Perlahan-lahan matahari terbit di bibir pantai selatan. Fajar kemudian menyingsing. Orang-orang memulai aktivitas rutin mereka. Termasuk Xaverius (60), seorang warga Kecamatan Bola di Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sedang sibuk menyapu halaman rumah.
Usai membersihkan halaman rumah, ia berdoa pagi, lalu menikmati secangkir kopi dan biskuit. Aktivitas ini ia lakukan sebelum berangkat kerja. Xaverius seorang petani kelapa yang juga kadang-kadang berjualan ikan.
Saat sedang berbincang santai dengan Prohealth.id, Xaverius tampak kaget mendengar informasi bahwa ada beberapa calon legislatif (caleg) penyandang disabilitas di tingkat DPRD kabupaten dan provinsi pada Pemilu 2024.
“Memangnya bisa ya disabilitas menjadi caleg?” ujarnya terheran-heran saat diwawancarai Prohealth.id pada, 5 Agustus 2023 lalu.
Xaverius bukan satu-satunya orang yang merasa sanksi terhadap caleg penyandang disabilitas. Di wilayah kabupaten lain, Ferdinandus (47), warga asal Kecamatan Kotabaru di Kabupaten Ende, Flores, mengutarakan hal yang sama. Warga sekitar menilai Ferdinandus melek politik lokal. Laki-laki yang memiliki gerai sembako dan sehari-harinya mengelola kebun ‘mente’ (jambu monyet) ini pernah terlibat sebagai anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Tou, Kecamatan Kotabaru. Sebagai pengusaha, ia sering bepergian dari Maumere ke Kotabaru dengan jarak 60 kilometer. Itu sebabnya ia dianggap peka dengan perkembangan di Kabupaten Sikka dan Kabupaten Ende.
“Bukankah caleg harus sesuai ketentuan, sehat jasmani dan rohani? Kalau disabilitas itu bagaimana, sesuai aturankah?” tuturnya saat diwawancarai Prohealth.id pada 7 Agustus 2023 lalu.
Keraguan terhadap kemampuan penyandang disabilitas di parlemen merupakan konsekuensi atas stigma yang masih mengakar dalam masyarakat. Hal itu disampaikan bakal caleg perempuan penyandang disabilitas, Maria Norma Yunita Ngewi.
Sekitar 37 tahun lalu, Norma lahir dengan sehat. Ia ingat jelas saat usia 3-4 tahun, masih bisa berlari dengan teman-teman seusianya di Krokowolon, Maumere, Flores. Namun, memasuki usia 6 tahun, Norma menderita sakit polio karena tidak berhasil mengakses vaksin. Hingga akhirnya ia menjadi disabilitas daksa.
Kerentanan akibat stigma terhadap penyandang disabilitas membawa Norma kecil masuk ke panti asuhan, hidup terpisah dari keluarga. Ia diasuh oleh seorang misionaris asal Belgia, Merie Jeanne Colson, atau yang lebih akrab disebut Mama Belgi.
Ketika dewasa, Norma pun terpanggil melayani penyandang disabilitas sebagai Sekretaris di Yayasan Nativitas untuk menangani anak-anak terlantar di Kabupaten Sikka. Komitmen Norma pada pemenuhan hak dasar penyandang disabilitas juga membuat dia dipercaya oleh Forum Belarasa Difabel Nian Sikka (FORSADIKA) sebagai ketua pada 2018-2021. Setelah selesai menjabat sebagai ketua di FORSADIKA, Norma memutuskan bergabung dengan Yayasan Orin Itan Indonesia (YOI) yang fokus pada pemulihan kesehatan dan pemenuhan hak dasar pasien penyakit langka, kronis, termasuk penyandang disabilitas.
“Ketika terjun ke isu kemanusiaan ini, saya ke desa-desa pedalaman ternyata banyak teman-teman yang seperti saya jauh lebih susah dari saya,” tutur Norma kepada Prohealth.id saat dijumpai di sela-sela aktivitasnya hendak mengunjungi penyandang disabilitas pada 5 Agustus 2023.
Jam menunjukkan pukul 10.30 WITA. Matahari sedang tinggi-tingginya. Norma bersama Muhammad Aryo, pendiri Yayasan Orin Itan Indonesia menyambangi rumah Theresia Advenia (20) atau yang biasa dipanggil Ana, seorang penyandang disabilitas di Kecamatan Kewapante.
