Jakarta, Prohealth.id – Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (RI) pada tahun 2022, angka orang dengan autism meningkat jadi 500 orang.
Satu tahun sebelumnya, tercatat 5.530 kasus gangguan perkembangan anak, termasuk autisme, yang telah mendapatkan layanan di fasilitas kesehatan primer, seperti puskesmas atau posyandu. Autisme merupakan spektrum gangguan perkembangan otak yang memengaruhi cara berinteraksi, berkomunikasi, dan berperilaku.
Guna memberikan intervensi yang tepat dan segera terhadap anak autis, memerlukan deteksi dini autisme melalui pengamatan perilaku dan pola komunikasi anak-anak. Selain melalui oleh orang tua, kelompok guru, kader puskesmas, atau posyandu juga bisa melakukan deteksi dini.
Oleh sebab itu, Gunawan Wicaksono, A.Md.OT., S.K.M., M.Si., dosen Program Studi Terapi Okupasi, Program Pendidikan Vokasi, Universitas Indonesia (UI) melaksanakan program pengabdian masyarakat (pengmas) di Azizah Islamic School, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, untuk meningkatkan pemahaman guru dan kader posyandu tentang deteksi dini autisme. Menurut Gunawan, hal itu memiliki dampak yang signifikan.
“Mereka berada di posisi strategis untuk mengamati anak-anak sehari-hari. Semakin dini autisme dideteksi, semakin baik pula intervensi yang dapat diberikan untuk mendukung perkembangan anak,” ungkapnya.
Gunawan memilih Azizah Islamic School sebagai lokasi pengmasnya karena sekolah tersebut memiliki visi menuju inklusi. Selain itu, Cilincing merupakan kecamatan padat penduduk dengan populasi lebih dari 453 ribu jiwa menurut Badan Pusat Statistik (2023) yang memiliki beragam latar ekonomi.
Sebanyak 30 guru Sekolah Dasar (SD) dan kader posyandu menjadi peserta dalam program pengmas tersebut. Penyelenggara mengajak para peserta memahami ciri-ciri autisme dan upaya menerapkan metode deteksi dini pada lingkungan sekitar anak-anak. Untuk melakukan deteksi dini autisme sebelum usia tiga tahun bisa dengan menanyakan tujuh pertanyaan mengenai ciri autisme sesuai Modified Checklist for Autism in Toddlers (M-CHAT).
Pertanyaan tersebut adalah apakah anak memiliki rasa tertarik pada anak anak lain? Kedua, apakah anak menggunakan telunjuknya untuk menunjukkan rasa tertariknya kepada sesuatu? Ketiga, apakah anak mau menatap mata lebih dari 1–2 detik? Keempat, apakah anak mampu meniru (raut wajah)? Kelima, apakah anak memberikan reaksi ketika dipanggil namanya? Keenam, apakah bila kita menunjuk mainan atau benda di sisi ruangan, anak melihat benda tersebut? Ketujuh, apakah anak pernah bermain peran atau sandiwara?
Jika dua dari tujuh pertanyaan tersebut mendapat jawaban ‘tidak’, harus diwaspadai adanya tanda-tanda autisme pada anak tersebut. Deteksi dini autisme dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut bukanlah diagnosis medis. Sebab yang bisa melakukan diagnosis medis adalah profesional. Oleh karena itu, apabila tim pendeteksi menemukan ada tujuh ciri tanda autisme tersebut, sebaiknya segera melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke tenaga ahli kesehatan agar mendapatkan diagnosis yang akurat.
Selain itu, Gunawan juga memberikan materi mengenai pentingnya peran komunitas dalam mendukung anak-anak autis. Ia mengatakan, kolaborasi lintas sektor menjadi sebuah sinergi penting antara perguruan tinggi, sekolah, dan masyarakat dalam meningkatkan pemahaman mengenai autisme. Ini adalah bagian dari tanggung jawab kita sebagai akademisi untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat.
“Melalui program-program pengmas seperti ini, kita dapat membentuk masyarakat yang lebih inklusif dan peduli terhadap anak-anak dengan kebutuhan khusus.”
Sesi diskusi dan tanya jawab oleh pengmas pada 12 Januari 2024 tersebut memungkinkan peserta untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan mereka. Azizah, salah seorang guru di Azizah Islamic School mengatakan sangat berterima kasih atas program pengmas ini.
“Pengetahuan tentang autisme sangat penting untuk kami yang berada di garis depan dalam pendidikan anak-anak. Semoga program seperti ini dapat terus dilaksanakan ke depannya.”
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post