikan “judgment” dan cukup fair melihat kondisi saya.
Dari sini, saya mendapatkan rekomendasi ke spesialis jiwa atau psikiater dan harus datang beberapa hari kemudian. Kalau menggunakan BPJS, harus sabar dengan antrian, jadi lebih baik datang lebih pagi. Sembari menunggu, saya perhatikan banyak pasien yang datang ke spesialis jiwa. Entah karena stigma sudah berubah atau memang aksesnya terbuka bagi masyarakat umum.
Kemudian, saya dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas kesehatan jiwa. Saat itu, diagnosis saya “other unspecified anxiety disorder” (PTSD merupakan salah satu anxiety disorder).
Di rumah sakit, tentu saja, saya kembali harus menghadapi antrian. Namun, saya cukup terkejut bahwa ada beberapa pasien kesehatan jiwa yang sepertinya sudah familiar dengan prosedurnya.
Hingga kini, saya masih menjalani psikoterapi untuk depresi saya. Ketimbang beberapa bulan lalu, saya akui sudah mulai ada beberapa perubahan positif. Setidaknya saya mempunyai energi untuk melakukan hal-hal yang lain, selain “tidur saja”.
Tentu saja, penyembuhan saya ini juga tergantung dari upaya sendiri. Sama seperti sakit flu, harus makan yang baik, minum yang baik, bahkan olahraga. Kesehatan mental juga butuh dukungan nutrisi yang baik dan olahraga yang teratur.
Saya bersyukur bahwa BPJS memberikan pelayanan kesehatan jiwa seperti ini. Meski memang harus mengikuti prosedur dan antrian yang cukup panjang, tetapi ini hal wajar karena pengguna BPJS sudah ratusan juta.
Tahun 2020, kurang lebih 51 ribu kasus skizofrenia, baik klaim dengan tingkat keparahan ringan, sedang dan berat, dengan total biaya sebesar Rp282 miliar. Klaim terbanyak didominasi oleh diagnosis skizofrenia, gangguan bipolar, gangguan organik, lalu depresi dan gangguan neurosa selain depresi.
Asalkan informasi yang akurat, staf yang ramah dan menjauhi stigma, pelayanan ini pasti bisa menjangkau lebih banyak orang lagi. Bagi yang ingin mengecek layanan kesehatan jiwa, bisa klik di link ini.
Sakit itu tidak enak, apalagi sakit psikis. Saya sendiri masih bingung kalau ditanya rasanya apa karena badan sakit di mana-mana, tetapi kalau dicek sepertinya “baik-baik” saja.
BPJS, dengan segala kelemahannya, memiliki proteksi yang cukup besar dan signifikan bagi kasus kesehatan jiwa. Sehubungan bulan ini sebagai bulan kesehatan mental, semoga lebih banyak orang bisa mendapatkan akses ke layanan kesehatan jiwa, sama seperti kesehatan fisik.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post