Setibanya di lokasi, kondisi Ana ternyata di luar dugaan. Ana tinggal dalam rumah kecil berukuran 2×3 meter tanpa fasilitas WC yang memadai. Ia tinggal bersama orang tua dan keempat adiknya. Sehari-hari, Margareta Dagensu (46), ibu dari Ana, bekerja mengurus rumah tangga, sementara suami tidak memiliki pekerjaan tetap. Kadang bekerja sebagai tukang ojek, kadang juga menjadi tukang perkakas dan bangunan. Sementara, masih harus menafkahi empat anak lain yang duduk di bangku SMP dan SD.
Margareta tak kuasa menahan air mata menceritakan perjuangannya merawat Ana. Mulanya, Ana lahir sebagai si sulung dalam keadaan baik tanpa ada keluhan dan sakit. Tiba-tiba ketika duduk di bangku TK, Ana mengalami kelumpuhan.
Ana tidak mampu untuk berbicara atau menggerakkan anggota tubuhnya. Dia hanya bisa berpindah tempat dalam gendongan orang tua. Jika tak ada yang menggendong, Ana akan menyeret kakinya dengan posisi sangat kaku. Luka gesekan akibat melepuh memenuhi kulit Ana yang rapuh dan penuh debu tanah.
“Jadi saat mau masuk SD, tiba-tiba jadi disabilitas karena sakit saja awalnya,” kata Margareta.
Sejak itu, Ana kerap dipanggil ‘anak cacat’ oleh masyarakat di lingkungannya. Ia teralienasi di masyarakat.
Agustinus dan Margareta hanya mendapatkan akses Program Keluarga Harapan (PKH) dari Dinas Sosial. Ana pun belum mendapatkan Kartu Disabilitas sesuai aturan Permensos Nomor 2 Tahun 2021. Berdasarkan peninjauan Norma, di Kecamatan Kewapante hanya 10 orang yang sudah mengantongi Kartu Disabilitas. Masih ada ratusan penyandang disabilitas lain di wilayah tersebut.
Mendengar penjelasan Margareta dan suami, Agustinus Gusti (52), Norma berkesimpulan Ana penyandang cerebral palsy. Ia mengalami gangguan pada otot, gerak, dan koordinasi tubuh.
“Untuk pengobatan secara medis, ini sudah sangat sulit, Mama. Karena secara usia sudah 20 tahun, hanya mungkin dengan terapi, harus sabar melalui proses,” jelas Norma kepada pasangan suami-istri itu.
Norma mengelus-elus punggung Margareta yang terus menangis sembari mendekap Ana. “Mama harus sabar. Saya juga mengalaminya. Saya apresiasi kesabaran Mama merawat adik Ana,” tuturnya.
Norma dan Aryo kemudian meminta consent letter keluarga Ana untuk membuat kampanye penggalangan dana secara daring untuk membantu Ana mendapatkan hak dasar. Salah satunya dengan membantu keluarga tersebut membangun WC dan kamar mandi, akses sanitasi yang bersih, serta kursi roda.
“Mama berdoa, kami akan menceritakan kisah Ana agar bisa dibantu masyarakat lain, orang-orang baik. Kita akan coba melalui Kitabisa.com, Benihbaik, atau Berbuatbaik,” terang Norma.
Nekat Menjadi Caleg
Rumah Ana ternyata hanya satu dari sekitar 569 rumah penyandang disabilitas di Sikka, Pulau Flores yang pernah didatangi oleh Norma dan Aryo, bersama tim YOI lainnya. Sebanyak 569 pasien tersebut punya beragam penyakit dari mulai kanker, ragam disabilitas, hingga orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Ia masuk ke rumah-rumah tempat di mana pasien ODGJ masih dipasung, khususnya di wilayah Kabupaten Nagekeo dan Kabupaten Ngada.
Perjalanan menjumpai orang-orang yang sakit mengingatkan Norma pada perjalanan hidupnya sendiri. Ia memulai advokasi untuk meminimalisasi perspektif karitatif terhadap penyandang disabilitas. “Sekadar kasih bantuan. Selesai. Padahal seharusnya memakai pendekatan berbasis HAM agar menjadi inklusif, setara,” tuturnya.
Norma juga mengkritik perspektif pemerintah pusat dan daerah zaman dulu yang mengeksklusi penyandang disabilitas ke dalam lembaga yaitu panti asuhan. Padahal, penyandang disabilitas memiliki kebutuhan yang sama, harus mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari organisasi keluarga yaitu ayah, ibu, dan saudaranya.
“Itu kami perjuangkan sekarang. Disabilitas jangan masuk panti, karena ada potensi relasi menjadi putus antara anak dan keluarga,” ucapnya.
Untuk menanamkan perspektif setara dan inklusif, Norma sudah mencoba beberapa cara. Baik secara sosial partisipatif, hingga advokasi publik. Tak heran jika alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Nusa Nipa Maumere ini pernah menjadi salah satu kandidat Komisi Nasional Disabilitas (KND) periode 2021-2026. Meski tak lolos masuk dalam jajaran komisioner KND, Norma tetap berkarya untuk mendorong pemahaman inklusif didukung regulasi yang tepat.
“Makanya selama 3 tahun terakhir saya mendorong harus ada regulasi [di Kabupaten Sikka] untuk aksesibilitas yang inklusif. Karena sampai hari ini tidak dilaksanakan meski sudah ada UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Kalau advokasi itu suaranya person by person, kalau di parlemen suaranya bisa didengar lebih banyak orang,” jelasnya.
Aksesibilitas yang tidak inklusif di Kabupaten Sikka tercermin dari bangunan gedung pemerintah yang tidak ramah disabilitas. Misalnya, di gedung DPRD atau Lepo Kulobabong, tidak ada ramp dan guiding block yang memudahkan bagi penyandang disabilitas untuk berjalan. Jalanan di ibu kota juga tidak dilengkapi guiding block yang membantu disabilitas netra bisa mobilisasi secara mandiri.
“Kami [para penyandang disabilitas] mau audiensi ke pemerintah, ke anggota dewan, terhalang karena masalah mobilisasi fisik. Kami pun mau turun ke rumah pasien harus cek aksesibilitas rumahnya. Bisa dengan alat bantu atau tidak, jangan sampai kursi roda diberikan tapi tidak bisa dimanfaatkan,” ungkap Norma.
Pesimis terhadap suasana di ibu kota, Norma bersama Forsadika dan lembaga bantuan hukum mencoba masuk ke desa-desa. Ia mengajak masyarakat desa untuk membangun kelompok disabilitas desa dan kelompok lansia desa. Pemberdayaan kelompok rentan ini juga didorong agar bisa memanfaatkan alokasi 3 persen dari dana desa. Hanya butuh Surat Keputusan (SK) dari kepala desa untuk mewujudkan hal itu. Namun, tidak semua kepala desa memiliki perspektif yang inklusif.
“Dengan dana desa saja sebenarnya bisa kok, kelompok pemberdayaan untuk yang rentan. Buat kegiatan keterampilan capacity building. Ini kita harus ke akar rumput, makanya saya termotivasi untuk jadi caleg,” tuturnya.
Ia berharap jika Tuhan merestuinya menjadi perwakilan rakyat, ranperda Penyandang Disabilitas Kabupaten Sikka yang terkatung-katung selama 3 tahun terakhir bisa segera terealisasi.
Menurut Norma, bahkan setelah Perda disahkan, masih ada tantangan berikutnya. Ia berkata bahwa Perda bisa saja hanya akan menjadi dokumen legislasi yang menumpuk di perpustakaan, tanpa implementasi apa pun. “Makanya sosialisasi kebutuhan hak dasar itu tak boleh berhenti. Dan jangan hanya duduk diam, harus turun ke masyarakat.”
Setelah melakukan banyak pertimbangan, pilihan Norma jatuh kepada Partai Gerindra. Bukan tanpa alasan. Sebelumnya, sudah beberapa partai yang melamar Norma untuk bergabung menjadi caleg dalam Pemilu 2024. Meski demikian, Norma menilai Partai Gerindra termasuk partai yang terbukti mengakomodir hak-hak disabilitas, dan partai yang juga mengusulkan RUU Penyandang Disabilitas hingga akhirnya disahkan pada 2016.
Menanggapi respons masyarakat yang ragu pada kemampuan caleg disabilitas, Norma tidak ambil pusing. Berkaca dari pengalaman hidupnya sendiri, dia bisa berprestasi dengan baik di sekolah biasa, tanpa harus masuk sekolah luar biasa (SLB).
“Saya sudah melakukan hal yang saya mampu untuk menghilangkan stigma. Saya lakukan dengan nyata, saya punya kemampuan sejak di sekolah. Meski harus tanda tangan pernyataan kalau saya tak sanggup, saya akan dikeluarkan. Ternyata saya sanggup.”
Lagipula, sambung Norma, semua orang di muka bumi ini sesungguhnya berpeluang menjadi disabilitas pada waktu yang berbeda. Tak bermaksud mengutuk, tetapi Norma menyebut sosialisasi diperlukan untuk merekonstruksi perspektif dan pemahaman setiap individu dalam memandang orang dengan disabilitas.
“Saya ingin mengajak orang berintrospeksi. Jangan-jangan Anda juga berpotensi menjadi disabilitas, karena sakit, karena pola hidup yang tidak sehat, maupun karena usia. Ini cara ekstrem, tetapi saya tidak mengutuk, semua orang akan disabilitas pada waktunya termasuk dari sisi usia.”
“Ingat, disabilitas itu kekurangan fungsi fisik dan psikis, bukan kutukan,” imbuhnya.
Norma tampak masih berada dalam ketegangan menuju 2024. Namun, ia mengaku ikhlas dengan apapun hasil pemilu nanti. Ia merasa telah melakukan yang terbaik. Terlebih setelah ia mengikuti program The Women Institute on Leadership and Disability (WILD) yang didanai oleh Mobility International USA (MIUSA) di Universitas Oregon, Amerika Serikat.
Jika tak lolos mendapat kursi di DPRD, Norma berencana melanjutkan studi di Universitas Oregon, salah satu kampus inklusif yang telah memikat hatinya.
Nasib Pemilih Disabilitas
Fokus berjuang untuk pemenuhan hak dasar penyandang disabilitas, Norma sebenarnya boleh disebut punya peluang yang cukup besar untuk bisa menyabet satu kursi di DPRD Kabupaten Sikka.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sikka, Yohanes Kristomus Fery Soge menyatakan total daftar pemilih tetap (DPT) disabilitas di Kabupaten Sikka mencapai 4.508 orang, dari total 244.222 DPT untuk Pemilu 2024. Angka ini menempati peringkat tertinggi kedua di wilayah NTT setelah Kabupaten Timur Tengah Utara (TTU).
“Ada 35 kursi DPRD di Kabupaten Sikka, jika dibagi dari 244.222 pemilih, maka 1 caleg butuh 6000 sampai 6900 lebih suara. Ini ada 4.508 DPT disabilitas, anggap saja secara kasar ya, kalau semua pemilih ke TPS dan suaranya sah semua, dia (caleg) bisa dapat. Hampir setara dengan 1 kursi,” jelasnya kepada Prohealth.id saat dijumpai di kantornya pada 3 Agustus 2023 lalu.
Data Lokasi Sebaran Daftar Pemilih Tetap Kategori Pemilih Disabilitas Kabupaten Sikka,
(Sumber: Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sikka, 2023)
Tingginya angka disabilitas di Kabupaten Sikka disebabkan oleh banyak hal.
Menurut Fery, potensi bencana alam seperti tsunami, gempa, dan letusan gunung api yaitu Gunung Egon menambah kerentanan masyarakat menjadi disabilitas di wilayah rawan bencana.
Belum lagi angka kecelakaan di Kabupaten Sikka cukup tinggi akibat jalan yang tidak memiliki infrastruktur lengkap, jalanan buruk, sampai kebiasaan mabuk sambil membawa kendaraan.
Data Jumlah Daftar Pemilih Tetap Disabilitas dengan Ragam Disabilitas di Kabupaten Sikka.
(Sumber data: Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sikka, 2023)
Dari 4.508 DPT disabilitas, Prohealth.id mencatat bahwa Ana, pasien cerebral palsy di Wairlong merupakan salah satu pemilih yang sudah masuk dalam data DPT dari Kecamatan Kewapante. Namun, Ana hanya terverifikasi melalui Kartu Keluarga (KK), karena sampai saat ini Ana tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Menanggapi hal itu, Fery menyebut selama ini proses pendataan kepada masyarakat memang masih manual dilakukan dari pintu ke pintu. Petugas KPU harus melampirkan data KTP dan KK untuk setiap rumah dengan penyandang disabilitas.
Untuk disabilitas dengan ciri khusus seperti disabilitas mental dan disabilitas intelektual, petugas KPU tidak sampai mengantongi surat keterangan dari pihak medis. Identifikasi jenis disabilitas didapatkan hanya dari keterangan keluarga.
“Indikatornya pembeda disabilitasnya seperti apa, tidak diketahui. Ini baru pendataan petugas KPU, berdasarkan keterangan keluarga, bukan dari pihak kesehatan. Kami belum tahu persis validitas jenis disabilitasnya,” ungkapnya.
Dalam proses pencoblosan nanti, Fery juga mengaku masih ada beberapa persiapan yang belum optimal menyangkut pemenuhan hak disabilitas.
Salah satu yang paling mudah adalah belum ramahnya kantor KPU terhadap penyandang disabilitas, tidak ada ramp dan guiding block. Tangga masuk kantor KPU juga masih terlalu tinggi bagi penyandang disabilitas daksa. Belum lagi persiapan teknis pembangunan TPS di desa-desa yang jalannya tak melulu mulus.
Selain infrastruktur, petugas pemungutan suara (PPS) juga belum sepenuhnya memiliki kemampuan dalam menyediakan surat suara dengan template braille. Hal ini akan menyulitkan penyandang disabilitas netra yang memilih saat hari-H.
“Sumber daya yang memahami huruf braille misalnya, itu tidak banyak. Karena itu kami memperbolehkan ada pendamping. Atau, petugas kami di TPS supaya mereka bisa didampingi melakukan pencoblosan. Karena pemilih disini juga tidak semua memahami braille.”
Fery mengklaim pihaknya masih harus belajar dan beradaptasi dengan meminta bantuan kelompok masyarakat sipil peduli disabilitas untuk mengoperasikan surat suara template braille.
“Kami kini hanya bisa menyiapkan agar TPS nanti harus ramah, meja jangan terlalu tinggi atau terlalu rendah. Lalu disiapkan kursi roda,” tuturnya.
Selain memastikan disabilitas menggunakan hak pilihnya, Fery menyebut KPU Sikka sudah berkoordinasi dengan lembaga peduli disabilitas di Kabupaten Sikka untuk bisa mengajak aktivis disabilitas terlibat dalam proses pemilu sebagai petugas dan relawan dalam Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
Keterlibatan penyandang disabilitas menjadi krusial, mengingat pada pemilu mendatang terdapat 1.005 TPS di Kabupaten Sikka. Ada 894 TPS pada pemilu sebelumnya. “Ada penambahan 111 TPS, itu artinya kami harus siapkan lebih banyak petugas,” kata Fery.
Menanggapi dinamika di tingkat KPU daerah tentang caleg dan pemilih disabilitas, Komisioner KPU RI Idham Holik mengatakan berdasarkan data saat ini, Daftar Pemilih Tetap (DPT) disabilitas mencapai 1.101.178 orang di seluruh Indonesia. Atau 0,54 persen dari jumlah total DPT dalam negeri. Dari data tersebut, sebanyak 264.594 DPT di seluruh Indonesia masuk kategori disabilitas mental. Sementara DPT kategori disabilitas intelektual mencapai 55.421 orang.
Berkaca dari data itu, Idham menjamin pihak KPU di berbagai daerah akan mendapatkan sosialisasi intensif untuk penggunaan surat suara template braille. Huruf braille belum tentu mudah dipahami oleh anggota KPPS, sehingga KPU akan memberikan izin pendampingan bagi pemilih disabilitas.
“Nanti KPPS untuk memberikan bantuan jika dibutuhkan. Tetapi kami juga akan menyosialisasikan jika keluarganya bisa membantu pemilih disabilitas menggunakan hak pilihnya dengan menjaga independensi pilihan politik. Saat ini mengutamakan keluarga, tapi jika memang pemilih disabilitas butuh pendamping dari KPPS maka KPPS akan memberikan pelayanan,” jelasnya.
Menanggapi respons KPU, Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Agustyati menyatakan bahwa mekanisme KPU saat ini masih menghadirkan pendamping bagi disabilitas belumlah ideal. Artinya, masih banyak ruang yang perlu diperbaiki untuk mengakomodasi hak disabilitas karena sistem saat ini tidak menjamin prinsip pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia.
“Memang pemilih harus diupayakan untuk memberikan pilihannya secara langsung. Oleh sebab itu perlu dibuka aksesnya kepada pemilih disabilitas untuk bisa memberikan hak pilihnya secara langsung,” ujarnya kepada Prohealth.id saat dihubungi melalui WhatsApp pada 23 Agustus 2023 lalu.
Ia menjelaskan bahwa hal ini terlihat dari akses yang diberikan kepada pemilih disabilitas pun belum maksimal. Misalnya untuk pemilih tunanetra. Sekalipun ada surat suara template braille, surat itu baru tersedia untuk Pemilu Presiden dan DPD. Akibatnya untuk memilih DPR dan DPRD, pemilih disabilitas masih harus membutuhkan pendamping.
Ketua Umum Pusat Pemilihan Umum Akses Disabilitas (PPUAD) Ariani Soekanwo menambahkan hak politik penyandang disabilitas sudah tertuang resmi dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Apalagi, Indonesia sudah meratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) melalui UU No. 19 Tahun 2011. Artinya, hak disabilitas untuk memilih tidak boleh sampai terhambat. Hak politik ini juga termasuk hak menjadi caleg maupun sebagai panitia penyelenggara Pemilu.
“Kami setiap 5 tahun selalu datang ke DPR RI, memasukkan dan memastikan pasal tentang disabilitas tidak terabaikan. Jika ada yang belum terakomodasi, kita dorong untuk dimasukkan. Meskipun masih jelas ada tantangan dari diksi pencalonan legislatif harus sehat jasmani dan rohani,” terang Ariani.
Menurut Ariani pernyataan itu untung saja tidak banyak menghalangi kelompok disabilitas untuk tetap maju dalam kontestasi. “Toh, caleg disabilitas yang maju ini rata-rata bukan caleg disabilitas yang cuma duduk-duduk saja. Mereka adalah teman-teman aktivis yang dilamar oleh partai. Nah, kalau dilamar, kita malah tidak terkena aturan sehat jasmani dan rohani.”
Meski demikian, tren naiknya caleg disabilitas pada periode 2019 lalu menurut Ariani, masih penanda bahwa banyak caleg disabilitas yang menjadi ‘caleg kagetan’ hanya untuk memenuhi kuota partai di tingkat kabupaten/kota. Kondisi ini mencerminkan masih banyak caleg disabilitas yang rentan menjadi gain voters bagi partai. Akibatnya, dari 28 caleg kabupaten/kota tahun 2019 tingkat keberhasilan mereka kurang dari 1 persen.
“Untuk kasus yang seperti ini, kami dorong agar mereka jangan menjadi caleg kagetan. Harus jadi kader partai, dididik oleh partai, mengenal organisasi partai, visi dan misi, hingga dinamika politik dalam partai,” tutur Ariani.
Untuk menepis keraguan dan sanksi masyarakat terhadap kompetensi penyandang disabilitas, Ariani juga menyatakan bahwa organisasi masyarakat sipil yang selama ini menjadi tempat bernaung penyandang disabilitas akan ikut mendukung para caleg.
Ia menegaskan bentuk dukungan yang diberikan bukan dengan mempromosikan salah satu partai. Guna menjaga independensi, maka organisasi masyarakat sipil bisa terlibat menyelenggarakan kegiatan pemberdayaan dan sosial bagi penyandang disabilitas.
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Agustyati menambahkan prinsip pemilu inklusif seharusnya menjamin tidak ada kelompok yang tereksklusi dalam politik elektoral termasuk disabilitas. Meski demikian, inklusivitas dalam kontestasi pemilu harus dicermati bukan sekadar jumlah keterwakilan tetapi memastikan adanya transformasi politik.
“Jika ini [disabilitas] dijadikan vote getter oleh partai, memang ini tidak bisa dihindari. Apalagi kita menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka, di mana pemilih bisa memilih langsung calegnya. Menjadi tugas partai politik agar kampanye yang dilakukan tidak hanya simbol saja, tetapi menekankan pada ide dan gagasan,” tuturnya.
Perwujudan lingkungan masyarakat yang inklusif, hanya bisa terealisasi jika penyandang disabilitas tidak hanya menjadi objek politik, tetapi subjek politik, alias aktor politik itu sendiri.
Editor : Marina Nasution/AJI Jakarta
Infografis : Abdus Somad/AJI Jakarta
Liputan ini mendapat dukungan hibah dari ExcEl Award Story Grant 2023 ‘What Makes Election Free and Fair?” tentang pemilu yang demokratis dan inklusif di Indonesia.
Discussion about this post